Hari Rabu pekan Biasa ke-XXXII
Peringatan Wajib Leo Agung
Keb. 6:1-11;
Mzm. 82:3-4,6-7;
Luk. 17:11-19
Membiasakan diri untuk berterima kasih
Pada hari ini kita mengenang Santo Leo I atau yang lebih dikenal dengan nama Leo Agung. Ia menjadi pemimpin Gereja kita pada tahun 440-461. Paus Leo Agung pernah meyakinkan Attila untuk pergi dari gerbang kota Roma selama kampanye militer 452. Dikisahkan bahwa pada tahun 452, saat Italia Utara diserang oleh Atilla, Leo menempuh jarak 320 km dengan menggunakan kuda untuk menghadapi Atilla dan membujuknya untuk menarik pasukannya. Peristiwa ini dikenal sebagai pelayanan terbesar Leo Agung. Leo Agung meninggal pada tanggap 10 November 461 dan ia menjadi imam pertama yang dikubur dalam gereja Santo Petrus . Ia juga merupakan seorang teolog dan merupakan figur pemimpin sentralisasi dalam pengorganisasian Gereja Katolik Roma. Berkaitan dengan damai, Leo Agung pernah berkata: “Damai adalah hal pertama yang dinyanyikan oleh para malaikat di surga di malam Natal. Damai sejahtera merupakan ciri khas anak-anak Allah. Kedamaian adalah perawat cinta. Perdamaian adalah ibu dari persatuan. Kedamaian adalah sisa jiwa yang diberkati. Kedamaian adalah tempat tinggal keabadian.” Semangat Leo Agung adalah membawa damai kepada sesama. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9).
Saya juga mengingat perkataan lain dari Santo Leo Agung yaitu: “Janganlah seorang pun merasa malu dengan salib yang olehnya Kristus telah menebus dunia. Tak seorang pun dari kita harus takut menderita demi keadilan atau meragukan pemenuhan janji-janji, karena melalui kerja keras kita datang untuk beristirahat dan melalui kematian kita melewati kehidupan.” Leo Agung merupakan pemimpin Gereja dan pejuang untuk mempertahakan Gereja dari musuh-musuhnya. Perjuangan itu bermakna kalau orang tetap terikat pada Yesus dan salib-Nya. Yesus tetap menjadi inspirator kita untuk berkorban dan berbuat baik.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengarahkan kita untuk menjadi bijaksana dan tahu bersyukur bukan hanya meminta. Ini berlaku untuk semua orang tanpa memandang kedudukan dalam kehidupan sosial kita. Dalam Kitab Kebijaksanaan kita membaca: “Dengarkanlah, hai para raja, dan hendaklah mengerti, belajarlah, hai para penguasa di ujung-ujung bumi. Condongkanlah telinga, hai kamu yang memerintah orang banyak dan bermegah karena banyaknya bangsa-bangsamu. Sebab dari Tuhanlah kamu diberi kekuasaan dan pemerintahan datang dari Yang Mahatinggi, yang akan memeriksa segala pekerjaanmu serta menyelami rencanamu, oleh karena kamu yang hanya menjadi abdi dari kerajaan-Nya tidak memerintah dengan tepat, tidak pula menepati hukum, atau berlaku menurut kehendak Allah.” (Keb 6:1-4). Seorang pemimpin yang bijaksana harus tahu bersyukur kepada Tuhan bahwa tugas yang diembannya bukanlah miliknya tetapi berasal dari Tuhan. Sebab itu ia harus melakukan tugasnya sebagai abdi yang patuh kepada kehendak Allah.
Perkataan Tuhan dalam Kitab Kebijaksanaan ini memang mengoreksi banyak pemimpin yang sedang kehilangan orientasi pelayanannya atau kepemimpinannya. Ada yang memerintah dengan mengandalkan dirinya bukan mengandalkan Tuhan. Padahal ketika memulai tugas, mereka selalu mengucapkan sumpah jabatan demi Allah untuk mematuhi undang-undang dasar. Ada yang boleh bersumpah namun tetap melakukan Tindakan kejahatan seperti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada yang membohongi rakyat atau pura-pura tidak mengenal rakyat yang suara mereka adalah suara Tuhan sendiri. Rasa terima kasih sudah hilang karena kedudukannya sudah nyaman.
Perkataan Tuhan dalam Kitab Kebijaksanaan ini mirip dengan perilaku sepuluh orang kusta yang memohon kesembuhan dari Yesus. Yesus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem melalui perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika itu ada sepuluh orang kusta yang datang seraya memohon belas kasih dari Yesus. Tuhan Yesus tidak mengatakan ‘sembuhlah kamu semua’ tetapi ia malah mengatakan: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dalam perjalanan mereka menyadari kesembuhan tubuhnya. Hanya seorang Samaria yang datang dan berterima kasih. Ia ‘kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya’ (Luk 17:15-16). Orang Samaria ini sungguh mengimani Yesus sehingga ia juga memperoleh keselamatan.
Banyak di antara kita begitu sulit untuk mengucapkan kata terima kasih atau syukur kepada Tuhan dan sesama yang berbuat baik kepadanya. Orang hanya bisa meminta dan meminta tetapi suka lupa untuk bersyukur. Kita perlu berubah sehingga dapat memiliki hati penuh syukur dalam melayani Tuhan dan sesama. Saya menutup homili ini dengan mengutip perkataan Tuhan dalam Kitab kebijaksanaan: “Jadi perkataanku ini tertuju kepada kamu, hai pembesar, agar kamu belajar kebijaksanaan dan jangan sampai terjatuh. Sebab mereka yang secara suci memelihara yang suci akan disucikan pula, dan yang dalam hal itu terpelajar akan mendapat pembelaan.” (Keb 6:9-10).
P. John Laba, SDB