Diakonos – Mari Belajar dari St. Stefanus

Diakonos

Kita mengenal sebuah istilah yang bagus di dalam Gereja yaitu Diakon. Dalam Bahasa tertentu seperti Bahasa Yunani kita mengenal kata διάκονος (diakonos), dalam Bahasa Latin kita mengenal kata diaconus. Dalam Bahasa Belanda kita mengenal kata Diaken. Diakon adalah seorang pelayan. Diakon membantu Gereja dengan cara apa pun yang dia bisa lakukan. Para imam dan uskup sebelum ditahbiskan, mereka ditahbiskan sebagai daikon sebab diakonat adalah tahbisan yang pertama dari tiga tahap Tahbisan Suci. Para diakon dipanggil untuk melayani mulai dari hal-hal kecil bersama kaum kecil. Di dalam Kisah Para Rasul kita mengenal tujuh diakon terpilih yang bertugas untuk mengawasi pembagi bagian bantuan kepada para janda dan kaum kecil di dalam gereja perdana, sehingga para rasul bisa bebas melakukan tugas-tugas kerohanian yakni mewartakan sabda (Kis 6:1-6). Ketujuh Diakon yang dimaksudkan adalah Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia (Kis 6: 5).

Selama masa Paskah terutama di pekan ketiga ini, kita semua pasti mendengar nama dua diakon yakni diakon Stefanus dan diakon Filipus. Nama Stefanus berasal dari Bahasa Yunani yakni Stefanos, artinya ‘mahkota’. Kita mengenalnya sebagai satu dari ketujuh orang yang dipilih oleh para murid Yesus segera sesudah kebangkitan-Nya. Nama Stefanos yang berarti mahkota sungguh menunjukkan jati dirinya sendiri. Stefanus menjadi Mahkota Gereja Perdana karena ia melayani Tuhan dengan totalitas hidupnya.

Apa saja yang dapat kita pelajari dari kehidupan santo Diakon Stefanus selaku Martir pertama dan menjadi mahkota awal gereja?

Pertama, Stefanus adalah pribadi yang berani untuk mengatakan, “ya” meskipun situasi yang dihadapinya sulit. Para rasul Yesus pasti melihat sesuatu dalam cara Stefanus menjalani hidupnya sehingga mereka tidak meragukannya sebagai pendukung kerasulan mereka. Pada saat itu, agama Kristen atau pengikut Yesus dari Nazaret bukanlah agama yang popular. Mereka yang disebut Gereja perdana sering kali dianiaya dengan kejam, dan sangat berisiko untuk memberitakan Injil dengan berani. Stefanus menunjukkan keberanian yang besar dengan mengatakan “ya” pada perutusan ini. Dan, yang lebih hebat lagi, dia tidak mundur ketika keadaan menjadi sulit.

Kedua, Stefanus adalah seorang pria yang penuh iman dan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 6:5). Pribadi Stefanus sangat menginspirasi kita semua. Menjadi pertamuaam bagi kita adalah apakah kita dapat menjadi diakonos seperti Stefanus yang penuh iman dan Roh Kudus?

Ketiga, Stefanus menangani penolakan dan tuduhan palsu dengan kelembutan. Ketika Stefanus ditangkap dan dibawa ke hadapan penguasa ia menunjukkan diri seperti ini “wajahnya seperti wajah malaikat” (Kis 6:15). Stephen memberi teladan yang mendalam tentang apa artinya hidup sesuai dengan Sabda Tuhan: “Barangsiapa ingin menjadi murid-Ku, ia harus menyangkal dirinya sendiri, memikul salibnya setiap hari, dan mengikuti Aku” (Luk 9:23).

Keempat, Stefanus tidak takut untuk berbicara tentang kebenaran dan berbagi kebijaksanaannya. Stefanus tidak takut dengan apa yang mungkin timbul dalam hidupnya karena berbicara tentang kebenaran.

Kelima, Stefanus tidak takut memberikan hidupnya bagi Tuhan. Ia menemukan kedamaian yang besar dalam melakukannya.

Keenam. Stefanus berbelas kasihan kepada para penganiayanya. Inilah puncak kisah Stefanus. Bagian ini yang paling mengharukan bagi kita. Pengampunannya terhadap para penganiaya. Di ambang kematian, Stefanus masih berdoa, “Tuhan, janganlah Engkau menghitung dosa ini kepada mereka” (Kis 7:60).

Nama kedua adalah Santo Diakon Filipus. Filipus merupakan nama Yunani yang berarti pencinta kuda. Ia pertama kali disebutkan dalam Kisah Para Rasul (6:5) sebagai salah satu dari “Tujuh Diakon” terpilih. Filipus dikenal sebagai pewarta yang handal di Samaria. Dia juga yang dalam kuasa Roh Kudus membaptis seorang sida-sida dari Etiopia.

Gereja terus memanggil kita untuk menjadi diakonos masa kini untuk memperhatikan orang-orang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Kita semua memiliki peran dalam berdiakonia di dalam Gereja. Apakah kita dapat memberi diri kita secara total untuk tidak sekedar mengucapkan kata ‘pelayanan’ tetapi sungguh menjadi ‘pelaya’? Banya orang hanya berani mengucapkan kata pelayanan secara berapi-api namun dia bukan seorang pelayan sejati.

P. John Laba, SDB