Homili 18 Januari 2021

Hari Selasa Pekan Biasa ke-2,
Pembukaan Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristiani
1Sam. 16:1-13
Mzm. 89:20,21-22,27-28
Mrk. 2:23-28

Yesus adalah Tuhan

Pada hari ini kita memulai pekan doa untuk persekutuan umat Kristiani se dunia. Setiap tahun kita memulai pekan doanya dari tanggal 18-25 Januari. Pekan doa akan diakhiri dengan merayakan pertobatan santo Paulus pada tanggal 25 Januari. Adapaun tema pekan doa untuk persatuan umat kristiani di seluruh dunia pada tahun 2022 “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” Tema ini dipilih oleh Dewan Gereja-Gereja Timur Tengah, bersama dengan Dewan Kepausan untuk memajukan Persatuan umat Kristiani, untuk membangkitkan pengalaman Tiga Raja, atau orang-orang Majus. Sebagai tema untuk hari pertama ini adalah “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur”. Tentu saja kehendak Tuhan Yesus untuk persekutuan ini karena Dia sendirilah yang mendoakannya: “Ut omnes unum sint” (Supaya mereka semua menjadi satu) atau dalam bahasa Yunani: ἵνα πάντες ἓν ὦσιν (ina pantes hen ōsin). (Yoh 17:21).

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengoreksi seluruh hidup kita, terutama bagaimana kita hidup berdampingan dengan sesama manusia. Kita mendengar dalam bacaan pertama kisah pemilihan Daud untuk menjadi raja Israel menggantikan Saul sangat menarik perhatian kita. Samuel mendapat penugasan untuk mengurapi Daud putra Isai. Isai menyuruh anak-anaknya lewat di depan Samuel dan membiarkan Samuel memilih sesuai kehendak Tuhan. Anak-anak yang lewat di depan Samuel adalah: Eliab, Abinadab, Syama dan anak-anak yang hadir di rumah itu tetapi tidak dipilih Tuhan. Tuhan lalu menyampaikan Samuel untuk memilih anak lain yang tidak hadir di rumah yakni Daud yang saat itu sedang menggembalakan domba-domba mereka. Samuel meminta Isai untuk memanggilnya dan ketika Daud tiba di rumah, Tuhan meminta Samuel untuk mengurapinya. Samuel melakukannya sesuai kehendak Tuhan. Pesan Tuhan yang menarik adalah: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1Sam 16:7).

Samuel adalah adalah anda dan saya. Mengapa? Karena salah satu kecenderungan manusia sepanjang zaman adalah melihat sisi luar atau keadaan fisik orang. Sambil melihat sisi luar kita menilai secara positif dan negatif. Hampir pasti penilaian kita itu sedikit mengalir ke arah positif dan lebih banyak ke arah negatif. Penilaian itu terjadi karena ada pembandingnya yakni diri kita atau idola kita. Maka yang ada pada orang lain hanya sedikit yang positif sehingga kita tidak mengapresiasinya dan lebih banyak negatifnya sehingga tak perlu diapresiasi. Banyak kali kita menyadarinya tetapi tetap terjebak dalam dosa dan kesalahan yang sama. Pikirkanlah dalam sehari, berapa kali anda memikirkan hidup dan kelemahan orang lain? Berapa kali anda menilai negative hidup orang lain? Tuhan benar, ketika Ia mengatakan bahwa Ia melihat hati manusia yang suci dan tulus. Manusia hanya melihat fisik dan tampilan luar semata.

Sebagai contoh kita temukan dalam bacaan Injil. Markus mengisahkan tentang perjalanan Yesus bersama murid-murid-Nya pada suatu hari Sabat. Para murid Yesus karena lapar maka mereka memetic bulir gandum dan memakannya. Kaum Farisi yang legalis itu menjadikan dirinya sebagai pembanding dengan berkata: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan mereka tetapi mengambil contoh yang ada di dalam Kitab Perjanjian Lama tentang kisah Daud dan pasukannya memasuki rumah Tuhan dan memakan persembahan yang seharusnya di makan oleh para imam. Tuhan Yesus bahkan menegaskan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.” (Mrk 2:27-28).

Tuhan Yesus memperhatikan kebutuhan manusia, yang sedang dibutuhkan untuk hidup. Manusia yang diwakili kaum Farisi hanya melihat hukumnya dan kalau melanggar akan dianggap melanggar hukum. Yesus memperhatikan nilai hidup manusia sedangkan kaum farisi terpenjara oleh legalisme. Legalisme itu baik tetapi prinsip kasih dan keadilan harus tetap ada. Manakah yang lebih penting, melakukan hukum atau membantu manusia yang kelaparan menjadi kenyang supaya bisa melakukan hukum. Orang mudah mengambil jalan pintas untuk popularitas dan legalis dengan membiarkan sesama manusia menderita.

Tuhan Yesus adalah Tuhan bagi segalanya. Santo Paulus berkata: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2: 9-11). Segala sesuatu harus mengarah pada kemuliaan nama Tuhan dan sedapat mungkin bukan kemuliaan nama kita. Dengan mengarahkan mata kita kepada Tuhan maka dengan sendirinya kita akan mengapresiasi hidup sesama manusia. Yesus adalah Tuhan bagi segalanya yang kelihatan maupun tak kelihatan.

P. John Laba, SDB