Homili 16 Maret 2022

Hari Rabu Pekan II Prapaskah
Yer. 18:18-20
Mzm. 31:5-6,14,15-16
Mat. 20:17-28

Melayani dan memberikan nyawa

Kita sedang berada di dalam masa prapaskah, pekan yang kedua. Perkataan-perkataan yang selalu kita dengar dalam masa prapaskah ini misalnya perkataan penderitaan. Kalau kita mendengar perkataan tentang penderitaan maka pikiran kita tertuju pada kayu salib. Pada salib ada Yesus yang menderita dan memberikan nyawa untuk menyelamatkan kita semua. In Cruce Salus, pada salib ada keselamatan. Kata yang lain adalah melayani. Dalam masa prapaskah ini semangat pelayanan kita perlu ditingkatkan kualitasnya, dalam hal bersedekah, berdoa dan berpuasa. Ini adalah elemen-elemen penting dalam sebuah pelayanan kasih. Dengan bersedekah, berdoa dan berpuasa, kita semakin mengasihi, semakin terlibat dan semakin menjadi saksi Kristus di tengah dunia.

Adalah Khalil Gibran (1883-1931). Sosok penulis dan pelukis dari Lebanon-Amerika ini pernah berkata: “Akhir dari penderitaan menghasilkan jiwa yang kuat; karakter terkuat ditandai oleh bekas luka.” Setiap penderitaan dan kemalangan yang kita alami secara pribadi atau secara bersama-sama selalu memiliki maknanya. Hati dan jiwa kita akan semakin kuat, kita merasa semakin kebal dengan segala hal yang berasal dari luar tubuh atau lingkungan kita. Lebih lagi ketika kita memandang bekas luka yang kita miliki. Ada cerita tentang penderitaan, rasa sakit tetapi memiliki hikmah yang kuat dalam mendewasakan diri kita. Mungkin saja bekas luka itu menceritakan tentang satu atau lebih keberhasilan kita yang tidak akan dipahami dan diterima oleh orang lain.

Pada hari ini kita mendengar kisah-kisah penting yang menguatkan pertumbuhan iman kita dalam masa prapaskah ini. Di dalam bacaan pertama, kita berjumpa dengan sosok nabi Yeremia. Nabi Yeremia sendiri digambarkan sebagai seorang pribadi yang berperasaan halus. Ia sangat cinta kepada bangsanya, dan sama sekali tidak suka menubuatkan hukuman ke atas mereka. Di dalam beberapa bagian dari bukunya ia berbicara dengan penuh perasaan tentang penderitaannya karena ia dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi nabi. Orang-orang yang membuatnya menderita adalah orang-orang dekatnya. Perhatikan perkataannya ini: “Marilah kita mengadakan persepakatan terhadap Yeremia, sebab imam tidak akan kehabisan pengajaran, orang bijaksana tidak akan kehabisan nasihat dan nabi tidak akan kehabisan firman. Marilah kita memukul dia dengan bahasanya sendiri dan jangan memperhatikan setiap perkataannya!” (Yer 18:18). Orang baik pasti memiliki banyak musuh, namun orang itu memiliki Tuhan yang menjadi sandaran hidup mereka. Gusti mboten sare!

Sosok nabi Yeremia adalah sosok yang mengajar kita untuk mengandalkan Tuhan di saat-saat menderita. Sosok yang mengajar kita untuk berani mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita. Perhatikan perkataan nabi Yeremia ini: “Perhatikanlah aku, ya Tuhan, dan dengarkanlah suara pengaduanku! Akan dibalaskah kebaikan dengan kejahatan? Namun mereka telah menggali pelubang untuk aku! Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu, dan telah berbicara membela mereka, supaya amarah-Mu disurutkan dari mereka.” (Yer 18:19-20). Seorang akan tetap diingat karena kebaikan yang dilakukannya bagi sesama manusia. Orang boleh menderita tetapi penderitaannya mendewasakan hidup pribadinya di hadirat Tuhan dan sesama.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah-kisah yang membuka wawasan kita tentang semangat pemuridan di dalam komunitas Yesus. Ibu dari kedua anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes, pasti mengetahui dengan baik karakter kedua anaknya ini. Keduanya memiliki ambisi-ambisi tertentu dalam mengikuti Yesus. Ibu itu datang dan meminta kepada Yesus, tempat di sisi kiri dan kanan-Nya kelak. Tuhan Yesus tidak menjawab ‘ya siap’, tetapi Dia mengedukasi ibu dan anak-anak Zebedeus untuk menjadi murid sejati. Murid sejati adalah murid yang selalu bersama dengan gurunya untuk meminum dari satu cawan yang sama yaitu cawan penderitaan. Murid yang siap untuk menerima cawan yang sama dari gurunya dan manghayatinya sampai tuntas. Murid sejati adalah murid yang memiliki kebajikan kerendahan hati seperti Yesus sendiri dan semangat untuk melayani tanpa pamrih.

Perkataan Yesus ini sangat bermakna: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20:26-28). Tuhan Yesus tidak hanya berbicara tetapi Dia melakukannya sampai tuntas. Dia menderita, Dia wafat, Dia bangkit dengan mulia untuk kita.

Masa prapaskah kita menjadi indah karena kita siap untuk meminum cawan yang sama dengan cawan Yesus, rendah hati dan siap untuk melayani seperti Yesus. Kualitas hidup kekristenan kita haruslah matang seperti nabi Yeremia di hadirat Yahwe, hidup menderita tetapi selalu mengandalkan Tuhan dan berbuat baik kepada orang yang menyakitinya. Bagaimana dengan kita?

P. John Laba, SDB