Homili 17 Maret 2022

Hari Kamis, Pekan II Prapaskah
Yer. 17:5-10
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 16:19-31

Selalu mengandalkan Tuhan

Pada pagi hari ini saya mendapatkan sebuah ayat Kitab Suci yang menyentuh hati saya dari seorang sahabat. Ia mengutip doa Raja Daud di dalam Mazmur 39:13: “Dengarkanlah doaku, ya Tuhan, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong, janganlah berdiam diri melihat air mataku! Sebab aku menumpang pada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku.” Raja Daud membutuhkan Tuhan. Ia mengaku menumpang pada Tuhan maka dalam suasana apapun, ia tetap meminta tolong kepada Tuhan. Kutipan ini sekaligus mengingatkan saya untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam hidup ini. Pengalaman dan doa raja Daud haruslah menjadi pedoman bagi kita selama masa prapaskah ini, di mana kita juga harus mengandalkan Tuhan di dalam hidup kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengarahkan kita untuk setia dan tetap mengandalkan Tuhan dalam hidup kita. Sosok nabi Yeremia misalnya, dia mengalami banyak kesulitan dari orang-orang yang dekat dengannya, namun dalam situasi yang sulit sekalipun, ia tetap mengandalkan Tuhan. Hari ini kita mendengar perkataan Tuhan melalui nabi Yeremia: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.” (Yer 17:7-8). Saya sangat percaya pada perkataan Tuhan melalui nabi Yeremia ini. Orang yang mengandalkan Tuhan akan mendapat berkat dalam hidupnya. Ia akan menjadi serupa dengan pohon unik yang senantiasa hijau daunnya dan lebat buahnya sepanjang musim.

Sebaliknya orang yang mengandalkan dirinya tidak disukai Tuhan. Tuhan berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.” (Yer 17:5-6). Orang yang mengandalkan dirinya sendiri tidak menghasilkan buah yang berlimpah dalam hidupnya. Hatinya tertutup, tidak membutuhkan Tuhan dan tentu saja tidak dapat melakukan pertobatan dalam dirinya. Orang yang mengandalkan dirinya tidak mengalami kebahagian sejati sebagaimana dikehendaki Tuhan bagi setiap ciptaan-Nya. Pertobatan sejati membuka pintu kebahagiaan dalam Tuhan.

Di dalam bacaan Injil kita menjumpai dua sosok yang sejalan dengan pewartaan nabi Yeremia ini. Sosok pertama adalah Lazarus. Nama “Lazarus” (Yunani: Λάζαρος – Lazaros). Nama ini kemunginan adalah bentuk Yunani dari nama Ibrani: אֶלְעָזָר – ‘Eleazar artinya adalah: “Allah ialah penolong.” Lazarus adalah sosok yang miskin dan sangat menderita. Penginjil mendeskripsikannya: badannya penuh dengan borok, ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kita dapat membayangkan betapa tragisnya hidup seperti ini. Namun apa yang terjadi setelah dia meninggal dunia? Dia dijemput malaikat dan duduk di pangkuan Abraham. Kebahagiaan abadi adalah hidupnya. Lazarus benar-benar menujukkan karakter Allah sebagai penolong. Sosok kedua adalah seorang kaya tanpa nama. Dia hidup dalam kemewahan dan menutup mata terhadap golongan Lazarus yang miskin ekstrim dalam hidupnya. Dikisahkan bahwa orang kaya ini selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Ketika meninggal dunia ia masuk neraka. Kebahagiaan dunia ternyata berbeda dengan kebahagiaan surgawi. Makanya hidup saling tolong menolong itu lebih bersifat ilahi karena Allah sendiri hadir dan mencurahkan kasih-Nya kepada kita.

Kisah kedua sosok di dalam bacaan Injil adalah gambaran hidup kita semua. Ada orang yang hidup dalam kelimpahan tetapi menutup matanya terhadap kaum papa miskin. Ada orang yang hidup dalam kelimpahan, bisa berbagi dengan sesama namun selalu bercerita kepada semua orang tentang sumbangan yang sudah diberikannya kepada orang lain. Ada orang yang murah hati, suka berderma dan tidak pernah menceritakan kepada orang lain. Baginya semua yang dimiliki adalah titipan Tuhan. Ada orang yang miskin dan menerima diri sebagai orang miskin, tanpa berusaha untuk keluar dari kemiskinannya. Ada orang yang sadar diri sebagai orang miskin dan berusaha untuk keluar dari kemiskinannya dengan bekerja keras dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada penyelenggaraan Tuhan.

Hal besar di balik kisah kedua sosok di dalam injil ini adalah semangat pertobatan. Setiap orang memiliki masa lalu yang pedih seperti Lazarus yang miskin. Dia berubah, masuk ke surga karena dia bertobat. Buah pertobatan yang nyata adalah mengandalkan Tuhan. Hal ini tentu berbeda dengan orang kaya yang tidak membutuhkan pertobatan. Kemewahan akan harta, kuasa dan uang menghalanginya untuk berjumpa dengan Tuhan yang hadir dalam diri Lazarus. Tentu saja kita yang membaca teks suci ini juga merasakan gerakan bathin untuk bertobat. Saya mengakhiri homili ini dengan memberikan dua kutipan penting untuk berefleksi. Pertama, “Aku, Tuhan, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.” (Yer 17:10). Kedua, Yesus berkata: “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:5).

P. John Laba, SDB