Homili 26 Maret 2022

Hari Sabtu Pekan III Prapaskah
Hos. 6:1-6
Mzm. 51:3-4,18-19,20-21b
Luk. 18:9-14

Jangan menghitung kebaikanmu!

Saya pernah diundang untuk mengikuti ibadat Oikumene di sebuah kantor. Pendeta senior dari sebuah gereja didaulat untuk membawakan Firman Tuhan dan memberikan sebuah kotbah yang sederhana dan menggugah hati. Ada satu kalimat yang saya selalu ingat dari kotbah pak pendeta adalah: “Mari kita berusaha supaya jangan membiasakan diri untuk menghitung-hitung kebaikan kita karena kebaikan kita itu tidak sebanding dengan kebaikan Tuhan sendiri”. Saya memperhatikan banyak jemaat yang tersenyum sambil menganggukan kepalanya, ada yang spontan mengatakan “Benar juga perkataan pak pendeta ini”. Saya sendiri merasa bahwa ibadat Oikumene pada siang hari itu mengubah hidup banyak jemaat terutama dalam hal berbuat baik dan kebiasaan orang tertentu yang selalu mengingat-ingat perbuatan baiknya, sampai melupakan bahwa sebenarnya dirinya tidak sebanding dengan Tuhan yang lebih dahulu berbuat baik kepadanya.

Mari kita merenung lebih lanjut tentang masa prapaskah di era pandemi ini. Kita semua mengikuti pendalaman iman di lingkungan dan wilayah untuk mengejawantah tema APP tahun 2022 ini. Bagi umat yang tinggal di Keuskupan Agung Jakarta, pertemuan untuk pendalaman iman pada pekan ketiga berjudul: “Peran Gereja dalam bidang perlindungan sosial”. Judul ini membuka wawasan kita untuk menata kembali sikap empati, sikap belas kasih kepada sesama yang sangat membutuhkan. Banyak orang yang perutnya kosong, tidak memiliki tempat tinggal yang layak, anak-anak putus sekolah karena tidak ada biaya dan lain sebagainya. Tentu saja situasi ini memangil kita semua untuk bersedekah atau berderma. Bersedekah atau berderma adalah hal yang baik karena berderma merupakan bagian dari perbuatan baik kita. Kita semua tentu masih punya hati untuk menolong sesama yang sangat membutuhkan. Kita tidak dapat menutup mata terhadap penderitaan orang lain begitu saja.

Haruslah diakui bahwa banyak orang memiliki hati yang mudah tergerak untuk berbelas kasih kepada sesamanya. Para warga gereja pun demikian. Misalnya, para saudara yang menjalani karantina mandiri selalu mendapat bantuan makanan dari sesama warga lingkungan. Hanya saja tantangan besar bagi kita adalah bagaimana kita mengontrol pikiran dan mulut kita supaya tidak menghitung-hitung kebaikan yang sudah kita lakukan kepada sesama. Kebiasaan menghitung kebaikan itu ditunjukan dengan memviralkan diri sendiri di media-media sosial pribadi karena sudah menolong sesama yang ada dalam kesulitan, baik dengan foto atau mengupdate status di media sosial. Artinya orang menolong sesama supaya mendapat jempol atau like dan comment dalam media sosialnya. Tentu saja ini tidaklah salah, hanya saja kita akhirnya dipuji dan bahkan bisa disembah orang karena telah berbuat baik. Padahal kita berbuat baik karena Tuhan menitip kebaikan itu kepada kita untuk dibagikan kepada sesama manusia. Sikap suka menghitung-hitung kasih dan kebaikan itu adalah sikap Farisi di dalam hidup kita.

Saya tertarik dengan kisah di dalam bacaan Injil Lukas hari ini. Ada seorang Farisi yang berada di dalam Sinagoga untuk berdoa. Dia memang sudah berbuat baik. Inilah perbuatan-perbuatan baik yang sudah dilakukannya di hadirat Tuhan: “Aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk 18:11-12). Sikap orang Farisi ini tentu baik tetapi dengan menghitung kebaikan dan membandingkan dirinya dengan orang lain inilah yang menjadi letak kelemahannya. Dia sombong di hadirat Tuhan.

Orang Farisi dalam kisah injil ini adalah kita saat ini. Berapa kali kita sadar dan tanpa sadar membandingkan diri kita dengan orang lain, menghitung semua kebaikan, merendahkan orang lain dan ujungnya adalah menyombongkan diri. Orang menyombongkan dirinya karena sudah berbuat baik, ada juga yang menyombongkan kerohanian mereka karena merasa lebih suci dari orang lain. Kita perlu menyadari bahwa kesombongan adalah salah satu dosa pokok. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa ada tujuh dosa pokok yakni kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan kelambanan, atau kejemuan [acedia].(KGK 1866). Kesombongan ditempatkan di tempat terdepan karena itu sangat mudah dilakukan oleh manusia.

Kita seharusnya menjadi rendah hati dan ‘tahu diri’ sebagai orang berdosa yang tidak bisa menghitung-hitung perbuatan baik kita. Sosok sang pemungut cukai dalam injil sangat inspiratif: “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Luk 18:13). Sikap seperti inilah yang harus kita miliki. Pemungut cukai mengajar kita betapa luhurnya mengenal diri dan merendahkan diri di hadirat Tuhan. Kerendahan hati merupakan kebajikan yang luhur, dan menjadi induk dari segalah kebajikan. Orang yang rendah hati selalu ada di mata Tuhan karena Tuhan sendiri lemah lembut dan rendah hati.

Tuhan yang lemah lembut dan rendah hati tidak menyukai kesombongan manusia. Tuhan melalui nabi Hosea dalam nubuatnya mengatakan: “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos 6:6). Tuhan menyukai kasih setia yang tentu terpancar dalam kebajikan kerendahan hati dan pengenalan akan Allah. Orang dapat mengenal Allah dalam diri orang-orang yang rendah hati.

Pada hari ini, Tuhan mengingatkan kita untuk mengontrol diri kita supaya tidak menjadi orang sombong yang menghitung-hitung perbuatan baik. Kita seharusnya menjadi rendah hati dan menjadikan diri kita pembawa kasih Allah yang terus menerus kepada sesama yang sangat membutuhkan. Kita seharusnya tahu diri bahwa kita orang berdosa. Banyak orang lupa diri sebagai orang berdosa. Ini adalah menyedihkan. Mari melakukan pertobatan yang radikal dalam hidup kita di masa prapaskah ini.

P. John Laba, SDB