Homili 11 Agustus 2022

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIX
Peringatan Wajib St. Klara
Yeh. 12:1-12
Mzm. 78:56-57,58-59,61-62
Mat. 18:21-19:1

Saya mengampunimu!

Adalah Eric Hoffer. Beliau adalah seorang filsuf kelahiran New York, Amerika Serikat, pernah berkata: “Hal yang luar biasa dalam hidup kita adalah bahwa kita benar-benar mencintai sesama kita seperti kita mencintai diri kita sendiri: kita berbuat kepada orang lain seperti yang kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Kita membenci orang lain saat kita membenci diri kita sendiri. Kita toleran terhadap orang lain saat kita mentolerir diri kita sendiri. Kita memaafkan orang lain saat kita memaafkan diri kita sendiri. Kita cenderung mengorbankan orang lain saat kita siap untuk mengorbankan diri kita sendiri.” Perkataan Hoffer ini memang kelihatan sederhana namun kalau kita renungkan lebih dalam lagi maka yang ada pada kita adalah perasaan malu karena ternyata kita masih terlalu jauh dari perkataan ini. Mungkin saja yang ada pada kita masih berlawanan dengan kata-kata ini, misalnya belum mencintai sesama seutuhnya, masih membenci sesama, belum ada sikap mentolerir sesama, belum mampu memaafkan atau mengampuni sesama. Mungkin juga yang ada pada kita adalah harapan supaya orang melakukan semuanya bagi kita, tetapi kita sendiri tidak dapat melakukannya bagi orang lain.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus di dalam Injil yang sangat menarik perhatian kita. Penginjil Matius mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan, Petrus datang kepada Yesus dan bertanya tentang pengampunan yang dapat dilakukannya kepada saudara yang berdosa terhadapnya. Apakah Petrus cukup mengampuni sampai tujuh kali saja? Tuhan Yesus mungkin kelihatan tersenyum di hadapan Petrus karena sebagai seorang pemimpin yang dipercayakan Yesus, ternyata masih hitung-hitungan dalam hal mengampuni. Sebab itu Tuhan Yesus membuat ‘Revolusi Mental’ kepada Petrus dan teman-temannya. Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22). Jawaban Yesus ini benar-benar mengherankan bagi Petrus dan teman-temannya. Tentu saja Tuhan Yesus tidak sedang berbicara tentang hitungan matematis ‘70x7x’. Ia sedang berbicara tentang mengampuni sebagai sebuah seni, dalam hal ini mengampuni itu tiasa batasnya.

Tuhan Yesus mengetahui kelemahan manusiawi para murid-Nya yang suka hitung-hitungan. Sebab itu Ia lalu memberi perumpamaan tentang seorang raja yang membuat perhitungan soal utang dengan hamba-hambanya. Ada seorang yang memiliki utang kepada raja yang cukup besar yaitu sepuluh ribu talenta. Jumlah ini sangat besar dan tentu saja tidak dapat dibayar lunas oleh hamba kepada rajanya karena hampir setara dengan gaji yang dibayar selama 150 tahun. Pikirkan bahwa ini adalah utang turun temurun sampai 150 tahun. Misalnya 1 talenta itu senilai dengan 60 mina. 1 Mina setara dengan upah 3 bulan. Maka 1 talenta itu senilai dengan 60 mina dikalikan dengan upah selama 3 bulan sama dengan upah selama 180 bulan. Maka 1 talenta sama dengan upah selama 180 bulan dibagi 12 bulan dalam setahun sama dengan upah selama 15 tahun. Maka 10.000 talenta setara dengan upah selama 150.000 tahun. Pikirkan misalnya upah dalam setahun dalam hitungan dollar Amerika dengan perhitungan $8 per jam atau 40 jam per minggu maka totalnya adalah $15.000. Maka 10.000 talenta yang setara dengan upah selama 150 tahun adalah $2.250.000.000. Ini baru dalam dollar Amerika, apalagi dalam Rupiah! Apa yang dilakukan raja kepadanya? Ternyata raja sangat murah hati. Ia tergerak oleh belas kasih untuk menghapus utang 10.000 talenta ini. Raja ini luar biasa. Ia tidak menghitung utang hambanya. Ia malah berbelas kasih dan membebaskannya dari utangnya yang besar.

Ternyata sikap raja ini ditanggapi berbeda dengan hamba yang tidak tahu diri ini. Ketika dia menjumpai temannya yang berhutang 100 seratus dinar makai a menagihnya dengan kasar. Kekerasan fisik dan verbal dilakukannya kepada temannya itu, bahkan sempat memenjarakannya. Orang yang tidak tahu diri ini kemudian mendapatkan hukuman yang lebih besar sampai melunasi semua hutangnya. Hamba ini tidak memiliki rasa belas kasih, tidak memiliki kemampuan untuk berbelas kasih kepada sesamanya. Maka tepat sekali perkataan Tuhan Yesus ini: “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Mat 18:35).

Kisah kedua orang di dalam Injil ini adalah gambaran hidup kita. Banyak kali kita selalu berdoa dan berharap supaya Tuhan mengampuni dosa-dosa kita. Kita berani mengakui dosa dan salah kita dan mengharapkan pengampunan yang berlimpah dari Tuhan. Masalahnya adalah kita sering lupa dan sulit untuk mengampuni sesama, memaafkan mereka dalam hidup kita. Kita masih hidup dalam seribu satu perhitungan. Padahal Tuhan mengajar kita untuk mengampuni tanpa batas. Hati menjadi sedih kalau memikirkan sikap manusia yang arogan, yang hanya menuntut untuk dimaafkan, diampuni, dikasihi tetapi dirinya tidak mampu memaafkan, mengampuni dan mengasihi.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan penulis Jonathan Lockwood Huie ini: “Maafkan orang lain bukan karena mereka pantas diampuni, tapi karena kamu pantas mendapatkan kedamaian.” Kita dapat memiliki hati yang damai dan sukacita kalau kita memiliki kemampuan untuk mengampuni tanpa batas. Mengampuni berarti melupakan (forgive-forget). Kita membangun sebuah kultur saling mengampuni. Perkataan yanng harus keluar dari hati adalah: “Saya mengampunimu karena Tuhan Yesus mengajar saya untuk mengampuni tanpa batas.” Santa Skolastika, doakalah kami. Amen

P. John Laba, SDB