Homili 8 Agustus 2022

Peringatan Wajib St. Dominikus de Guzman
Yeh. 1:2-5,24-2:1a
Mzm. 148:1-2,11-12ab,12c-14a,14bcd
Mat. 17:22-27

Memandang kemuliaan Tuhan

Pada hari ini kita mengenang Santo Dominikus de Guzman. Dominikus lahir pada tahun 1170 di Calaruega, Spanyol. Keluarganya merupakan sebuah keluarga katolik sejati. Ayahnya bernama Felix de Guzman dikenal sebagai bangsawan Kristen yang saleh dan taat sedangkan ibundanya adalah seorang Beata yakni Beata Yoana dari Aza. Dominikus memiliki dua orang kakak Bernama Mannes dan Antonio. Mereka membaktikan hidupnya bagi Tuhan dan Gereja sebagai imam. Kakaknya Mannes dikemudian hari digelari Beato karena kesucian hidupnya dan pengabdiannya yang tulus kepada Tuhan dan Gereja. Ia sendiri diberi nama Dominikus sebagai ungkapan syukur ibunya pada Santo Dominikus dari Silo. Dominikus mendapatkan pendidikan yang baik sehingga menjadi seorang imam yang membaktikan diri untuk mewartakan Sabda, membela Gereja dari pada bidaah bidaah Albigensianisme. Dia bahkan mendirikan Ordo Praedicatorum (Ordo para Pengkhotbah) untuk membela gereja dari serangan bidaah ini.

Dominikus tutup usia di kota Bologna pada tanggal 6 Agustus 1221 setelah menderita sakit keras. Ia seorang pendoa yang merasakan benar makna kehadiran Allah. Para rekannya berkata: “Ia terus berbicara dengan Tuhan dan tentang Tuhan; siang hari ia bekerja bagi sesamanya, dan malam hari ia berkontak dengan Tuhan. Sebelum meninggal ia berpesan: “Tetaplah teguh dalam cinta kasih dan kerendahan hati, dan jangan tinggalkan kemiskinan!” Ia juga berkata: “Persenjatai dirimu dengan doa, bukannya pedang; berselimutlah dengan kerendahan hati, bukan pakaian yang bagus.” Hidup Dominikus dan perjuangannya menunjukkan visinya yang jelas untuk melihat kemuliaan Tuhan di dalam diri sesama, mereka yang miskin dan yang menjauh dari Tuhan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengarahkan kita untuk ikut melihat gambaran tentang kemuliaan Tuhan. Di dalam bacaan pertama kita mendengar kisah hidup dan panggilan dari nabi Yehezkiel. Nama Yehezkiel berarti Allah menguatkan. Yehezkiel adalah anak Busi, berasal dari keluarga imam. Ia dibesarkan di Yerusalem, dan dibawa ke Babel pada tahun 597 SM. Setelah lima tahun masa pembuangan (sekitar tahun 593 SM), pada usia 30 tahun, ia dipanggil Tuhan menjadi nabi (Yeh 1:1). Beliau adalah salah satu sosok nabi yang bernubuat pada masa pembuangan sekitar tahun 593-571 SM. Nubuatnya bernuansa menegur, menasihati dan menghiburkan bangsa Israel dalam pembuangan. Kata-kata Tuhan sangat membantu orang-orang pada zamannya untuk ikut melihat gambar kemuliaan Tuhan.

Apa yang kita dengar sebagai kesaksian dari Yehezkiel pada hari ini? Yehezkiel tinggal di tepi sungai Kebar. Pada suatu kesempatan ia melihat angin badai bertiup dari utara dengan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat, awan itu sendiri dikelilingi oleh sinar. Di saat yang sama ia melihat empat makhluk hidup yang menyerupai manusia. Ketika mereka berjalan nampak bunyi seperti air terjun yang menderu seperti suara Yang Mahakuasa, seperti keributan laskar yang besar. Di atas cakrawala kelihatan sebuah takhta seperti terbuat dari permata lazurite. Nampak juga seperti busur Pelangi yang dilihat pada musim hujan di antara awan-awan. Yehezkiel benar-benar melihat kemuliaan Tuhan dan mendengar sebuah perkataan: “Hai Anak Manusia, bangun dan berdirilah! Aku hendak berbicara dengan engkau.”

Kisah penglihatan Yehezkiel tentang gambar kemuliaan Tuhan menjadi awal yang baik baginya untuk melakukan tugas kenabiannya di negeri orang Kasdim. Di negeri asing sekali pun, Tuhan mau memakai Yehezkiel yang diharapkan untuk mewartakan Sabda dan bersaksi tentang kasih dan kemuliaan Tuhan. Dia melakukan tugas kenabiannya sampai tuntas. Di dalam Kitab nabi Yehezkiel kita mendapat gambaran penugasan utamanya yakni untuk menjelaskan lukisan tentang penglihatan gambar kemuliaan Tuhan (Yeh 1:4-28) dan rumusan sabda serta tidakan yang mencerminkan tugas dan perutusannya (Yeh 2:1-3:15). Dia meninggal dunia di Babilonia setelah tahun 571 SM.

Di dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus membantu kita untuk melihat kemuliaan-Nya dalam penderitaan-Nya. Di dalam Injil Matius kita menemukan perkataan Yesus tentang penderitaan, penolakan hingga kematian-Nya sebanyak tiga kali yakni dalam Mat 16: 21; 17:22-23 dan 20: 17-19. Perikop yang kita baca pada hari ini adalah pada perkataan-Nya yang kedua kali: “Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali.” (Mat 17:22-23). Tuhan Yesus menunjukkan kemuliaan-Nya dalam penderitaan-Nya. Mata semua orang bahkan kita saat ini tertuju kepada Tubuh-Nya yang mulia.

Kemuliaan Kristiani bukan pada berapa jumlah orang yang mengikuti Yesus saat ini. Banyak kali orang hanya duduk dan menghitung pengikut agamanya, menghitung mayoritas dan minoritas, kawanan kecil dan kawanan besar. Hidup Kristiani yang benar adalah menjadi garam dan terang di tengah dunia. Garam yang rela meleburkan dirinya, kehilangan dirinya untuk memberikan rasa dari dalam makanan. Hal yang sama harus terjadi dalam hidup sebagai orang beriman. Terang ada karena ada kegelapan. Terang sejati selalu mengalahkan kegelapan. Terang adalah Tuhan sendiri. Maka kemuliaan. Kristiani terletak pada cinta kasih, perbuatan baik dan usaha untuk membuat manusia benar-benar bermakna. Membantu orang lain untuk melihat kemuliaan Tuhan dalam diri sesama yang menderita.

Apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan?

Tentu saja dengan hidup sebagai orang beriman terbaik di tengah dunia. Orang beriman yang mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Yesus sebagai Tuhan taat pajak. Ia sendiri tidak mau menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kita pun dipanggil untuk menunjukkan nilai hidup sebagai pengikut Kristus dengan hidup dalam masyarakat dan melakukan tugas dan panggilan serta pengabdian dengan sebaik-baiknya. Santo Dominikus, doakanlah kami untuk ikut melihat dan menikmati kemuliaan Tuhan kelak. Amen.

P. John Laba, SDB