Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVIC – 2022

Hari Minggu Biasa XXVI
Am 6:1a,4-7
Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10
1Tim. 6:11-16
Luk. 16:19-31

Berbahagialah orang miskin

Tuhan Yesus dalam kotbah di bukit berkata: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:3). Perkataan Tuhan Yesus ini menjadi peneguhan bagi orang-orang miskin. Bagi mereka, ternyata masih ada orang yang bisa menyapa mereka, care dengan mereka. Mereka bukan saja di sapa ‘berbahagialah’ tetapi ada satu janji dari Tuhan bagi mereka yakni: “merekalah yang empunya Kerajaan Surga”. Tentu saja ini sapaan dan janji yang sangat menggembirakan bagi mereka. Kerahiman Tuhan sungguh nyata bagi mereka. Saya teringat pada santa Theresia dari Kalkuta. Ada satu perkataannya yang sangat menginspirasi: “Terkadang kita berpikir bahwa kemiskinan hanyalah kelaparan, telanjang, dan tunawisma. Kemiskinan karena tidak diinginkan, tidak dicintai, dan tidak diperhatikan adalah kemiskinan terbesar. Kita harus mulai dari rumah kita sendiri untuk mengatasi kemiskinan semacam ini.” Perkataan orang kudus ini menambah wawasan kita untuk memberi perhatian kepada sesame kita mulai dari dalam keluarga kita masing-masing. Pasangan hidup sebagai suami dan istri saling memperhatikan satu sama lain. Para orang tua menaruh perhatian kepada anak-anak yang merupakan tanda kasih Allah. Perhatian kepada para pembantu, sopir dan semua orang yang bekerja bersama kita. Bersikap adil dalam memberi honor itu adalah perbuatan baik. Jangan menilai mereka dari ‘berapa’ yang kita berikan tetapi bahwa mereka adalah sesame patutlah kota menghormati mereka.

Pada hari Minggu Biasa ke-XXVI ini mata kita tertuju kepada kaum papa miskin yang empunya Kerajaan Surga. Kita mendengar kisah Injil yang sangat menarik. Ada dua sosok dalam Injil yang berbeda. Sosok pertama adalah orang kaya tanpa nama. Ciri khasnya adalah: ‘berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.’ (Luk 16:19). Dia akhirnya meninggal dunia dan mengalami banyak penderitaan: “Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.” (Luk 16:24). Dalam suasana penderitaan ini dia sadar diri dan meminta supaya saudara-saudaranya yang masih hidup dapat berubah dan Kembali kepada Tuhan sebelum mereka meninggal dunia. Inilah permintaannya kepada Abraham: “Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini.” (Luk 16:27-28).

Sosok kedua adalah orang miskin dengan nama yang sangat jelas Lazarus. Dalam Bahasa Yunani disebut Λαζαροσ (Lazaros) dan dalam Bahasa Ibrani אלעזר (Eleazar) yang berarti Allah sudah menolong atau Ditolong oleh Allah. Sosok ini digambarkan: “Seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.” (Luk 16:20-21). Silakan membayangkan sosok ini, begitu menyedihkan di depan orang kaya tanpa nama. Dia tak berdaya, tidak diperhatikan oleh manusia yang lain. Hanya anjing-anjing yang memperhatikannya, menjilat borok-boroknya. Betapa ekstrimnya ketika tidak ada rasa kemanusiaan, yang ada hanya anjing yang dianggap najis itu menunjukkan persahabatan dengannya.

Akhir dari kedua sosok ini adalah kematian. Lazarus benar-benar ditolong oleh Tuhan Allah. Para malaikat langsung membawanya dan ia malah dipang Abraham. Kebahagian kini menjadi miliknya. Orang kaya tanpa nama justru mengalami kemalangan di tengah kobaran api yang menyala. Ada kelaparan dan kehausan. Dalam situasi seperti ini, dia sadar supaya saudara-saudaranya yang masih hidup harus bertobat. Mereka perlu berubah supaya tidak menyusulnya di tengah kobaran api abadi.

Hidup kita berada dalam pengalaman kedua sosok ini. Ada di antara kita yang begitu miskin dan benar-benar membutuhkan pertolongan. Mereka yang tersingkir dalam masyarakat, tak berdaya. Mungkin anda dan saya bisa masuk di dalam kategori ini, berbahagialah karena memiliki Kerajaan Allah. Ada juga orang-orang kaya, memiliki segalanya dan begitu empati dengan orang-orang miskin. Mereka berempati, tidak pernah hitung-hitungan ketika memberi kepada Lazarus lain. Ada juga orang kaya yang memberi sambil menghitung kebaikannya. Ada orang kaya yang masa bodoh dengan orang-orang miskin yang berada di sekitarnya. Inilah realitas hidup kita. Maka kedua sosok, baik Lazarus maupun orang kaya tanpa nama bisa menjadi kita. Mari kita berubah.

Nabi Amos dalam bacaan pertama benar-benar mau mengoreksi kita. Dia mengatakan: ‘Celakalah orang-orang yang berada di zona nyaman’ sampai lupa diri bahwa masih ada orang lain yang belum masuk ke zona nyaman. Mestinya orang jangan menjadi tamak tetapi perlu membuka diri untuk membahagiakan sesamanya. Kadang-kadang orang-orang mudah lupa diri sampai melupakan sesame yang menderita. Perhatikan orang-orang yang sedang menyambut tahun politik. Mereka akan ramah dengan semua orang, sok akrab dan sok dekat. Tetapi ketika mereka berada di zona nyaman, di kursi empuk maka mereka mudah lupa dengan para konstituennya.

Santo Paulus menasihati Timotius dan kita semua dalam bacaan kedua: “Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi.” (1Tim 6:11-12). Perhatian kita kepada sesama mestinya seperti ini. Kita perlu bertanya dalam bathin kita: apakah saya bersifat adil terhadap sesame manusia? Apakah saya adalah pribadi yang setia, mengasihi, sabar dan lemah lembut kepada sesama yang sangay membutuhkan? Kalau saja kita pekat terhadap kehidupan sesama maka kita membuatnya bahagia dan memiliki Kerajaan Allah, demikian juga kita semua akan merasa bahagia dan memiliki Kerajaan Allah.

Kata-kata peneguhan bagi kita pada hari Minggu ini adalah: “Turutilah perintah ini, dengan tidak bercacat dan tidak bercela, hingga pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya, yaitu saat yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” (1Tim 6:14-15). Solo Dio basta! Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB