Homili 27 September 2022 – Santo Vinsensius A Paulo

Peringatan Wajib St. Vinsensius a Paulo
Ayb. 3:1-3,11-17,20-23
Mzm. 88:2-3,4-5,6,7-8
Luk. 9:51-56

Dengan Mata yang tertuju ke Yerusalem

Pada hari ini kita mengenang santo Vinsensius a Paulo. Sosok orang kudus ini sangat inspiratif karena ia membaktikan seluruh hidupnya bagi kaum miskin, telantar dan tertindas. Kebajikan-kebjikan yang diteladani oleh santo Vinsensius adalah simplisitas (kepolosan hati), rendah hati, kelembutan hati, mati raga dan semangat menyelamatkan jiwa-jiwa. Ada tiga kutipan yang menginspirasi saya untuk membagikannya dalam homili ini. Pertama, Vinsensius pernah berkata: “Keramahan adalah jiwa dari pergaulan yang baik dan karena itu membuat pergaulan menjadi bukan hanya berguna, melainkan juga menyenangkan.” Hidup kristiani bermakna bukan karena kita hanya menjadi orang yang dibaptis saja. Kita harus menunjukkan jati diri kita sebagai orang yang dibaptis dengan memiliki jiwa yang ramah kepada semua orang. Tuhan Yesus sendiri bergaul dengan orang baik dan orang jahat. Kasih dan kebaikan-Nya mengubah hidup banyak orang. Kedua, “Saya berdoa agar Tuhan sendiri menjadi kekuatan bagi yang lemah dan keutamaan bagi yang kuat dan doa mereka yang tidak dapat berdoa.” Santo Vinsensius dalam hidup dan pelayanannya, dia tetap mengandalkan Tuhan. Tuhan menjadi kekuatan bagi mereka yang lemah, miskin, terlantar, tertindas dan kaum difable. Ketiga, “Kerajaan Allah adalah damai sejahtera dalam Roh Kudus; dia akan memerintah di dalam kamu jika hatimu damai. Karena itu, berdamailah… dan Anda akan menghormati Tuhan yang penuh damai dan kasih dengan berdaulat.” Orang yang matanya tertuju kepada Tuhan Yesus, dia juga akan memiliki pandangan yang sama dengan Yesus yang sedang memandang ke Yerusalem. Memandang ke Yerusalem sebagai tempat untuk membuat orang memiliki damai di kita damai.

Sambil mengenang santo Vinsensius a Paulo, pikiran kita tertuju kepada kisah Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil hari ini. Dikatakan bahwa ketika hampir genap waktunya Dia diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem. Menurut Penginjil Lukas, ini benar-benar saat di mana Yesus meninggalkan Galilea menuju ke Yerusalem. Dia tidak kembali lagi ke Galilea, tetapi menetap dan Yerusalem hingga saat-Nya benar-benar tiba. Perjalanan ke Yerusalem itu tidaklah muda. Ia mulai mengalami penolakan-penolakan tertentu, sebagaimana Ia mengalaminya di sekitar Samaria. Orang-orang Samaria tidak mau menerima Yesus yang sedang lewat di daerah mereka menuju ke Yerusalem. Tentu saja orang-orang Samaria memiliki alasan bahwa Yesus adalah orang Yahudi yang sedang menuju ke Yerusalem daerah Yehuda. Apapun yang sudah pernah di buat Yesus itu tidak diapresiasi oleh mereka. Kita akan mengetahui lebih lanjut bahwa Yesus akan tetap ditolak, tidak dikenal dan mereka bahkan berseru ‘salibkan Dia’ Salibkan Dia adalah teriakan penolakan pada pribadi Yesus di Yerusalem.

Reaksi pun terjadi. Anak-anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes secara manusiawi meminta supaya dengan kuasa Tuhan, mereka dapat menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka. Ini benar-benar merupakan jalan pintas yang berada di dalam pikiran manusia. Anak-anak Zebedeus berpikir secara manusiawi bahwa membinasakan orang yang melawan Tuhan atau menolak Tuhan adalah jalan yang tepat. Ternyata tidaklah demikian. Tuhan Yesus malah menegur mereka dengan bergakata begini: “Kalian tidak tahu apa yang kalian inginkan. Anak Manusia datang bukan untuk membinasakan orang melainkan untuk menyelamatkannya.”

Mari kita kembali ke perkataan santo Vinsensius a Paulo: “Keramahan adalah jiwa dari pergaulan yang baik dan karena itu membuat pergaulan menjadi bukan hanya berguna, melainkan juga menyenangkan.” Memiliki keramahan jiwa dalam berelasi dengan sesama jauh lebih bermakna dari pada seribu satu kekerasan yang kita lakukan. Mungkin ada orang yang menikmati kebiasaan melakukan kekerasan fisik dan kekerasan verbal dan merasa puas. Orang-orang seperti itu berpikir bahwa merekad apat menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup dengan jalan pintas. Ternyata cara seperti itu bukanlah demikian. Kita perlu menggunakan cara Tuhan Yesus untuk menaklukan manusia yang menolaknya: Dia datang bukan untuk membinasakan melainkan untuk menyelamatkan. Lihatlah, manusia menyukai kekerasan, Tuhan menyukai kasih dan kelembutan hati. Betapa bedanya Tuhan dan manusia.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Ayub dalam bacaan pertama: “Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati; yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; yang bersukaria dan bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur; kepada orang laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah?” (Ayb 3:20-23). Banyak kali kita memberontak seperti yang disuarakan Ayub ini karena pengalaman hidup yang nyata. Namun demikian kita masih harus terus berpasrah kepada Tuhan. Hanya Tuhan saja yang dapat mengubah seluruh hidup kita untuk menjadi lebih baik lagi.

Pada hari ini mata kita semua tertuju ke Yerusalem. Kita berjumpa dengan sosok-sosok yang sangat menginspirasi hidup kita. Sosok pertama, Tuhan Yesus pergi ke Yerusalem, mulai mengalami penolakan di daerah Samaria, pada akhirnya menderita, wafat dan bangkit dengan mulia di Yerusalem. Sosok kedua adalah Ayub yang membuka mulut dan mengutuk hari kelahirannya. Pada akhirnya, Ayub juga berpasrah dan mengikuti kehendak Tuhan. Sosok terakhir adalah santo Vinsensius a Paulo. Dia adalah rasul kaum miskin yang memberi seluruh hidupnya bagi kamu miskin, terlantar dan tertindas. Dia yang memberi nasihat begini: “Tuhan tidak memperhitungkan hasil perbuatan baik yang kita lakukan melainkan amal kasih yang menyertainya.” Santo Vinsensius a Paulo, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB