Homili 30 Maret 2023

Hari Kamis, Pekan V Prapaskah
Kej. 17:3-9
Mzm. 105:4-5,6-7,8-9
Yoh. 8:51-59

Transformasi bathin ala Abraham

Salah satu sosok inspiratif dalam masa prapaskah ini adalah Abraham. Abraham menunjukkan kepada kita imannya yang total kepada Allah dan bagaimana ia mengejawantah imannya ini dalam sebuah relasi yang akrab dengan Tuhan dalam doa-doanya. Saya mengingat kembali Paus Fransiskus dalam sebuah audiensinya pada tanggal 3 Juni 2020 yang lalu, pernah membahas tentang kesetiaan Abraham kepada Allah. Bapa suci saat itu mengatakan: “Saudara-saudari, marilah kita belajar dari Abraham; marilah kita belajar bagaimana berdoa dengan iman: mendengarkan Tuhan, berjalan, berdialog, hingga berdebat. Janganlah kita takut untuk berdebat dengan Allah! … Marilah kita belajar dari Abraham untuk berdoa dengan iman, berdialog dan berdebat, tetapi selalu bersedia menerima Firman Tuhan dan mempraktikkannya. Bersama Allah, marilah kita belajar untuk berbicara seperti seorang anak dengan ayahnya: mendengarkan, menjawab, dan berdebat. Tetapi transparan seperti seorang anak dengan ayahnya. Inilah cara Abraham mengajarkan kita untuk berdoa.”

Hari ini kita berjumpa dengan sosok Abram yang bertransformasi menjadi Abraham. Ketika itu Allah menampakkan diri kepada Abram. Abram dengan imannya yang tulus bersujud kepada Tuhan Allah sambil mendengarnya. Tuhan Allah melihat iman dan kesetiaan Abram. Ia lalu mengikat perjanjian-Nya dengan Abram yang isinya adalah: Abram akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa. Konsekuensinya adalah nama Abram berubah menjadi Abraham karena Tuhan telah menetapkannya sebagai Bapa sejumlah besar bangsa. Tuhan menjadikan Abraham dan keturunannya bertambah sangat banyak sehingga mereka menjadi sebuah bangsa. Tuhan akan memberi seluruh negeri, seluruh tanah Kanaan kepada Abraham dan keturunannya. Perjanjian ini mengikat Abraham dan keturunannya. Sedangkan di pihak Abraham, Tuhan mengharapkan supaya ia dan keturunannya akan memegang perjanjian yang diikat oleh Tuhan.

Mengapa Tuhan mengikat perjanjian dengan Abraham? Karena Tuhan melihat inner life dari Abraham. Abraham menunjukkan kebajikan-kebajikan istimewa: ketaatannya, pemberian dirinya, dan imannya. Pertama, ketaatannya: Abraham memiliki rasa hormat, kasih dan kepercayaannya kepada Allah. Ia menunjukkannya secara sempurna dalam ketaatannya. Ketaatan adalah sebuah fungsi dari rasa hormat. Kedua, Kemurahan hatinya. Memberi adalah fungsi dari kasih dan kemurahan hati. Ketiga, Cintanya kepada Allah. Iman adalah fungsi dari kepercayaan. Ia beralih dari rasa hormat kepada kasih yang tulus. Kita semua dapat memulai dengan menaati Allah karena kita menghormati dan memuliakan-Nya. Semua kebajikan Abraham ini mentransformasi hidup pribadinya menjadi semakin laya bagi Tuhan.

Penginjil Yohanes mengisahkan tentang debat antara Yesus dan orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya. Mula-mula Yesus mengajak mereka untuk menuruti firman-Nya supaya mereka tidak mengalami maut selamanya. Perkataan Yesus membuat mereka kebakaran jenggot dan menganggap Yesus sedang kerasukan setan. Mereka juga mempertanyakan Yesus apakah Dia memang lebih besar daripada Bapa mereka Abraham. Maka Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Tuhan Yesus juga mengaku: “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia.” (Yoh 8: 54-59). Di sini Tuhan Yesus mentransformasi iman orang-orang yang sudah tumpul supaya layak bagi-Nya.

Apa yang menjadi transformasi pribadi kita di hadirat Tuhan? Dengan bercermin pada sosok Abraham, kita dapat melakukan banyak hal, misalnya: membangun komitmen pribadi untuk pertobatan, berani bereksodus dari hidup lama ke hidup baru dan bertekun dalam doa. Di atas semua ini, mari kita fokus kepada Tuhan Yesus.

P. John Laba, SDB