Homili 23 Agustus 2023

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXA
Hak. 9:6-15
Mzm. 21:2-3,4-5,6-7
Mat. 20:1-16a

Merenungkan kemurahan hati Tuhan

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta saya sempat transit di sebuah kota. Di ruang tunggu penerbangan lanjutan, saya menjumpai seorang pemuda yang lebih dari sepuluh tahun yang lalu ia sangat aktif dalam berbagai kegiatan Gereja. Dia bahkan menjadi leader sebuah kelompok kepemudaan di Gereja. Keluarganya sederhana. Orang tuannya bekerja keras menyekolahkannya hingga lulus kuliah dan kerja. Sambil duduk dan bercerita tentang masa lalu dia menawarkan untuk membeli segelas kopi untuk saya. Hanya saja saya barusan minum segelas kopi juga sehingga saya menolaknya. Dia akhirnya memberikan kepada saya permen jahe dari tasnya. Percakapan berlanjut hingga kami sama-sama melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta. Saya merenungkan kembali sebuah aksi sederhana pemuda ini yakni ia yang dulunya masih anak kecil dan kini sudah menjadi dewasa, menawarkan segelas kopi, lalu sebuah permen jahe kepada saya di ruang tunggu penerbangan. Betapa luhur dan murah hati pemuda ini. Kemurahan hati itu dimulai dari hal yang sederhana, yakni menawarkan sesuatu yang sederhana dan kecil tetapi bermakna.

Tuhan Yesus memberi sebuah nasihat yang bagus kepada kita semua: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Nah, bukan kita yang lebih dahulu bermurah hati, bukan kita yang lebih dahulu mengasihi tetapi Tuhan yang lebih dahulu bermurah hati dan mengasihi kita. Mungkin kadang-kadang kita berpikir bahwa kita adalah pribadi yang lebih dahulu bermurah hati. Tuhan selalu mendahului kita. Sebab itu Tuhan Yesus menasihati kita supaya menjadi murah hati seperti Bapa di surga. Santo Agustinus pernah berkata: “Charity is a virtue which, when our affections are perfectly ordered, unites us to God. For by it we love him.” (Cinta kasih adalah kebajikan yang ketika kasih sayang kita tertata dengan sempurna dapat menyatukan kita dengan Tuhan sendiri. Karena dengan demikian kita mengasihi-Nya). Kita perlu belajar terus menerus untuk bermurah hati mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah tentang Kerajaan Allah yang isinya adalah kemurahan hati Tuhan. Dikisahkan bahwa ada seorang pemilik kebun anggur keluar pada pagi hari untuk mencari para pekerja supaya bekerja di kebun anggurnya. Kesepakatan upah kerja bagi setiap pekerja adalah satu dinar perhari. Kelompok pertama yang dipanggil untuk bekerja adalah pada pagi-pagi buta, kiranya jam enam pagi, menyusul jam sembilan, jam duabelas, jam tiga sore dan jam lima sore. Pada malam hari pemilik kebun anggur itu memanggil mandur supaya membayar upah para pekerja. Mereka yang dipanggil mulai dari jam lima sore, jam tiga, jam duabelas, jam sembilan dan akhirnya yang jam enam pagi. Mereka semua mendapat upah yang sama yaitu satu dinar. Secara manusiawi, orang yang bekerja seharian akan berpikir bahwa mereka mendapat lebih dari itu dibandingkan dengan mereka yang hanya bekerja sejam. Mereka benar-benar lupa pada kesepakatan awal bahwa mereka bekerja dan diberi honorarium satu dinar.

Sebenarnya contoh dalam injil juga sering terjadi di dalam hidup kita. Kadang orang membandingkan mereka yang bekerja manual seperti buruh kasar, di bengkel dan mereka yang bekerja di dalam ruangan ber-AC. Ada yang berpikir bahwa orang yang benar-benar bekerja adalah mereka yang bekerja manual, mengeluarkan keringat besar kecil di bawah terik mata hari sedangkan mereka yang di dalam ruangan itu tidak bekerja. Ini selalu menjadi kekeliruan di dalam dunia kerja. Orang yang bekerja dengan otak sangat berbeda dengan mereka yang bekerja dengan otot. Maka honorariumnya pun pasti berbeda. Namun satu hal yang penting adalah kesepakatan dan kontrak kerja yang jelas. Tentu ini memiliki legalitas sehingga tidak ada situasi yang mirip dengan para pekerja yang diceritakan di dalam injil.

Terlepas dari diskusi tentang keadilan sosial, penginjil Matius mau mengatakan bahwa sosok Allah yang kita Imani adalah Allah yang murah hati. Dia murah hati kepada semua orang tanpa memandang siapakah orang itu. Ada perbedaan yang jelas antara kemurahan hati Tuhan dengan kemurahan hati manusia. Kemurahan hati Tuhan itu tercermin dalam perkataan ini: “Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir” (Mat 20:16). Kemurahan hati manusia dilihat dari berapa yang dapat kita berikan, disertai dengan berbagai perhitungan selanjutnya. Bisa terjadi ketika kita memberi lalu menceritakan kepada semua orang di media sosial bahwa kita sudah memberi. Tuhan tidak pernah seperti itu. Dia hanya berkata: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Pokoknya beda banget!

Pada hari ini kita belajar untuk bermurah hati kepada semua orang. Kesepakatan kerja dan ketepatan waktu dalam memberi honorarium perlu kita perhatikan. Segala kesombongan kita tinggalkan karena Kerajaan Sorga bukanlah demikian.

P. John Laba, SDB