Homili 17 November 2023 – Santa Elisabet dari Hungaria

Peringatan Wajib St. Elisabet dr Hungaria
Keb. 13:1-9
Mzm. 19:2-3,4-5
Luk. 17:26-37

Mawas diri itu penting

Pada hari ini kita mengenang Santa Elisabet dari Hungaria. Beliau dikenal sebagai pelindung bagi para pembuat roti, Lembaga amal Katolik dan para anggota Sekuler dari keluarga Fransiskan. Dalam hidupnya yang singkat, Elizabeth menunjukkan cintanya yang begitu besar kepada kaum miskin dan mereka yang menderita. Sebagai putri Raja Hongaria, Elizabeth memilih suatu bentuk kehidupan askesis, padahal pada saat itu yang namanya kehidupan yang penuh kesenangan dan kemewahan bisa dengan mudah menjadi miliknya. Pilihan ini membuatnya disayangi oleh orang-orang biasa di seluruh Eropa.

Pada usia 14 tahun, Elizabeth menikah dengan Louis dari Thuringia. Ia sangat mencintainya. Dari perkawinannya ini, ia melahirkan tiga orang anak. Di bawah bimbingan rohani seorang biarawan Fransiskan, ia menjalani kehidupan doa, laku tapa, pelayanan kepada orang miskin dan orang sakit. Ia selalu berusaha menjadi satu dengan kaum miskin dengan mengenakan pakaian yang sederhana. Setiap hari ia membawa roti kepada ratusan orang miskin yang datang ke gerbangnya. Setelah enam tahun menikah, suaminya meninggal dalam Perang Salib sehingga membuatnya sangat sedih. Keluarga suaminya menganggapnya menghambur-hamburkan uang kerajaan, dan memperlakukannya dengan buruk, hingga akhirnya mengusirnya dari istana. Dengan kembalinya sekutu suaminya dari Perang Salib membuatnya dipulihkan, karena putranya adalah pewaris takhta yang sah. Pada tahun 1228, Elisabet bergabung dengan Ordo Sekuler Fransiskan. Ia menghabiskan beberapa tahun sisa hidupnya dengan merawat orang miskin di rumah sakit yang ia dirikan untuk menghormati Santo Fransiskus dari Asisi. Kesehatan Elisabet menurun, dan dia meninggal sebelum ulang tahunnya yang ke-24 pada tahun 1231. Popularitasnya yang luar biasa membuatnya dikanonisasi empat tahun kemudian.

Apa yang dapat kita pelajari dari orang kudus ini? Elisabet memahami dengan baik pelajaran yang Yesus ajarkan ketika Ia membasuh kaki murid-murid-Nya pada malam Perjamuan Terakhir: Pengikut Kristus haruslah merendahkan diri untuk melayani kebutuhan orang kecil, meskipun ia memiliki posisi yang tinggi dalam masyarakat. Sebagai seorang bangsawan, Elisabet bisa saja memerintah rakyat sesuka hatinya. Namun, ia malah melayani mereka dengan hati yang penuh kasih sehingga kehidupannya yang singkat itu telah memberikannya tempat yang istimewa di hati banyak orang. Elizabeth juga menjadi teladan bagi kita dalam mengikuti bimbingan seorang pembimbing rohani. Mengapa? Sebab pertumbuhan dalam suatu kehidupan rohani adalah sebuah proses yang sulit. Pembimbing rohani adalah utusan Tuhan untuk membantu kita bertumbuh dalam hidup rohani.

Sosok orang kudus, pencinta kaum miskin ini menginspirasi kita untuk merenungkan lebih dalam lagi Sabda Tuhan pada hari ini. Dalam bacaan pertama, dari Kitab Kebijaksanaan, kita semua mendapat orientasi yang jelas untuk mencari keselamatan yang datang dari Tuhan, dengan mengenal dan mencintai segala ciptaan-Nya. Segala ciptaan Tuhan adalah sarana yang membuat kita mengenal-Nya lebih dalam lagi di dalam hidup pribadi kita. Ada orang yang malah tidak mengenal Allah di dalam ciptaan-Nya. Santa Elisabet dari Hungaria menunjukkan teladan kepada kita dengan mengenal Allah di dalam diri kaum miskin yang dilayaninya. Sepotong roti yang diberikannya kepada orang miskin itu seperti diberikannya kepada Tuhan sendiri.

Kitab Kebjiaksanaan mengoreksi cara hidup orang yang tidak bijak karena kita  sering tidak mengenal Tuhan dalam ciptaan yang ada. Orang-orang yang tidak bijak dengan menganggap diri sebagai allah bagi karya tangannya sendiri. Ini adalah kesombongan manusia di hadapan Tuhan sang Pencipta. Kita membaca dalam bacaan pertama: “Sungguh tolol karena kodratnya semua orang yang tidak mengenal Allah sama sekali; dan mereka tidak mampu mengenal Dia yang ada dari barang-barang yang kelihatan, dan walaupun berhadapan dengan pekerjaan-Nya mereka tidak mengenal Senimannya. Sebaliknya, mereka mengganggap sebagai allah yang menguasai jagat raya ialah api atau angin ataupun udara kencang, lagipula lingkaran bintang-bintang atau air yang bergelora ataupun penerang-penerang yang ada di langit.” (Keb 13:1-2). Ini benar-benar merupakan gambaran manusia sepanjang zaman yang selalu mengagungkan dirinya sekaligus menyombongkan dirinya di hadapan sang Pencipta. Nasihat yang sangat berharga bagi kita semua adalah jangan melupakan Tuhan. Lihatlah wajah Tuhan dalam segala ciptaan-Nya. Ini sungguh merupakan jalan keselamatan bagi kita. Kita dapat menyelamakan nyawa kita dengan menghargai segala ciptaan Tuhan.

Satu sikap yang penting dalam hidup kita adalah sikap mawas diri dalam melihat dan mengalami segala cptaan Tuhan. Mawas diri atau introspeksi diri adalah proses mengamati diri sendiri dan mengungkapkan pikiran yang mendalam yang disadari, keinginan, dan sensasi dalam hidup kita. Mawas diri sangatlah dianjurkan untuk dilakukan secara rutin dan berkala agar kita dapat mengingat kekurangan atau kesalahan yang telah dilakukan dan tidak mengulanginya serta memperbanyak perbuatan baik kita. Dalam keseharian kita, mawas diri dapat dilakukan dengan memeriksa batin kita sebelum tidur. Dengan adanya sikap mawas diri dalam diri kita masing-masing maka akan membuat kehidupan kita lebih bahagia dan sejahtera karena mampu memahami diri dan lingkungannya. Dalam bahasa rohani, kita dapat menyelamatkan nyawanya. Banyak kali kita malah tidak mawas diri sehingga menjadi tamak dan melupakan Tuhan. Ini adalah penghalang keselamatan kita.

Dalam bacaan Injil kita mendengar pengajaran Tuhan Yesus tentang bagaimana kita menyiapkan diri kita untuk menyambut kedatangan diri-Nya sebagai Anak Manusia di dalam hidup kita. Contoh-contoh tragis di dalam Kitab Suci ditampilkan untuk memanggil kita lebih mawas diri lagi dalam menyambut kedatangan-Nya supaya kita juga dapat menyelamatkan nyawa kita. Misalnya kisah tentang air bah pada zaman Nuh di mana orang nyaman dengan hidupnya karena mereka makan dan minum, kawin dan dikawinkan. Atau pada zaman Lot di mana mereka sibuk dengan pekerjaan mereka: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Semua ini membuat mereka tidak bijak dan lupa pada Tuhan. Kita semua juga mengetahui bahwa air bah, hujan api dan belerang menghabiskan mereka semua.

Kedua contoh yang diberikan Tuhan ini membangun titik kesadaran kita sebagai manusia untuk tidak melupakan Tuhan, tidak mudah terlena dalam kenyamanan hidup ini. Untuk menyelamatkan nyawa sendiri kita harus berani mawas diri dalam setiap langkah hidup kita. Kita harus siap dan berjaga-jaga menantikan Anak Manusia menyatakan diri-Nya. Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya.” (Luk 17:33).

Apa yang harus kita lakukan?

Pada hari ini Tuhan mengingatkan kita untuk bijaksana dalam hidup dengan mengenal dan mencintai Allah melalui segala ciptaan-Nya. Kita juga berusaha mawas diri, berjaga-jaga dalam menantikan kedatangan Yesus sang Anak Manusia. Jalan untuk menyelamatkan nyawa kita adalah mawas diri, mengasihi orang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel dalam hidup kita setiap hari seperti santa Elisabet dari Hungaria. Santa Elisabet dari Hungaria, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB