Homili Hari Minggu Prapaskah III/B – 2024

HARI MINGGU PRAPASKAH III/B
Kel. 20:1-17 (singkat Kel. 20:1-3,7-8,12-17)
Mzm. 19:8,9,10,11
1Kor. 1:22-25
Yoh. 2:13-25

Tuhan mengubah mindset kita dalam masa Prapaskah

Pada hari ini kita memasuki pekan ketiga masa prapaskah. Fokus perhatian kita pada pekan ketiga ini adalah Tuhan menguduskan Bait Allah di Yerusalem. Sebagaimana kita ketahui bahwa dari semua pesta orang-orang Yahudi, Paskah merupakan satu pesta yang dirayakan setiap tahun dan dipusatkan di Yerusalem. Umat Israel secara pribadi atau keluarga melakukan ziarah ke Yerusalem untuk bersyukur dan mempersembahkan kurban persembahan kepada Yahwe. Tentu saja hal ini dilakukan untuk mengenang kembali peristiwa paskah yang dilakukan nenek moyang mereka di Mesir pada 1513 SM. Tuhan Allah lalu memerintahkan bangsa Israel untuk memperingati peristiwa penting ini setiap tahun yakni pada hari ke-14 dari bulan Abib atau bulan Nisan. (Keluaran 12:42; Imamat 23:5).

Kata ”Paskah” sendiri berasal dari kata Ibrani yang berarti ”melewati”. Kata ini berhubungan dengan peristiwa Allah melewatkan, atau menyelamatkan, anak-anak sulung bangsa Israel sewaktu Allah membinasakan semua anak sulung di Mesir. (Keluaran 12:27; 13:15). Namun sebelum Allah melakukan hal itu, Dia menyuruh bangsa Israel untuk menyembelih seekor domba atau kambing, lalu memercikkan darahnya ke kusen pintu mereka. (Keluaran 12:21- 22). Allah akan melihat tanda ini dan ”melewati” rumah mereka, dan anak sulung mereka pun selamat. (Keluaran 12:7, 13).

Apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan kisah Injil kita? Para penginjil sinoptik menempatkan pengudusan Bait Suci pada saat menjelang penderitaan Yesus Kristus. Penginjil Yohanes menceritakan kisah ini pada awal Injil tulisannya supaya membuka pikiran kita bahwa Yesus Kristus hadir dan membuka pikiran kita, mengubah mindset kita bahwa Dialah bait Allah yang sebenarnya dan kita pun terpanggil untuk menjadi Bait Allah yang hidup di dalam Gereja masa kini.

Dikisahkan bahwa Yesus tiba di Yerusalem dan menuju ke Bait Allah untuk berdoa. Sayang sekali karena Ia menemukan pemandangan yang tidak indah. Rumah Bapa-Nya sudah berubah menjadi pasar. Ia menemukan pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Reaksinya sangat keras: “Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” (Yoh 2:15-16). Reaksi Yesus ini ditanggapi oleh orang-orang Yahudi yang memintanya menunjukkan kuasa apa yang membuat-Nya melakukan demikian. Ia dengan tegas mengatakan Bait Allah yang dibangun selama 46 tahun itu bisa dirombak dan Ia sendiri dapat membangunnya selama tiga hari. Bait Allah adalah Tubuh-Nya sendiri yang akan menderita wafat dan bangkit pada hari ketiga. Mindset kita berubah karena sebelumnya para nabi dan imam mempersembahkan kurban bakaran, kini Yesus mempersembahkan diri-Nya satu kali untuk selamanya menjadi kurban yang menghapus dosa manusia. Banyak orang percaya kepada-Nya selama berada di Yerusalem.

Apa konsekuensi logisnya? Yesus adalah Bait Allah yang hidup. Dia juga mengenal hati setiap pribadi: “Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” (Yoh 2:24-25). Maka kita pun dipanggil untuk menjadi Bait Allah masa kini. Santo Paulus mengatakan: “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Korintus 3:16). Di tempat lain ia berkata: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20). Perkataan santo Paulus membuat kita merenung dan bersyukur karena tubuh kita begitu bernilai bagi Tuhan dan bagi diri kita. Kita harus menghormati tubuh kita dan tubuh sesama.

Apakah pada saat ini masih ada bait Allah yang kotor, tercemar dan menjadi seperti pasar? Jawabannya adalah masih ada. Ketika para orang tua membanding-bandingkan anak-anaknya sehingga menimbulkan anak-anak luka batin, ketika para pasutri, imam, biarawan dan biarawati tidak setia dalam menghayati hidup dan panggilannya. Bait Allah menjadi tercemar ketika para pendidik dengan sadar mengatakan kepada anak didiknya ‘bodoh’ atau ‘dungu’ dan tidak setia melakukan tugasnya. Bait Allah tercemar ketika para karyawan ‘makan gaji buta’ karena bekerja tidak efektif dan efisien tetapi menuntut kenaikan gaji. Kita semua masih menjadikan bait Allah sebagai pasar dan kotor. Paus Fransiskus pernah mengatakan dalam homilinya 3 April 2018: “Sangatlah jelek ketika Gereja tergelincir ke dalam sikap ini, menjadikan rumah Allah sebagai pasar”, ketika Gereja jatuh ke dalam godaan umum untuk “mengambil keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang baik, untuk memupuk kepentingan pribadi, yang kadang-kadang bahkan terlarang”.

Apa yang harus kita lakukan? Pertama, bacaan pertama memberi kepada kita kesempatan untuk merenung sepuluh perintah Allah sebagai jalan untuk bertumbuh menjadi Bait Allah yang hidup. Kedua, kita menyadari dan menerima Salib, bukan seperti anggapan orang Yahudi bahwa salin adalah batu sandungan dan orang Yunani bahwa salib adalah kebodohan. Salib adalah kekuatan dan hikmat Allah bagi kita orang beriman. Ketiga, mari kita sadar diri untuk menghargai kekudusan tubuh kita dan tubuh sesama sebagai Bait Allah yang hidup.

P. John Laba, SDB