Renungan 19 Agustus 2013

Hari Senin, Pekan Biasa XX

Hak 2:1-11
Mzm 106:34-37.39-40.43ab-44
Mat 19:16-22
Jatuh lagi dalam dosa yang sama

Ada seorang pemuda datang dan berbicara dengan saya setelah pengakuan dosanya di Gereja. Ia bertanya kepadaku alasan mengapa ia selalu jatuh dalam dosa yang sama. Saya mengatakan kepadanya bahwa dia sendirilah yang harus mencari alasan mengapa ia selalu mengulangi dosa yang sama bukan pastornya yang memberi alasan. Setelah berbincang cukup lama saya mengatakan kepadanya bahwa pertobatan itu berasal dari dalam diri kita. Apa yang harus kita lakukan? Pertama, kita harus memiliki iman kepada Tuhan karena imanlah yang menyelamatkan kita. Dengan mengimani Allah, kita akan merasa malu karena selalu mengulangi dosa yang sama. Kita belum memiliki kesungguhan untuk mengakui dosa dan salah kita serta membangun niat untuk bertobat. St. Bernardus dari Clairvaux pernah berkata, “Pertobatan yang tulus adalah menghindari kesempatan untuk berbuat dosa”. Kedua, kita harus rendah hati di hadirat Tuhan. Orang yang rendah hati akan bersujud dan memohon ampun dari Tuhan karena ia mengenal dirinya dengan baik. Ketiga, tekun berdoa. Orang yang tekun dalam doa akan menyadari dosa dan salahnya sehingga dengan sendirinya dapat bertobat. Keempat, komitmen yang sungguh-sungguh. Orang harus berpegang teguh pada komitmennya untuk bertobat dengan tidak menulangi dosa-dosanya. 

Pengalaman pemuda ini juga merupakan pengalaman keseharian kita. Banyak orang tetap mengulangi dosa yang sama dan berpikir bahwa itu bukanlah dosa lagi. Mereka berpikir bahwa orang dikatakan berdosa dan mengakui dosa kalau ia membuat dosa baru, tetapi kalau ia hanya mengulangi dosa yang sama maka itu bukanlah dosa dan tidak perlu diakui. Pemikiran seperti ini dapat membuat orang untuk tidak mendekatkan dirinya lagi kepada sakramen tobat. Orang boleh pergi ke Gereja, mendengar Sabda dan menerima komuni dengan hati yang keras, penuh dosa dan salah. Mengapa orang dapat berprilaku demikian? Mungkin saja karena pemahaman iman katoliknya terbatas. Orang hanya puas menjadi orang katolik karena memiliki surat baptis tetapi tidak mempu mempertanggungjawabkan imannya.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan dari Bangsa Israel. Mereka sudah menempati tanah yang dijanjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka yakni Abraham, Ishak dan Yakub. Tanah yang kaya dengan susu dan madu, penuh dengan kesejahteraan. Pada suatu kesempatan Tuhan mengutus malaikatNya naik dari Gilgal, sebuah tempat suci pertama kaum Israel, di samping Yordan ke Bokhim. Tuhan berfirman denan mengingatkan mereka semua perbuatan besar dan ajaib yang sudah dilakukanNya kepada mereka: “Aku telah menuntun kamu keluar dari Mesir dan telah menghantar kamu memasuki tanah yang telah Kujanjikan kepada nenek moyangmu. Aku tidak membatalkan perjanjianKu dengan kamu, tetapi kamu tidak boleh sekali-kali mengadakan perjanjian dengan orang Kanaan dan kamu harus merobohkan altar mereka. Akan tetapi kamu tidak menaati perintahKu. Mengapa kamu berbuat seperti itu” (Hak 2:1-2). 

Tuhan mengingatkan kembali semua perbuatan besar dan ajaib bagi Israel tetapi mereka sendiri tidak menyadariNya. Tuhan memerintahkan mereka untuk menghancurkan berhala-berhala orang Kanaan yang diletakkan di altar, tetapi mereka tidak menghancurkannya bahkan menyembahnya. Ketika Malaikat Tuhan mengingatkan mereka akan perbuatan dosa yang sudah mereka lakukan, mereka semuanya menangis, menyesali dosa menyembah berhala dan berjanji lagi untuk menyembah Yahwe. Namun setelah Yosua dan para tua-tua yang turut mengantar Israel masuk ke tanah terjanji meninggal dunia, orang-orang Israel kembali jatuh ke dalam dosa yang sama yakni menyembah berhala kepada dewa Baal.
Pengalaman umat Israel dengan pergumulan untuk jatuh dan bangun di hadirat Tuhan juga dialami oleh kita semua saat ini. Banyak kali kita semua berjanji kepada Tuhan untuk bertobat, membaharui diri atau dengan bahasa yang lebih terkenal “bermetanoia”. Namun demikian bermetanoia belumlah menjadi sebuah komitmen yang sungguh-sungguh di dalam diri kita. Orang yang bermetanoia akan menyangal dirinya, memiliki sikap lepas bebas terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Penginjil Matius dalam bacaan hari ini mengisahkan perjumpaan seorang pemuda dan

Yesus. Pemuda itu bertanya kepada Yesus sebuah syarat untuk memperoleh hidup kekal. Yesus mengatakan kepadanya bahwa untuk dapat masuk ke dalam hidup, ia harus mentaati semua perintah Tuhan Allah. Ternyata perintah-perintah Tuhan itu sudah ditaatinya sebelumnya. Ia bertanya lagi kepada Yesus tentang hal apa lagi yang masih kurang dari dirinya. Yesus memandangnya dengan kasih, dan mengatakan titik kelemahannya yakni pada semua harta yang masih mengikat hatinya. Yesus berkata: “Jika engkau hendak menjadi sempurna, pergilah dan juallah segala yang kaumiliki dan berilah uang itu kepada orang miskin, maka engkau akan menjadi pemilik harta di surga. Lalu kembalilah dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). Pemuda itu menyesal dan pergi karena hartanya banyak. 

Yesus memandang pemuda itu dengan kasih dan mengetahui bahwa di mana hartanya berada, hatinya juga masih berada di sana. Untuk menjadi pengikut Kristus yang setia, ia harus berusaha untuk lepas bebas dari semua harta kekayaannya. Yesus mengatakan kepadanya untuk pergi dan menjual semua harta. Menjual harta saja belum cukup karena hasil penjualan itu harus diberikan kepada kaum miskin. Setelah tidak punya apa-apa maka harapannya hanyalah kepada Tuhan. Pada saat itulah ia boleh kembali kepada Yesus dan mengikutiNya. Kristus adalah Tuhan, tetapi rela memilih untuk menjadi miskin, rela mengosongkan dirinya! (Flp 2:7). Pertobatan yang benar dapat terjadi ketika orang berani mengosongkan dirinya dan membiarkan Tuhan Yesus masuk dan tinggal di dalam dirinya. Maranatha!

Doa: Tuhan, bantulah supaya pada hari ini kami dapat mengosongkan diri untuk membiarkan Engkau masuk dan tinggal di dalam diri kami. Semoga kami juga dapat bertobat dan tidak mengulangi dosa yang sama. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply