Homili 21 Oktober 2014

Hari Selasa, Pekan Biasa XXIX
Ef 2:12-22
Mzm 85: 9ab-10, 11-12.13-14
Luk 12:35-38

Salib mendamaikan segalanya!

Fr. JohnAda seorang sahabat yang menulis status face booknya begini: “The symbol of love is not the heart, but the cross. For the heart stops beating, but the man on the cross never stops loving.” (Lambang kasih bukanlah jantung hati melainkan salib. Karena jantung bisa berhenti detakannya tetapi Dia yang tersalib itu tidak akan berhenti mengasihimu). Saya menyimak kata-kata ini sambil memandang salib Yesus di kamarku. Selama ini saya hanya merasa bahwa Salib ini hanya sebuah simbol biasa-biasa yang menghiasi kamarku. Tetapi sejak membaca kutipan itu saya menjadi sadar dan merasakan kasih Tuhan berlimpah rua bagiku tetapi banyak melupakannya. In cruce salus, pada salib ada keselamatan.

St.Paulus melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Efesus. Setelah mengajarkan jemaat di Efesus bahwa hidup lama yang penuh dosa bisa diubah karena kasih karunia dari Tuhan, kini Paulus meneguhkan jemaat Efesus dengan memandang kepada Kristus sendiri. Ia mula-mula mengingatkan mereka tentang masa lalu tanpa Kristus di mana mereka tidak punya harapan dan tanpa Allah di dalam hidup mereka. Mereka hanya memiliki dunia dengan pengalaman kedagingan atau pengalaman salah dan dosa. Namun menurut Paulus, mereka akan beralih dari hidup lama ke hidup baru di dalam Kristus. Hidup baru dalam Kristus mendekatkan diri yang jauh menjadi dekat karena darah Kristus.

Paulus juga mengingatkan jemaat Efesus bahwa Kristus adalah damai sejahtera kita. Ia mendamaikan kita dengan Bapa di surga melalui kematianNya di atas kayu salib. Dengan kematiannya utang dosa kita lunas, hidup lama sebagai sebuah kematian berubah menjadi hidup baru penuh kemuliaan, hukum Taurat dibatalkan oleh Yesus karena kematianNya sebagai manusia. Yesus mendamaikan dengan salibNya sendiri orang-orang yang jauh dan dekat. Karena jasa Yesus Kristus maka kita semua menjadi satu, tak ada lagi orang asing dan pendatang, semuanya menjadi satu kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah. Menurut Paulus, keluarga Allah itu dibangun di atas para rasul dan nabi. Kristus sendiri adalah batu penjuru. Dia menjadi dasar bagi bait Allah yang kudus dan hanya bersama Dia kita menjadi tempat tinggal Roh Kudus.

Paulus memang hebat. Ia membagi pengalaman rohaninya bersama kita. Ia menghadirkan sosok seorang Yesus yang tersalib yang menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang. Kasih Tuhan Yesus itu diungkapkanNya secara nyata di atas kayu salib. Dengan menyerahkan diriNya secara total kepada Bapa di atas kayu Salib, Tuhan Yesus mau mengajar kita makna cinta sejati. Cinta sejati itu indah karena melaui pengorbanan diri sampai wafat di salib. Cinta sejati itu bukan hanya sekedar slogan tetapi suatu kenyataan. Hanya di dalam Yesus Kristus kita bisa menemukan dan merasakan cinta sejati itu.

Di dalam bacaan Injil Tuhan mengingatkan kita bagaimana membangun relasi cinta kasih sejati dengan Tuhan. Ia menawarkan kepada kita sikap kewaspadaan dalam menanti kedatangan Tuhan. Yesus berkata: “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.” (Luk 12:35). Perkataan Yesus kepada para muridNya menandakan hidup seorang murid sebagai hamba yang pinggangnya terikat dan pelita menyala untuk melayani Tuhan. Pinggang terikat adalah kebiasaan orang Yahudi ketika bekerja atau melakukan perjalanan sehingga mereka lebih terarah.

Yesus juga membandingkan pengalaman para murid ini dengan pengalaman para hamba yang menantikan kedatangan tuannya dari pesta pernikahan. Tuan akan menyapa mereka berbahagia ketika mendapatkan mereka dalam suasana waspada, siap bukan karena ketakutan melainkan karena cinta kasih. Waktu kedatangan tuan rumah juga tidak menentu: tengah malam atau dini hari. Orang-orang Yahudi memiliki kebiasaan pada waktu-waktu istimewa yakni pukul 22.00 pm; pukul 02.00 am dan pukul 06.00 am. Para hamba hendaknya selalu siap pada waktu dan kesempatan-kesempatan istimewa untuk melayani tuan mereka.

Perikop Injil hari ini menggambarkan kepada kita bahwa seni mengasihi itu menjadi nyata di dalam karya dan pengabdian. Para hamba melakukan apa yang harus mereka lakukan. Itulah tugas dan kewajiban mereka dan kalau itu dilakukan dengan baik dan setia maka mereka disapa bahagia oleh tuannya. Kita pun diberikan aneka tugas dan tanggung jawab maka lakukanlah itu dengan mentalitas mengabdi tanpa syarat untuk kebaikan banyak orang. Hamba yang baik akan setia melayani, akan selalu bersikap waspada menanti kedatangan Tuhan. Kita semua haruslah memiliki mentalitas yang sama untuk menyambut kedatangan Tuhan. Melayani menjadi sempurna karena kasih.

Doa: Tuhan, bantulah kami supaya bertumbuh dalam kasih dan kesetiaan kepadaMu. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply