Homili 23 Oktober 2014

Hari Kamis, Pekan Biasa XXIX
Ef 3: 14-21
Mzm 33:1-2.4-5.11-12.19-19
Luk 12:49-53

Semoga api itu telah menyala

Fr. JohnSelama beberapa hari terakhir ini kita mendengar pengajaran Yesus kepada para muridNya dengan pesan umum berjaga-jagalah dan berlaku serupa dengan hamba yang setia menunggu kedatangan tuannya dari pesta pernikahan. Sikap berjaga-jaga merupakan sikap mawas diri kita supaya layak berada di hadirat Tuhan. Setiap pribadi bisa melakukannya dengan bermatiraga dalam karya pelayanannya, usaha untuk membangun sikap tobat dan melakukan pelayanan kasih. Semua ini memiliki satu tujuan yakni kehidupan kekal. Hamba yang setia akan menikmati kebahagiaan kekal di surga bersama Tuhan.

Perikop Injil hari ini berbicara tentang saat untuk mengambil keputusan yang tepat di dalam ziarah iman kita. Kita percaya bahwa kedatangan Yesus Kristus ke dunia membawa dampak yang besar pada hidup manusia terutama. Untuk itu manusia harus berani mengambil keputusan untuk memilih memihak Yesus artinya bersama dengan Yesus atau melawan atau menolak Yesus. Mengapa demikian? Karena telah tiba saatnya diskriminasi dan krisis eskatologis melanda hidup manusia. Yesus sudah berbicara tentang pengadilan terakhir, kini Ia berbicara tentang pemenuhan perutusanNya melalui penderitaan dan kematianNya dan dihubungkan dengan pengadilan terakhir. Nah, sambil menanti kedatanganNya kembali ini kita semua diberi kesempatan untuk bertobat dan mengambil keputusan apakah tetap bersama Yesus atau menolak Yesus. Pengalaman-pengalaman keras akan dirasakan setiap pribadi yang mengikutiNya yakni penolakan, penderitaan dan kemalangan, pemisahan pribadi-pribadi di dalam keluarga. Setiap orang yang merasakan pengalaman ini dan bertahan maka ia akan mengalami kemenangan di dalam Kristus.

Dalam perikop Injil hari ini, Yesus mula-mula mengatakan bahwa Ia datang untuk melemparkan api ke bumi dan harapanNya adalah supaya api itu bisa menyala. Dalam konteks eskatologis, api itu menunjukkan pengadilan ilahi untuk memurnikan umat manusia (Yes 66:15-16; Yeh 38:22). Api melambangkan Sabda Tuhan Yesus yang menyempurnakan sabda para nabi, yang bisa menimbulkan pemisahan umat manusia (Yer 5:14; Sir 48:1). Api juga bisa melambangkan Roh Kudus (Luk 3:16) yang dianugerahkan oleh Yesus setelah Ia wafat dan bangkit dari alam maut dan pada hari raya pentekosta (Kis 2).

Yesus mengakui bahwa Ia harus menerima baptisan dan hatiNya memang susah sebelum hal itu berlangsung. Di sini Tuhan Yesus menyadari sungguh-sungguh bahwa Ia akan mengalami banyak penderitaan hingga kematian. Ia sedang ditunggu di Yerusalem untuk mewujudkan secara sempurna saat keselamatan bagi umat manusia. Hal ini merupakan pemenuhan kehendak Bapa di dalam diriNya. Kita bisa membayangkan kegelisahan hati Yesus sebelum mengalami penderitaan yang besar tetapi Ia tetap tabah karena sesungguhnya rencana Allah Bapa itu harus sempurna. Manusia harus memperoleh keselamatan di dalam diri Yesus Kristus. In cruce salus!

Yesus juga mengatakan bahwa Ia datang ke dunia bukan untuk membawa damai melainkan pertentangan, mulai dari dalam keluarga. Damai sejahtera adalah sebuah anugerah mesianis di mana setiap orang menerimanya dari Tuhan (Yoh 14:27). Setiap orang yang membawa damai akan disapa Yesus berbahagia dan layak menjadi anak-anak Allah (Mat 5:9). Hanya saja manusia selalu menampilkan kelemahannya. Misalnya, ada saja rasa benci satu sama lain dan tidak siap untuk menerima Injil sebagai Sabda keselamatan. Sikap-sikap inilah yang memisahkan manusia dengan manusia bahkan dengan Tuhan sendiri.

Sabda Yesus pada hari ini mengingatkan kita pada api yang sifatnya adalah memurnikan hidup manusia dalam menghadapi pengadilan terakhir. Cobalah kita pikirkan bersama: besi atau baja yang bulat bisa diubah menjadi pisau atau parang untuk mempermudah pekerjaan manusia dengan bersedia dibakar ditungku sampai berwarna merah, ditempah di atas baja lain yang lebih keras dan bersedia diubah bentuknya menjadi pisau atau parang. Hidup manusia juga seperti itu. Proses pemurnian itu ibarat api yang dijanjikan Tuhan supaya manusia dimurinikan supaya lebih layak hidup di hadiratNya. Segala pengalaman penderitaan itu bertujuan untuk menyempurnakan dirinya di hadirat Tuhan.

Di dalam bacaan pertama kita berjumpa dengan St. Paulus yang sedang berdoa kepada Bapa supaya semua orang mengenal dan menerima namaNya di dunia ini. Adapun  intensi-intensi doa adalah: Pertama, “Supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu.” (Ef 3:16). Kedua, “Supaya oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.” (Ef 3:17). Ketiga, “supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.” (Ef 3:18). Keempat, supaya dapat mengenal kasih yang merupakan jati diri Tuhan sendiri. Pada akhirnya Paulus mengajak kita untuk menyadari bahwa segala doa kita itu untuk memuliakan nama Tuhan bukan untuk kemuliaan diri kita.

Paulus memberi teladan kepada kita semua terutama semangat doanya. Ia sebagai pemimpin, pengajar jemaat namun tetap mendoakan jemaat untuk merasakan kasih Tuhan. Doa Paulus tentu sangat meneguhkan jemaat di Efesus. Sebagai Gereja, kita perlu saling mendoakan satu sama lain supaya layak menghadapi hari pengadilan Tuhan. Doa orang benar akan didengar oleh Tuhan. Doa orang benar akan membuatnya bertahan di dalam penderitaannya.

Doa: Tuhan, bantulah kami untuk memiliki rasa syukur yang bisa melahirkan doa untuk memuliakan namaMu. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply