Mengenang Almamaterku tempo doeloe

Mengenang “Almarhum” SMP Tanjung Kelapa Lerek

P. John SDBPersiapan perayaan Emas SMP Tanjung Kelapa Lerek sedang memasuki tahap-tahap akhir menuju ke puncak perayaan pada tanggal 2 Juli 2015. Kemungkinan banyak di antara saudara-saudari sedang mengatur rencana perjalanan ke kampung halaman. Semoga mengalami perjalanan yang menyenangkan dan tiba dengan selamat. Sampaikan salam untuk semua keluarga di sana.

Selama persiapan perayaan ini, saya mengikuti berbagai diskusi, membaca notulen pertemuan dan melihat berbagai program dari panitia penyelenggara Jakaarata melalui media sosial, terutama melalui group Perayaan Emas SMP Lerek. Sebelumnya nama group di Facebook adalah Perayaan Emas SMP Tanjung Kelapa Lerek, sekarang berubah nama Perayaan Emas SMP Lerek (Pesta Tanjung Kelapa-Negeri 2 Atadei).

Saya secara pribadi sangat menghargai usaha dan kerja keras panitia penyelenggara terutama di Jakarta dan sekitarnya dan mungkin juga di Lerek, Lewoleba dan sekitarnya. Dalam sharing-sharing dan diskusi-diskusi di media sosial khususnya group facebook ini, saya secara pribadi belum menangkap “roh” dari perayaan ini dan bertanya dalam hati apakah perayaan ini bisa berjalan dengan baik, kegiatan-kegiatan ini bisa tepat sasaran di Lerek. Mengapa saya katakan belum menangkap “roh” perayaan ini? Berikut ini saya ingin menyampaikan beberapa pandangat pribadi saya tentang perayaan ini. Saya berharap tulisan ini tidak mematikan semangat yang sudah ada tetapi menantang kita semua untuk berpikir dan bertindak juga mendukung dunia pendidikan di kampung Lerek dan sekitarnya.

Pertama, Melalui media sosial bersama yakni facebook, saya belum sempat membaca sebuah ulasan historis tentang sekolah kebanggaan kita tempo doeloe hingga mati di usia 43 tahun. Saya yakin bahwa para pendiri memiliki tujuan yang sangat luhur untuk membangun pendidikan di kampung Lerek dan sekitarnya, tetapi akhirnya mati begitu saja di usia 43 tahun dan muncullah SMP Negeri 2 Atadei. Bagi saya ia dipaksa untuk mati dan dikubur diam-diam, supaya bisa muncul dewa penyelamat yaitu SMP Negeri 2 Atadei. Apa yang terjadi saat itu? Para siswa dan guru sebenarnya belum disiapkan secara matang untuk menerima perubahan status dari SMP Swasta yang sudah melewati status terdaftar, diakui dan disamakan Tanjung Kelapa Lerek, harus rela dan siap menjadi bagian dari sebuah sekolah negeri. Setelah berubah status menjadi sekolah Negeri, kelihatan bahwa semua aset sekolah swasta Tanjung Kelapa: Tanah dan bangunan otomatis menjadi milik SMP Negeri 2 Atadei (semoga saya tidak keliru) padahal semuanya adalah aset yayasan bukan aset pemerintah daerah. Semoga para ahli waris tidak menutut bahwa tanah diberikan kepada Tanjung Kelapa bukan Negeri 2 Atadei. Sebenarnya munculnya SMP Negeri 2 Atadei di Lerek belum memberi harapan yang besar kepada masyarakat sekitarnya, kita bisa melihat jumlah siswanya juga masih terbatas hingga tahun ketujuh ini.

Kedua, saya juga hanya melihat gerakan nyata untuk perayaan ini di Jakarta, sementara panitia di Lerek dan Lewoleba tanpa suara atau kalau ada suara pun hanya orang-orang tertentu saja. Sepertinya komunikasi dan koordinasi para panitia belum sinkron. Tentu ini mengkhawatirkan kita di tanah rantau. Seharusnya panitia di Lerek dan Lewoleba lebih matang persiapannya, karena panitia Jakarta nanti hanyalah tamu. Panitia Lerek dan Lewoleba adalah tuan rumah yang juga lebih tahu urgensi kebutuhan di sana sehingga kegiatan itu nantinya tepat sasaran. Memang panitia Jakarta menyiapkan kegiatan-kegiatan yang bagus ukuran Jakarta, tetapi apakah semuanya itu nanti tepat sasaran, artinya sesuai dengan kebutuhan di Lerek? Jangan sampai kegiatan-kegiatan itu bagus, indah tetapi tidak pas untuk orang Lerek dan sekitarnya.

Ketiga, Kalau melihat komunikasi dan koordinasi para panitia tidak sinkron maka saya kuatir perayaan ini berhasil di media sosial atau dunia maya tetapi pada kenyataannya tidak berhasil, hanya sekedar temu kangen saja di Lerek. Nah, kuncinya adalah bagaimana panitia di Lerek dan Lewoleba menggandeng pemerintah desa, kecamatan Atadei dan pemda Lembata, khususnya dinas Pendidikan Kabupaten Lembata. Sayang sekali kalau Dinas Pendidikan Provinsi NTT digandeng sementara Dinas Pendidikan Kabupaten Lembata sebagai tuan rumah tidak digandeng. Ini kiranya dipikiran secara serius oleh Panitia di Lembata (Lerek dan Lewoleba).

Keempat, melalui media sosial saya tidak melihat keseriusan, sikap antusias dari semua alumni. Ada alumni yang muncul atas namanya sendiri. Mungkin karena para alumni tidak saling mengingatkan atau sekali lagi panitia belum bekerja secara maksimal. Berkali-kali para alumni tertentu berteriak melalui facebook dan media sosial lainnya tetapi kelihatan masih agak sepi. Para calon penyumbang dana ada yang masih janji tinggal janji. Saya membayangkan akan sulit juga bagi alumni di daerah sekitar NTT untuk mengumpulkan dukungan dana karena alasan masing-masing. Ini sekali lagi butuh pengorbanan para pantia lokal untuk menggerakan hati mereka.

Kelima, orang-orang yang akan diberikan penghargaan dari panitia, menurut saya sebaiknya diberikan kepada semua guru yang pernah mengabdi di Tanjung Kelapa dan masih hidup. Mereka dengan caranya masing-masing sudah memberi yang terbaik. Mereka yang sudah meninggal dunia dikenang dalam doa, misa khusus kalao perlu. Toh semua orang tahu bahwa mereka pernah hidup dan mengabdi di sekolah ini. Kalau sekiranya semua guru SMP Tanjung Kelapa Lereka yang masih hidup diundang untuk hadir pada acara itu, pasti sangat indah para pahlawan tanpa tanda jasa menerima penghargaan dari para alumni.

Keenam, perayaan mengenang SMP Tanjung Kelapa Lerek hendaknya menjadi perayaan yang bebas dari konflik kepentingan pribadi dan muatan politik apapun. Kita menggunakan kesempatan untuk bersyukur kepada Tuhan karena lembaga pendidikan ini pernah ada. Dia sudah meninggal di usia 43 tahun. Kesempatan mengenang kembali diisi dengan kegiatan yang disiapkan oleh panitia dan semoga bisa menyentuh dan menolong banyak orang. Janganlah momen ini hanya sebagai temu kangen saja, atau kegiatan ini bernuansa lain dluar harapan yang disharing atau didiskusikan bersama.

Inilah keenam poin yang saya pikirkan setelah membaca sharing dan diskusi tertentu di Facebook. Saya meminta maaf kepada panitia di Jakarta-Lewoleba dan Lerek karena mungkin tulisan ini seakan mematikan semangatmu tetapi justru menantang anda dan kita semua untuk melakukan yang terbaik bagi kampung halaman kita. Saya melihat panitia di Jakarta siap siaga, panitia Lerek dan Lewoleba masih belum bersuara keras, masih kedinginan.

Melalui tulisan ini saya juga ingin melanjutkan sebuah sharing dari Bapa Karolus Kia Tolok, seorang mantan guru SMP Tanjung Kelapa Lerek di masa krisis. Ia memberikan beberapa informasi tertentu yang bisa membuka mata kita bahwa SMP Tanjung Kelapa ini pernah memiliki pejuang-pejuang tertentu dan sukses menjadi pendidik. Ia menulis surat kepadaku dan menceritakan beberapa hal yang saya rangkum dalam tulisan ini. Ia mengatakan bahwa dengan membaca kisah 10 tahun pertama SMP Tanjung Kelapa Lerek, kita bisa merasakan sebuah “roh” perjuangan yang luar biasa.

Ia mengatakan bahwa gagasan untuk mendirikan SMP Tanjung Kelapa Lerek sebenarnya di dasarkan pada alasan-alasan berikut:

Pertama, situasi ekonomi saat itu sangat sulit. Banyak anak-anak yang setelah tamat SD ingin melanjutkan pendidikannya di SMP tetapi terhalang oleh jarak dan biaya sekolah. Anak-anak yang bisa melanjutkan sekolah adalah anak guru dan pegawai.

Kedua, Pada saat itu terdapat sebuah sekolah bernama SMP Wailerata. Konon sekolah itu baru seumur jagung tetapi harus ditutup karena kesalahpahaman Paulus Dua Muga, Petrus Lidun Lein, Yan Laga Doni dan Bernardus Tue Hipir.

Ketiga, Selanjutnya hanya ada satu SMP di Lembata yakni SMP St. Pius X Lewoleba. Sekolah ini pun sulit dijangkau karena jarak jauh dari Lerek (sehari perjalanan kaki) dan faktor ekonomi masyarakat saat itu masih sulit.

Dengan melihat ketiga faktor utama di atas maka diadakan musyawarah bersama beberapa tokoh sebagai berikut: tokoh adat dibawah pimpinan Bapa Galaweka, Bapak Leyong dkk, tokoh pendidik yakni bapak Leo Lado Watun, Yohanes Baha Tolok, Bapak Viktor Nimo Wutun, Bapak Paulus Uran, Bapak Blasius Lalung, Bapa Willem Beleta Tolok dan tokoh-tokoh lainnya. Pada saat itu ada juga badan usaha tertentu yang mulai dibangun di Lerek yakni: Koperasi Sepakat (ketuanya Bapak Leo lado Watun), Koperasi Sudi Mampir (Ketuanya Bapak Andreas Patal Tolok) dan Koperasi Koda Dei (Ketuanya Bapak Willem Beleta Tolok). Kiranya ketiga usaha ini mendukung terbentuknya cikal bakal SMP Lerek pada bulan Agustus tahun 1965.

Pada waktu itu SMP Lerek yang hendak didirikan diberi nama SMP Pancasila Lerek, dan pada bulan yang sama dimulai kegiatan Belajar Mengajar. Namun sayang sekali nama SMP Pancasila harus segera dihapus karena sudah ada nama SMP Pancasila Boru, kecamatan Wulangitang. SMP Pancasila Lerek berubah nama menjadi SMP Tanjung Kelapa Lerek. Ketua Yayasan pendidikannya adalah Bapak Leo Lado Watun. Menurut catatan pribadi Bapa Karolus Kia Tolok, Bapa Leo Lado Watun adalah seorang yang patut dijempol berkali-kali dan dikagumi karena perjuangannnya tidak kenal lelah.

Kegiatan Belajar Mengajar sedang berjalan pada bulan Agustus 1965 dengan jumlah siswanya 11 orang. Kepala sekolahnya adalah Bapak Viktor Nimo Wutun. Staf gurunya adalah Bapak Paulus Uran Koban, Bapak Blasius Lalung Koban, Bapak Yohanes Laga Watun, Bapak Bartolomeus Gafeor, Bapak Yosef Tei, Bapa Belayan Tapo Ona. Lulusan pertama tahun 1968 dengan hasil 55,6%. Tentu saja hasil yang lumayan baik dan memberi harapan kepada anak-anak remaja Paroki Lerek.

Bapak Karolus Kia Tolok mencatat bahwa tahun 1969 merupakan tahun sial bagi sekolah ini. Pada waktu itu muncul konflik antara ketua Yayasan Bapa Leo Lado Watun dengan dua guru asal Lamalera yakni Yosef Tei dan Belayan Tapo Ona. Akibatnya angkatan kedua SMP Tanjung Kelapa Lereka dipindahkan ke SMP APPIS Lamalera. Kelulusan pada tahun 1969 ini bersama SMP APPIS Lamalera adalah 99,9%. Pada tahun 1970, SMP Tanjung Kelapa Lerek hanya memiliki siswa kelasa I dan II. Diceritakannya bahwa yang naik kelas dua ke kelas tiga hanya lima orang. Mereka dititip di SMP St. Pankrasio Larantuka dengan kelulusan 100%.

Selanjutnya menurut Bapa Karolus Kia Tolok pada tahun ajaran 1971-1973 SMP Tanjung Kelapa Lerek beralih dari tahun sial menjadi tahun kecemasan. Ada semacam bongkar pasang guru dan staf sehingga persentasi kelulusan ketiga angkatan ini rata-rata dibawah 50%. Tahun 1974 baginya merupakan tahun ketidakpastian. Mengapa demikian? Karena pada waktu itu PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) dibuka di Lewoleba. Bapak Paulus Mea Watun dan Blasius Baha Henakin meninggalkan Tanjung Kelapa pada akhir Januari untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Pada awal Maret 1974, Bapak Gerardus Bala Lajar ke Makasar sementara Bapa Vinsen Kobun ke Kupang. Bisa dibayangkan lembaga pendidikan yang masih mencari jati dirinya kian merana. Ia melihat bahwa masih ada jalan lain ke Roma. Bapak Karolus mengatakan bahwa Bapak Bartolomeus Gafeor mengajar ilmu-ilmu sosial sambil merangkap guru SDK Lerek, sedangkan aljabar, ilmu ukur dan bahasa inggris diserahkan kepadanya. Mereka berdua membawa SMP Tanjung Kelapa ini mengikuti ujian akhir pada bulan Oktober tahun 1974. Pada waktu itu sekolah ini dititip di SMP Negeri Nurmasa Lamahala. Dari 21 siswa peserta ujian, yang lulus 66,7%.

Pada tahun 1975, SMP Tanjung Kelapa Lerek masih dititip di SMP Negeri Nurmasa Lamahala, Adonara. Persentasi kelulusan sekitar 50%. Tahun 1976 merupakan tahun keberuntungan. Secara adminsitratif bisa memenuhi persyaratan. Hal ini dilihat dari data-data laporan bulanan, data-data penunjang seperti data guru. Oleh karena itu SMP tanjung Kelapa Lerek mendapat kepercayaan untuk melakukan ujian sekolah. Namun sangatlah disayangkan karena SMP Tanjung Kelapa Lerek tidak memiliki Alat Tulis Kantor (ATK). Kepala Sekolah Bapak Paulus Mea Watun menyuruh Bapak Karolus Kia Tolok untuk bernegosiasi dengan pihak SMP Negeri Nurmasa Lamahala yang saat itu dipimpin oleh kepala sekolah bernama Buchari Sengaji. Kepala Sekolah ini sangat koperatif sehingga semua bahan ujian didatangkan dari Lamahala sehingga ujian bisa dilakukan sesuai jadwalnya.

Usai ujian diadakan rapat bersama antara dewan guru dan Dewan Yayasan yang saat itu dipimpjn oleh Bapak Pius Kedang Tolok. Rapat diadakan pada tanggal 24 Desember 1976 dengan agenda evaluasi dan laporan keuangan. Bapak Karolus bersaksi bahwa rapat itu cukup lama dan melelahkan bahkan sampai lonceng Gereja berbunyi untuk misa malam Natal tahun 1976. Situasi rapat menjadi tegang karena ada dugaan korupsi dilakukan para guru di sekolah ini. Adanya kwitansi bukanlah jaminan bagi pihak Yayasan untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan. Setelah cukup alot, Bapak Gaspar Hare sebagai bendahara Yayasan menenangkan situasi dengan mengatakan bahwa pengorbanan diri seorang guru tidaklah sama dengan nilai uang. Suara bendahara sekaligus menutup rapat bersama yang alot itu. Selanjutnya pada tanggal 5 Januari 1976, Yayasan tetap mengeluarkan surat pemecatan kepada empat guru yakni Blasius Baha Henakin, Alo Namang Tolok, Anton Nuba Bagur dan Karolus Kia Tolok. Keempat Guru ini dipecat dari SMP Tanjung Kelapa Lerek tetapi sebelumnya mereka juga sudah mendapat Surat Keputusan menjadi Pegawai Negeri Sipil di sekolah-sekolah Negeri lain sampai pensiun.

Pada tahun 1977, sekolah ini masih dipimpin oleh Bapak Paulus Mea Watun sebelum ia juga meninggalkan tanjung Kelapa dan pergi mengabdi di Wolowaru. Sejak tahun 1978 SMP Tanjung Kelapa Lerek di titip di SMP St. Pius Lewoleba.

Membaca perjalanan sepuluh tahun pertama sekolah ini membuat saya merinding. Para pendiri sekolah ini memiliki ide yang jelas yakni mencerdaskan anak-anak muda dan remaja di Lerek dan sekitarnya. Pada tahun 1965 mereka sudah memiliki visi yang tajam bahwa anak-anak muda dan remaja dari Lerek dan sekitarnya harus sederajat dengan anak-anak muda dan remaja di tempat yang lain. Situasi sulit dialami yayasan, para guru dan murid. Ia mencari jati dirinya, bisa bertahan dalam masa yang sulit tetapi akhirnya meninggal di usia ke-43.

Para alumni di mana saja berada pasti masih membayangkan sekolah ini dan para gurunya. Saya sendiri membayangkan para guru masa itu, yang hanya tamatan SMA/SMK. Mereka memberi apa yang bisa mereka berikan, mereka juga belum memahami sistem edukasi yang baik tetapi Tuhan memampukan mereka untuk melakukan yang terbaik. Saya masih tetap berbangga sebagai siswa di sekolah ini pada tahun 1983-1986. Pada waktu itu angkatan kelulusan tahun 1986 untuk pertama kali dititip di SMP Negeri Atadei. Saya masih ingat bahwa pada saat itu saya menjadi juara umum mengalahkan siswa-siswi dari sekolah Induk SMP negeri Atadei. Terima kasih SMP Tanjung Kelapa Lerek. Sekarang namamu dalam kenangan manis para alumni. Terima kasih para ibu dan bapa guru yang sudah meninggal dunia, semoga Tuhan mengampuni kalian dan menerima kalian di Surga. Untuk Bapa dan Ibu guru yang masih hidup semoga kalian semua diberi berkat yang melimpah. Terima kasih para penjasa yang sudah meninggal dan masih hidup. Terima kasih.

P. Johanes Laba Tolok, SDB
Alumni 1983-1986

Leave a Reply

Leave a Reply