Homili 13 Agustus 2015

Hari Kamis, Pekan Biasa XIX
Yos 3:7-10a.11.13-17
Mzm 114:1-2.3-4.5-6
Mat 18:21-19:1

Mengampuni itu indah

Fr. JohnSeorang sahabat membagikan pengalaman pergumulan hidupnya selama bertahun-tahun. Ia pernah mengalami hidup bahagia dengan semua saudarinya, selagi ayah dan ibunya masih hidup. Namun pengalaman merasa bahagia bersama saudara-saudarinya berubah ketika ayah dan ibunya sudah meninggal dunia. Ada saudara-saudara yang mau merebut warisan dari orang tua untuk kepentingan diri mereka sendiri. Dia berusaha untuk menengahi semua saudara, meyakinkan mereka untuk duduk bersama dan membagi semua warisan dengan adil bersama semua saudara yang lain. Namun usahanya ini tidak membuahkan hasil. Ia menjadi musuh beberapa saudaranya. Waktu berlalu dan ia merasa begitus sulit. Anak-anaknya tidak tidak bersahabat dengan saudara-saudara sepupuhnya. Dia merasa sedih karena semua kebaikan orang tuanya hancur karena keserakahan mereka sebagai anak-anak. Ia sekali lagi berusaha untuk melupakan semua bahasa dan perlakuan saudara-saudaranya. Baginya, mengampuni itu indah karena harus bergumul dengan diri, rendah hati dan melupakan segala sesuatu yang pernah terjadi. Ia masih terus berusaha untuk mengampuni saudara-saudaranya.

Ketika mendengar sharing ini saya membayangkan bagaimana perjuangan setiap orang untuk kembali menjadi saudara. Pikirkanlah bahwa orang tua yang saling merebut harta warisan tetapi anak-anak menjadi korban karena tidak mengenal saudara-saudara sepupunya. Ada orang yang memilih jalan pintas dengan mengatakan “putus hubungan” persaudaraan. Jalan pintas ini keliru karena Tuhan dan orang tua yang melahirkan tidak pernah menghendakinya. Saudara-saudari adalah pemberian Tuhan kepada kita bukan kita yang memilih orang-orang untuk menjadi saudara. Itulah situasi hidup banyak pribadi dan keluarga yang selalu merasa sulit untuk saling mengampuni.

Mengampuni berarti melupakan segala sesuatu yang pernah terjadi, yang menyakitkan akibat diri kita ditolak, disakiti, dikhianati dan lain sebagainya. Ketika menjadi korban (victim) atas peristiwa tertentu, rasanya mengampuni itu sangat sulit. Ya, benar sangat sulit karena kita masih mengingat masa lalu, masih mengingat peristiwa yang menyakitkan diri kita. Andai saja kita mengganti cara pandang terhadap masalah atau pribadi-pribadi yang menyakiti kita maka mengampuni itu bisa terjadi dan berhasil. Kalau semua masa lalu itu tetap dikenang maka rasa marah dan benci masih menguasai diri kita, sehingga mengampuni pun tetap sulit.

Para murid Yesus adalah sahabat yang selalu bersama dengan-Nya. Namun salah satu titik kelemahan mereka adalah ambisi-ambisi manusiawi yang bisa merusak relasi mereka sebagai saudara. Itulah sebabnya Yesus mengajarkan mereka bagaimana memberi koreksi persaudaraan ketika ada salah seorang saudara melakukan suatu kesalahan. Ia bersalah maka dikoreksi, ditegur sebagai saudara supaya ia bisa tetap menjadi bagian dari saudara yang lain. Yesus juga mengajar para murid untuk berani mengampuni. Yesus mengetahui bahwa mengampuni bagi seorang manusia itu sulit, tetapi Ia tetap meyakinkan mereka bahwa mengampuni itu harus dan tanpa batasnya. Mengapa? Karena Tuhan sendiri melakukannya bagi setiap orang.

Petrus sebagai ketua para rasul, bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat 18:21). Manusia kalau mengampuni itu selalu memakai perhitungan tertentu. Petrus berpikir, sesuai dengan kebiasaan saat itu, mengampuni sampai tujuh kali sudah cukup. Tuhan Yesus menyadarkan Petrus dan teman-temannya bahwa mengampuni itu tidak menggunakan perhitungan atau angka-angka yang bisa dimengerti manusia. Mengampuni berarti melupakan semua kesalahan dan dosa yang sudah pernah terjadi dalam hidup bersama. Itu berart mengampuni itu tiada batasnya. Tuhan Yesus berkata: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22).

Mengampuni tanpa batas, mengampuni setiap saat, mengampuni tanpa membuat hitungan apa pun merupakan tanda bahwa Tuhan hadir dan menyertai kita semua. Tuhan sendiri memiliki kuasa untuk mengampuni kita semua tanpa batas. Orang-orang yang dosanya besar atau ringan mendapat pengampunan dari Tuhan. Kita semua selalu berdoa bersama dalam perayaan Ekaristi: “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu”. Mungkin doa ini berlalu begitu saja dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri memohon pengampunan bagi para algojo-Nya. Tuhan Yesus berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Tuhan lebih dahulu mengampuni kita maka mari kita juga mengampuni sesama kita.

Mengampuni merupakan tanda bahwa Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya. Penyertaan Tuhan dirasakan sempurna oleh umat Israel dalam perjalanan untuk memasuki tanah terjanji dibawah pimpinan Yosua. Tuhan berkata kepada Yosua: “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa seperti dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau.” (Yos 3:7). Tuhan hadir dan menyertai umat Israel dalam rupa Tabut Perjanjian menyeberangi sungai Yordan dan memasuki tanah terjanji yaitu tanah Kanaan.

Penyertaan Tuhan kita rasakan juga dalam sakramen pembaptisan. Sakramen ini merupakan pintu masuk bagi kita untuk bersatu dengan Tuhan. Sakramen pembaptisan menyatukan semua orang sebagai saudara dalam Kristus. Mari kita wujudkan hidup sebagai pengikut Kristus yang baik, yang bersatu sebagai saudara dan saling mengampuni satu sama lain.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply