Homili 14 Agustus 2015

Homili Hari Jumat, Pekan XIX
Yos. 24:1-13
Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24
Mat. 19:3-12

Bersekutu satu kali untuk selamanya

PejeSDBSaya pernah merayakan misa syukur hari ulang tahun perkawinan ke-50 pasangan suami dan isteri yang sudah menjadi opa dan oma. Pasangan ini memiliki tiga orang anak dan sepuluh cucu. Usia mereka kira-kira tujuh puluh lima tahun. Mereka masih kelihatan segar bugar, bersih dan kuat. Saya bertanya kepada pasangan ini, apa saja kiat-kiat untuk mempertahankan relasi kasih mereka selama lima puluh tahun. Kedua-duanya sepakat mengatakan bahwa sejak masa pacaran, pernikahan hingga saat ini, sama-sama memiliki komitmen untuk bersekutu satu kali untuk selama-lamanya dalam semua situasi hidup. Maka ketika Tuhan menyatukan mereka dalam sakramen pernikahan, mereka sangat bersukaria untuk mewujudkan komitmen ini. Dalam usaha mewujudkan komitmen ini, mereka juga harus berjuang. Ada rasa egois, marah, mudah tersinggung tetapi ketika mengingat kembali komitmen kasih, mereka merasa malu dan memulai lagi hidup dalam kasih.

Pada hari ini kita mendengar pengajaran Tuhan Yesus di dalam Injil tentang bentuk-bentuk persekutuan dengan Tuhan. Hal ini dipicu oleh kedatangan orang-orang Farisi untuk mencobai Dia dengan pertanyaan tentang perceraian bersama pasangan dengan alasan apa saja. Hal yang menarik perhatian kita di sini adalah kalimat “dengan alasan apa saja”. Ini bisa berarti orang-orang Farisi mencari-cari alasan untuk membenarkan dirinya dalam hal perceraian dengan pasangannya masing-masing. Yesus menyadarkan mereka untuk mengetahui jati diri mereka sebagai ciptaan Allah yakni sebagai laki-laki dan perempuan. Tuhan Allah tidak menciptakan laki-laki, perempuan dan setengah laki dan perempuan. Kita membaca di dalam Kitab Kejadian: “Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa-Nya sendiri.” (Kej 1:27). Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24; Mat 19:5). Persekutuan ini sangat luhur. Hanya orang beriman yang bisa menghayatinya. Maka apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:16).

Untuk membenarkan diri, mereka mengingatkan Yesus bahwa Musa pun memerintahkan untuk membuat surat cerai jika orang mau menceraikan istrinya. Yesus bereaksi dengan keras: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.” (Mat 19:8). Orang mencari alasan untuk bercerai dengan pasangannya karena orang itu masih bertegar hati. Kalau saja hatinya terarah kepada Tuhan sumber kasih maka tentu saja tidak ada perceraian. Orang ramai-ramai bercerai karena hati mereka tegar. Mereka lupa bahwa Tuhan tidak menghendaki perceraian. Mereka masih dikuasai hawa nafsu sehingga suka bercerai atau berganti pasangan dan meninggalkan pasangannya. Yesus menambahkan: “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat 19:9).

Reaksi para murid adalah sangat pesimis. Mereka berkata: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Mat 19:11). Nah, ini menjadi kesempatan bagi Tuhan Yesus untuk menjelaskan bentuk-bentuk persekutuan dengan Tuhan. Pertama, ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya. Kedua, ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Ketiga, ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Ketiga bentuk persekutuan ini ada dan nyata di dalam masyarakat kita. Anda dan saya mengalaminya sendiri.

Fokus perhatian kita adalah pada persekutuan sebagai suami dan istri. Seorang suami mengasihi istrinya dengan penuh pengorbanan diri (Ef 5:25). Ia harus melupakan dirinya demi sang istri terkasih (Ef 5:25). Dengan mengikuti Tuhan Yesus, ia boleh berkata kepada isterinya: “Inilah tubuhku yang diserahkan bagimu” (Luk 22:19). Dengan demikian seorang suami seharusnya melupakan jadwal pribadi, kepentingan-kepentingan dirinya, dan kesediaan untuk berbuat baik bagi istrinya. Suami harus selalu menyenangkan hati isterinya (1Kor 7:33).

Seorang isteri mengenal suaminya sebagai kepala keluarga (Ef 5:23). St. Petrus menulis: “Hai isteri-isteri, tundukalah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman Allah, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya. Jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup misteri mereka” (1Ptr 3:1-2). Ia patuh kepada kepala keluarga, sama dengan relasi antara Yesus sebagai Putra dengan Bapa-Nya. Kepatuhan sang isteri kepada suami sama dengan kepatuhan umat Allah atau Gereja Kudus kepada Kristus. (Ef 5:23-24).

Dengan hidup saling mengasihi sebagai suami dan isteri, pasangan suami dan isteri mau meyakinkan dunia bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh mengasihi Gereja (Ef 5:23-24). Nah, banyak orang berpikir bahwa Tuhan sudah tidak memperhatikan mereka lagi. Para suami dan isteri, kasihilah pasanganmu, lupakanlah tubuh dan hidupmu demi pasanganmu, dan pimpinlah dunia untuk mengasihi Yesus.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply