Homili 21 September 2015

Pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil
Ef. 4:1-7,11-13
Mzm. 19:2-3,4-5
Mat. 9:9-13

Hidup sepadan dengan panggilan Tuhan

imageAda seorang Romo barusan selesai merayakan misa hariannya. Ada seorang umat sederhana mendekatinya dan mengajaknya untuk berbicara sebentar. Umat itu mengatakan kepadanya bahwa ia senang sekali mengikuti perayaan Ekaristi yang dipersembahkan oleh romo itu. Ia mengalami banyak hal yang bagus, terutama Sabda Tuhan yang diwartakannya kepada umat. Namun demikian ada juga suara sumbang dari umat yang mengatakan bahwa Romo berbicara terlalu cepat, kelihatan seperti tergesa-gesa saat merayakan Ekaristi. Ada yang mengatakan bahwa romo seperti sedang membaca Tata Perayaan Ekaristi saja. Romo itu terdiam sejenak dan mengatakan terima kasih atas masukan dari umatnya. Umat itu berkata: “Romo mohon maaf, saya hanya mewakili sebagian umat di paroki ini mengharapkan supaya Romo bisa hidup sepadan panggilan Tuhan sendiri.” Suasana pagi itu sangat indah. Komunikasi bersama antara imam dan umat lancar.

Saya menceritakan pengalaman seorang Romo ini dalam melayani Tuhan Yesus dan Gereja-Nya untuk membantu kita semua supaya memiliki cara pandang yang positif terhadap orang-orang yang dipanggil dan dipilih Tuhan secara istimewa ini. Kita semua tidak bisa menutup mata terhadap kelebihan dan kekurangan mereka (kami) karena kami semua juga masih manusia. Namun dengan dialog atau pembicaraan yang terbuka maka baik imam maupun umat akan menyatu dan saling mendukung satu sama lain. Inilah wujud kesepadanan atau kecocokan dalam panggilan Tuhan.

Pada hari ini kita merayakan Pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil. Matius dipanggil untuk menjadi bagian dari kehidupan Yesus ketika ia sedang berada di depan meja pajak. Pengalaman panggilannya itu sangat alamiah, karena Yesus memanggilnya ketika ia sedang bekerja. Ia tidak sedang berada di dalam sinagoga. Di tempat ia bekerja, yang oleh banyak orang di zaman itu dianggap sebagai tempat orang berdosa membuat dosa korupsi. Yesus memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang yang menganggap dirinya orang suci. Ia mendekati Matius dan memanggilnya: “Matius, ikutlah Aku” (Mat 9:9). Matius yang memiliki sapaan Lewi itu segera meninggalkan meja cukainya dan mengikuti Yesus sampai tuntas. Mengikuti Yesus berarti meniru gaya hidup Yesus yang taat, miskin dan murni. Jadi semuanya harus dibaktikan kepada Tuhan dengan hati yang tidak terbagi.

Matius memulai ziarah hidupnya yang baru dengan Yesus. Ia sempat membawa rekan-rekannya yakni para pemungut cukai untuk datang dan makan bersama dengan Yesus di rumahnya. Tentu saja hal ini menimbulkan pikiran negatif kaum Farisi kepada Yesus. Itulah sebabnya mereka berkata kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Mat 9:11). Yesus pun bereaksi terhadap pikiran kaum Farisi ini dengan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:12-13).

St. Matius dan panggilannya merupakan model bagi panggilan hidup setiap orang. Tuhan memanggilnya dalam hidup yang nyata sebagai seorang pemungut cukai. Tuhan menata kembali hatinya yang perlahan jauh dari-Nya karena ia lebih mengutamakan kerja dan uang. Kini ia memperoleh hidup baru, dengan semangat yang baru pula dalam Kristus. Ia meninggalkan pekerjaannya supaya lebih bebas melayani Tuhan Yesus Kristus. Tuhan juga senantiasa berjalan dalam lorong kehidupan kita, memanggil kita untuk mengikuti-Nya dari dekat.

St. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengakui dirinya sebagai orang yang dipenjarakan karena Tuhan. Ia lalu menasihati jemaat supaya hidup sepadan dengan panggilan mereka dari Tuhan. Artinya, Tuhan sudah memanggil mereka sebagai sebuah kawanan maka hendaklah mereka juga hidup sepadan atau cocok sebagai anak-anak Allah dalam satu kawanan. Hidup sepadan karena panggilan berarti orang tersebut harus berusaha untuk menyerupai Yesus Kristus dalam segala hal. Maka semua kebajikan Kristus hendaknya ada di dalam diri kita, misalnya rendah hati, lemah lembut dan sabar. Setiap orang hendaknya saling menunjukkan kasih dan saling membantu satu sama lain. Jemaat harus memelihara kesatuan Roh dan ikatan damai: satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, yang di atas semua, menyertau semua dan menjiwai semua.

Para agen pastoral yang dipilih oleh Tuhan sendiri adalah rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita Injil, gembala umat maupun pengajar-pengajarnya. Mereka semua ini akan menjadi agen pastoral yang bisa membantu jemaat untuk membentuk Tubuh Mistik Kristus. Dengan demikian kita akan mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Oleh karena itu, sikap bathin yang harus kita bangun adalah berusaha untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus yang datang untuk menyelamatkan orang berdosa. Hidup kita harus tetap sepadan dengan Tuhan sendiri karena kita pun dipanggil untuk bersatu dengan-Nya. Kita juga belajar dari St. Matius untuk terbuka kepada Kristus, siap untuk mengikuti dan melayani-Nya sampai tuntas. Apakah hidupmu sudah sepadan dengan Tuhan Yesus?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply