Homili 19 November 2015

Hari Kamis, Pekan Biasa XXXIII
1Mak. 2:15-29
Mzm. 50:1-2,5-6,14-15
Luk. 19:41-44.

Damai itu indah

imageBeberapa hari yang lalu saya melewati sebuah jalan protocol di sebuah kota. Saya melihat sebuah tulisan pada spanduk besar: “Damai itu indah”. Saya melanjutkan perjalanan sambil merenungkan kata-kata ini, begitu sederhana tetapi amat mendalam dan kontekstual bagi kota ini. Saya mengatakan demikian karena kota ini termasuk salah satu kota yang tidak terlalu toleran bagi setiap umat beragama. Banyak umat minoritas merasakan perlakuan yang sewenang-wenang, ijin membangun tempat ibadah sudah dikantongi tetapi masih susah juga untuk membangunnya. Di samping itu, banyak orang mengalami stress dengan situasi social, sehingga kapan saja bisa terjadi kerusuhan yang berbau suku, agama dan ras. Kota ini memang memimpikan sebuah damai sejahtera bukan hanya sebuah selogan yang ditulis begitu indah dan rapi di atas spanduk. Damai bukan sebuah iklan belaka yang membuat orang merasa nyaman sejenak.

Damai adalah sebuah anugerah dari Tuhan. Dalam malam perjamuan terakhir, Tuhan Yesus menganugerahkan damai-Nya kepada para murid-Nya. Ia berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh 14:27). Damai sejahtera itu Tuhan tinggalkan bagi setiap orang beriman, anda dan saya yang mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat. Damai itu berbeda dengan damai yang ditawarkan dunia tawarkan. Damai yang Tuhan tawarkan itu berdasar pada kasih. Kasih Allah menjadi nyata dalam penderitaan dan pengorbanan diri Yesus Kristus. Damai yang dunia tawarkan hanya upaya untuk membuat orang berada di zona nyaman tetapi tidak membahagiakan sampai selamanya.

Dalam Sabda Bahagia, Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9). Orang yang berani melepaskan zona nyamannya dan berjuang untuk membawa damai sejahtera dari Allah, kepada sesamanya. Orang itu layak disapa berbahagia dan layak menjadi anak-anak Allah. Ini berarti damai yang Tuhan berikan itu bukan menjadi milik kita sendiri tetapi kita bagikan kepada sesama. Orang harus percaya kepada Tuhan Allah dan bertumbuh dalam kasih dan damai. Ketika bangkit dari kematian, Yesus berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:21). Saya percaya bahwa Tuhan akann tetap menyapa dan mengatakan kepada kita: “Damai sejahtera bagi kita semua”.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang Tuhan menangisi kota Yerusalem. Ia sedang dalam perjalanan untuk menyempurnakan semua pekerjaan Bapa dengan menderita, wafat dan bangkit di Yerusalem. Lukas mengisahkan bahwa ketika tina di bukit Zaitun, Yesus sudah merasa sudah berada dekat dengan kota Yerusalem, kota damai yang ditujui-Nya. Ia mengangkat kepala dan memandang dengan wajah penuh belas kasih sambil berkata: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.” (Luk 19:42).

Yerusalem di dalam Kitab Mazmur memang dipuji karena ketangguhan kota ini. Daud bahkan mendoakan kesejahteraan kota ini dengan berkata: “Hai Yerusalem yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, biarlah damai sejahtera ada di lingkungan tembokmu dan sentosa di purimu.” (Mzm 122:3.7). Sangatlah disayangkan karena pujian Daud ini meleset dari kebenaran. Orang-orang di Yerusalem memiliki hati yang keras. Mereka memiliki mata namunn tidak melihat, memiliki telinga namun tidak mendengar. Dengan sikap hidup seperti ini maka mereka bukannya dekat melainkan jauh dari Tuhan.

Tuhan Yesus menangisi kota damai ini dengan berkata: “Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau.” (Luk 19: 43-44). Perkataan Yesus ini baru disadari para murid Yesus, ketika orang-orang Romawi menghancurkan Yerusalem pada tahun 70M.

Selain isyarat untuk hidup dalam damai dan kasih Tuhan, bacaan Injil pada hari ini juga mengingatkan kita untuk selalu berjaga-jaga menantikan kedatangan Tuhan. Orang-orang di Yerusalem saat itu hanya berpikir bahwa mereka akan tetap berada di zona nyaman, tetapi pada tahun 70M mereka merasakan malapetaka yang menghancurkan mereka. Mereka semua tercerai-berai. Perkataan Yesus ini digenapi dengan sempurna. Tuhan Yesus berkata: “Karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau” (Luk 19:44). Kita semua tidak mengetahui saat Tuhan melawati hidup kita maka wajarlah kalau kita harus selalu siap menantikan kedatangan Tuhan.

Pada hari ini kita boleh bersyukur kepada Tuhan karena apa pun hidup kita, Tuhan selalu memberi damai-Nya kepada kita. Milikilah damai, bawalah kepada sesamamu dan engkau juga akan bahagia sebagai anak Allah. Berjaga-jagalah senantiasa supaya layak menerima kedatangan Tuhan dalam hidupmu.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply