Homili 11 Mei 2017

Hari Kamis, Pekan Paskah IV
Kis 13:13-25
Mzm 89:2-3.21-22.25.27
Yoh 13:16-20

Semangat seorang hamba

Seksi sosial di sebuah paroki pernah mengadakan sebuah rekoleksi bersama para pembantu rumah tangga yang beragama katolik dan protestan. Pada kesempatan sharing bersama, salah seorang pembantu rumah tangga membagi pengalamannya bahwa ia merasa bahagia dengan perlakuan dari majikannya. Ia merasa dirinya bukan hanya sebagai seorang pembantu atau pekerja tetapi sebagai anggota keluarga. Ia melakukan tugasnya dengan baik, bersikap sopan, jujur dan hormat terhadap majikannya. Sebab itu ia juga mendapat fasilitas dan upah yang baik pula. Seorang pembantu yang lain merasakan situasi yang sedikit berbeda. Majikannya memang baik, hanya kadang-kadang pelit. Seorang yang lain lagi mengakui bahwa majikannya kadang-kadang berlaku kasar dengan melakukan kekerasan verbal. Semua majikan mereka juga beragama katolik dan ada di antara mereka yang sangat aktif dalam kehidupan menggereja. Rekoleksi ini kelihatan hidup karena mereka semua saling meneguhkan melalui saling berbagi pengalaman hidup yang nyata.

Sharing pengalaman para pembantu rumah tangga ini turut membuka wawasan kita tentang Gereja yang sebenarnya. Banyak saudari dan saudara kita adalah pelayan-pelayan sejati. Mereka memiliki sikap rela berkorban, bukan hanya karena mereka semata-mata mencari nafkah, melainkan mereka mau mewujudkan hidup mereka sebagai manusia yang hidup dari pekerjaannya sendiri. Mereka tentu memiliki andil untuk kebaikan keluarga atau pribadi yang dilayaninya. Keluarga-keluarga dapat membayangkan sendiri ketika memasuki lebaran, Natal dan Tahun Baru. Banyak yang belajar menjadi Oshin dalam keluarga.

Sharing sederhana di atas membuka wawasan kita untuk memandang Yesus, sebagai seorang pelayan sejati. Ia adalah Anak Allah namun merendahkan diri dan mengambil rupa sebagai seorang hamba (Flp 2:7). Ia menunjukkan diri-Nya sebagai Anak Allah yang menjadi hamba yang siap untuk melayani manusia yang berdosa. Ia berlutut di hadapan manusia (para rasul-Nya) dan membasuh kaki mereka. Membasuh kaki adalah bukti kasih-Nya sampai tuntas bagi manusia. Kasih tidak dengan setengah hati atau terpaksa. Ia bahkan meminta supaya kita juga saling membasuh kaki sebagai tanda kasih.

Setelah membasuh kaki para murid-Nya, Yesus berkata: “Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya atau seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya” (Yoh 13:16). Yesus berbicara dari pengalaman hidup-Nya. Dia adalah Anak yang menjadi satu dengan Bapa. Namun demikian peran mereka berbeda. Yesus sabagai Anak Allah adalah Hamba yang melayani Bapa dan manusia. Sebab itu Yesus sebagai Anak Allah tidak melebihi Allah Bapa karena Allah Bapa tetaplah Bapa yang kekal. Dia juga diutus oleh Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Sebab itu kalau kita mengakui diri sebagai Hamba Tuhan, kita hendaknya merasa diri tidaklah lebih tinggi dari tuan. Kita seharusnya berprinsip: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk 17:10). Yesus sendiri akan mengatakan “berbahagialah kamu” apabila kita belajar menjadi hamba yang baik dan melakukan kehendak-Nya (Yoh 13:17). Tantangan bagi orang-orang tertentu adalah memiliki kesombongan rohani yang tinggi sehingga merasa dirinya melebihi Tuhan Allah.

Tuhan Yesus juga menyelipkan perasaan manusiawi-Nya, terutama bahwa salah seorang di antara para murid-Nya akan menjadi pengkhianat. Dialah Yudas Iskariot. Dialah yang memakan rotinya Yesus dan mengangkat tumitnya (Yoh 13:18). Kita perlu jujur untuk mengakui bahwa kita juga berkali-kali melampaui Yudas Iskariot dengan memakan rotinya Yesus dan mengangkat tumit terhadap Yesus. Perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan kita yang jahat telah menjauhkan kita dari Tuhan Yesus. Yudas mengkhianati Yesus sekali untuk selamanya, kita mengkhianati Yesus berkali-kali.

Yesus juga mengatakan kepada para murid-Nya tentang sikap seorang hamba yang siap menerima Tuhan dan para utusan-Nya. Ia berkata: “Sesungguhnya barangsiapa menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku” (Yoh 13:20). Tuhan Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk berpegang teguh pada prinsip persekutuan dan saling menerima satu sama lain. Kita menerima para utusan atau hamba Tuhan berarti kita menerima Yesus yang mengutus dan Allah Bapa yang mengutus Yesus Kristus, Anak-Nya. Sikap sebagai hamba sangatlah dibutuhkan di dalam Gereja masa kini.

Sikap sebagai hamba yang setia melayani juga ditunjukkan oleh Paulus dan Barnabas. Mereka meninggalkan Pafos dan berlayar ke Perga di Pamfilia hingga tiba di Antiokhia di Pisidia. Mereka adalah orang Yahudi yang mengikuti Yesus dari Nazaret maka setiap hari Sabat mereka juga tetap aktif masuk ke dalam Sinagoga untuk berdoa sebagai orang Yahudi. Mereka belum beribadah seperti kita saat ini. Pejabat rumah ibadat meminta Paulus dan Barnabas untuk memberi pesan-pesan tertentu. Paulus tampil memukau ketika menguraikan sejarah keselamatan: bagaimana Allah menunjukkan rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia, mulai dari rencana Allah untuk menyelamatkan umat Israel dari tanah Mesir hingga tiba di tanah terjanji. Tuhan Allah memilih para hakim dan raja yang siap untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Salah seorang raja terkenal adalah Daud. Dari keturunannya, Allah membangkitkan Juruselamat bagi Israel yaitu Yesus (Kis 13: 23). Sejarah keselamatan menjadi semakin sempurna ketika Yohanes Pembaptis tampil untuk menyiapkan jalan bagi Tuhan Yesus. Yohanes bahkan mengakui bahwa menunduk dan membuka tali sepatu-Nya pun ia tidak layak (Kis 13:25).

Barnabas dan Paulus yang dikususkan bagi Tuhan ini melakukan tugasnya sebagai hamba-hamba yang setia. Mereka tidak mengenal yang namanya kelelahan dalam hidup. Sebaliknya mereka tetap semangat dan memberi semangat kepada jemaat untuk belajar menjadi hamba Tuhan yang setia. Yesus Kristus sebagai Anak Allah saja rela menjadi hamba maka hendaknya kita pun belajar menjadi hamba yang baik. Kita belajar menjadi hamba yang besemangat untuk melayani dan mengabdi dengan tulus. Kita pasti mampu menjadi hamba ketika kita bersama dengan Tuhan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply