Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIV
Kej 46: 1-7.28-30
Mzm 37: 3-4.18-19.27-28. 39-40
Mat 10:16-23
Berani bertahan dalam kesulitan
Seorang misionaris pernah membagi pengalamannya di tanah misi dalam sebuah pertemuan persaudaraan. Kebetulan beliau sedang melayani di daerah yang masih penuh dengan konflik antar suku. Beberapa kali komunitas mereka diserbu oleh kelompok tertentu dari sebuah suku yang mencurigai mereka sebagai kelompok pro suku yang lain sehingga mengancam nyawa mereka. Hal yang menjadi kekuatan bagi mereka adalah kepercayaan mereka kepada Tuhan. Mereka berprinsip bahwa kehadiran mereka di daerah tersebut semata-mata untuk melayani Tuhan dan sesama tanpa memandang siapakah orang itu. Dalam kesulitan mereka merasa masih ada sukacita berlimpah.
Pada hari ini kita mendengar kisah Injil yang menarik perhatian kita. Tuhan Yesus sudah memanggil dan memili para murid-Nya. Memanggil dan memilih saja tidaklah cukup bagi Yesus. Ia juga mengutus mereka pergi berdua-dua, berpasangan supaya mampu memberi kesaksian yang akurat tentang Tuhan Yesus dan Injil serta Kerajaan Allah. Tuhan Yesus berkata: “Lihat, Aku mengutus kalian seperti domba ke tengah-tengah serigala! Sebab itu hendaklah kalian cerdik seperti ular dan tulus seperti burung merpati” (Mat 10:16). Tuhan Yesus sudah mengetahui bahwa para murid-Nya akan mengalami banyak kesulitan dan bahaya. Itulah yang dikatakan-Nya sebagai salib yang harus dipikul hari demi hari untuk mengikuti-Nya dari dekat. Apabila para pengikut-Nya dapat bertahan dalam memikul salib maka hidup kekal adalah jaminan mutlak bagi mereka. Serigala adalah hewan dalam Kitab Suci yang sifatnya rakus (Kej 49:7), buas ketika mencari mangsa (Yer 5:6; Hab 1:8), membinasakan kawanan domba (Yoh 10:12). Serigala merupakan lambang orang-orang fasik yang hendak menghancurkan Gereja (Mat 10:16; Luk 10:3). Serigala menggambarkan para penguasa yang lalim (Yeh 22:27; Zef 3:3), para nabi palsu (Mat 7:15; Kis 20:29), iblis (Yoh 10:12), musuh yang bengis yang mencari mangsa. Singkatnya serigala mengacu pada orang jahat, licik dan penuh tipu muslihat.
Tuhan Yesus mengajak para murid-Nya untuk selalu waspada terhadap semua orang. Orang-orang yang serumah, sekomunitas dapat menjadi musuh satu sama lain. Hanya karena nama Yesus saudara dapat menjadi musuh. Gereja sudah membuktikan perkataan Yesus ini dengan munculnya banyak martir. Mereka menumpahkan darah-Nya karena mengasihi Yesus sampai tuntas. Tuhan Yesus sudah mengungkapkannya di atas bukit Sabda Bahagia seperti ini: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5: 11-12).
Pengalaman penderitaan yang dialami Gereja sepanjang zaman ini bukanlah menjadi penghalang baginya untuk berkembang. Tertulianus adalah seorang Bapa Gereja, pernah berkata: “Il sangue dei martiri e’ il seme dei Cristiani” (Darah para martir adalah benih iman Kristiani). Kardinal Kurt Koch adalah kepala kepausan bidang oikumene pernah berkata: “Il sangue dei martiri sara’ seme dell’unita della chiesa” (Darah para martir adalah benih bagi persekutuan gereja). Ketika terjadi penganiayaan, penderitaan di dalam Gereja maka kita tidak perlu khawatir karena Tuhan Yesus menyertai kita. Kita tidak perlu khawatir akan apa yang harus kita katakan karena semua ini akan dikaruniakan oleh Tuhan sendiri pada saat itu juga. Roh Kudus akan berbicara di dalam diri kita dan membantu kita untuk mempertanggungjawabkan iman.
Tuhan Yesus juga menggambarkan situasi chaos dalam keluarga manusia. Ada orang yang menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, ayah terhadap anak. Anak-anak memberontak terhadap orang tua dan akan membunuh mereka. Kita akan dibenci oleh semua orang karena kita percaya kepada Kristus. Situasi ini kiranya masih ada dalam masyarakat kita. Ketika ada ada kebencian maka tidak ada persaudaraan sejati. Kita harus belajar untuk bertahan dalam penderitaan.
Dalam bacaan pertama kita mendapat gambaran bahwa rasa benci dan dendam yang berkepanjangan itu tidak berguna. Kita harus belajar untuk tidak menghitung-hitung kesalahan orang tetapi berusaha untuk memaafkan dan saling menerima apa adanya. Ini tentu membutuhkan kesetiaan dalam hidup. Ada dua figur yang sangat inspirasi bagi kita hari ini yakni Yakub dan Yusuf. Yakub atau Israel adalah seorang ayah yang baik. Anak-anaknya kecuali Benyamin membohonginya bahwa Yusuf, anak kesayangannya sudah dimangsa hewan liar. Ia percaya saja pada kebohongan anak-anaknya. Kebohongan anak-anaknya terbongkar ketika terjadi kelaparan dan mereka harus membeli makanan di Mesir, yang saat itu berada di bawah kontrol Yusuf sebagai Mangkubumi. Yusuf adalah gambaran orang yang setia dalam hidupnya. Ia mengalami penderitaan dari saudara-saudaranya sendiri. Ia dimasukkan ke dalam sumur yang kering dan dijual ke tangan orang Mesir. Hal yang hebat dari Yusuf adalah ia tidak menghitung-hitung kesalahan saudara-saudaranya.
Perjumpaan antara Yakub dan Yusuf adalah merupakan rencana Tuhan yang sangat luhur. Yakub dan Yusuf adalah gambaran orang-orang setia dan tulus hati. Mereka terpisah dalam jarak dan waktu namun Tuhan mempersatukan mereka dalam kasih dan damai. Yakub melihat Yusuf anaknya laksana terang. Ia berkata: “Sekarang aku boleh mati, setelah aku melihat mukamu dan mengetahui bahwa engkau masih hidup” (Kej 46: 30). Pengalaman Yakub dann Yusuf adalah pengalaman orang benar. Pemazmur pernah berkata: “Orang-orang benar akan diselamatkan oleh Tuhan” (Mzm 37:39a). Segala kejahatan haruslah dibalas dengan kebaikan. Tidak pernah ada kejahatan apapun yang mengalahkan kebaikan sebab Tuhan adalah baik.
Pada hari ini kita belajar untuk bertahan dalam berbagai penderitaan. Segala penderitaan dan kelamangan bahkan sampai kemartiran adalah benih yang baik untuk bertumbuhnya iman Kristiani. Sebab itu bertahanlah dalam penderitaan karena iman kepada Tuhan Yesus Kristus.
PJSDB