Food For Thought: Mindset

Mindset…

Saya sedang membaca sebuah buku karya Carol S. Dweck PH.D berjudul: “Mindset: The New Psychology of Success”. Pada bagian awal buku ini beliau menggugat para pembaca dengan mengajukan sebuah pertanyaan, bunyinya: “Mengapa manusia berbeda-beda?” Pertanyaan semacam ini mungkin mudah sekali dikesampingkan oleh pribadi tertentu. Ada yang beranggapan bahwa pertanyaan ini kurang berbobot. Ada juga yang mungkin mengatakan bahwa pertanyaan ini kekanak-kanakkan. Namun perlu diakui bahwa banyak orang juga tidak mampu menjawab pertanyaan ini dengan jelas dan tepat.

Dweck mengatakan bahwa sepanjang sejarah kehidupan manusia, selalu saja ada seribu satu hal yang menjadikan manusia menjadi individu yang berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya, manusia memiliki cara berpikir yang berbeda, manusia selalu berbeda dalam tindakan-tindakannya. Kita dapat melihat ada pribadi tertentu yang lebih cerdas atau lebih bermoral.

Dweck mengikuti para ahli yang dapat membagi manusia atas dua kelompok pembeda. Kelompok manusia pertama menunjukkan perbedaan-perbedaan fisik, terutama perbedaan tengkoraknya. Ada orang yang memiliki tonjolan-tonjolan di tengkoraknya (frenologi), ada yang berbeda ukuran dan bentuk tengkoraknyha (kranologi), dan pada saat ini menekankan perbedaan berdasarkan gen. Kelompok kedua menekankan perbedaan berdasarakan latar belakang, pengalaman, pelatihan dan cara belajar manusia. Pandangan ini dikemukakan oleh Alfred Binet sang pencipta test IQ. Kedua jenis kelompok pembeda yang disebutkan di sini membuka pemahaman kita tentang mindset.

Mindset merupakan pola pikir setiap pribadi manusia yang terbentuk karena adanya perbedaan dalam pendidikan, pengalaman keseharian dan prasangka yang muncul akibat perbedaan-perbedaan lain yang ada dalam diri manusia. Kita semua selalu memiliki kecenderungan untuk melihat perbedaan-perbedaan yang ada di dalam diri kita, yang terkadang memiliki power untuk memisahkan diri kita dengan pribadi yang lainnya. Meskipun kita mengetahui semboyan “Bhineka tunggal ika”, artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, namun perbedaan-perbedaan manusiawi tetaplah menyulitkan kita untuk bersatu sebagai saudara, teman, kawan dan sahabat. Kita mudah lupa bahwa setiap perbedaan merupakan peluang untuk memampukkan kita supaya mengasihi lebih dari yang sudah dilakukan oleh orang lain kepada kita.

Perlu kita akui dengan jujur bahwa salah satu kecenderungan manusiawi yang sering menguasai hidup kita adalah bahwa kita lebih mudah menemukan kesalahan yang ada pada diri orang lain, namun sulit untuk menemukkan kesalahan pada diri kita sendiri karena membutuhkan kebesaran hati dan keiklasan untuk melepaskan ego kita masing-masing.

Berkaitan dengan ini, kita mengingat perkataan Tuhan Yesus ini: “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok di matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat 7:3.5).

Refleksi: Apakah kita dapat mengubah mindset kita terhadap sesama atau kita tetap behenti saja pada perbedaan yang mengkotak-kotakan kita sebagai manusia yang bersifat sosial? Apakah kita masing-masing masih aktif mengkotak-kotakan hidup kita dari hidup sesama yang lain? Perlulah kita mengubah mindset masing-masing.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply