Homili Hari Minggu Biasa ke-XXII/A – 2017

Hari Minggu Biasa ke-XXII/A
Yer 20:7-9
Mzm 63:2.3-4.5-6.8-9
Rm 12:1-2
Mat 16:21-27

Tubuhku adalah persembahan yang hidup bagi-Mu!

Kita mengawali perayaan Ekaristi hari Minggu Biasa ke-XXII ini dengan sebuah Antifon Pembuka yang indah bagi kita, bunyinya: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, sebab kepada-Mulah aku berseru sepanjang hari. Engkau baik hati, ya Tuhan, dan suka mengampuni, kasih setia-Mu berlimpah bagi semua orang yang berseru kepada-Mu” (Mzm 86:3.5). Mazmur ini didoakan oleh raja Daud ketika ia meminta pertolongan kepada Tuhan Allah. Raja Daud mengalami kesulitan tertentu terutama kesengsaraan dan kemiskinan. Dalam situasi seperti ini ia mengandalkan Tuhan. Ia memohon belaskasih dan keselamatan hanya kepada Tuhan Allah. Ia melakukannya sepanjang hari, tanpa mengenal lelah karena ia percaya bahwa Tuhan Allah selalu mengampuni dan penuh dengan kasih setia-Nya. Doa raja Daud ini kiranya menjadi doa kita terutama ketika mengalami kesulitan tertentu. Sama seperti Raja Daud yang mengadalkan Allah, kita perlu mengandalkan Allah di dalam hidup kita.

Antifon Pembuka yang saya katakan indah bagi kita sekaligus menginspirasikan kita untuk untuk memahami Sabda Tuhan melalui bacaan-bacaan liturgi kita hari Minggu Biasa ke-XXII ini. Dalam bacaan pertama kita mendengar tentang pengalaman akan Allah di dalam diri nabi Yeremia. Nabi Yeremia mendapat tugas untuk mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan kepada semua orang pada zamannya. Ia mengalami banyak beban dalam perutusannya. Pengalaman akan berbagai beban kehidupan membuatnya hendak memberontak kepada Tuhan. Lagi pula ia merasa bahwa Tuhan sendirilah yang membelenggunya sebab itu ia tidak dapat memberontak kepada-Nya. Ia sempat mendengar bujukan Tuhan dan membiarkan dirinya dibujuk oleh Tuhan. Ia merasa bahwa Tuhan memiliki kekuatan yang mampu menundukannya.

Yeremia memang mengalami banyak kesulitan. Dirinya ditertawakan oleh orang lain bahkan semua orang mengolok-oloknya. Ia harus berteriak setiap kali berbicara kepada orang lain dengan seruan: ‘Kelaliman! Aniaya!’ Hanya gara-gara firman Tuhan maka Yeremia mengalami cemohan sepanjang hari. Satu sikap yang dimiliki oleh nabi Yeremia adalah ia tetap berpasrah kepada Allah yang telah mengutusnya. Sifat berpasrah kepada Allah bukan melemahkan dirinya di hadapan manusia yang menganiayanya, melainkan sangat menguatkan dia untuk tetap mengandalkan Tuhan. Sikap Yeremia ini menandakan kehausannya akan Allah yang hidup. Ia tetap percaya bahwa pada saatnya nanti ia akan melihat wajah Allah yang hidup.

St. Paulus dalam bacaan kedua, menegaskan tentang pentingnya kekudusan tubuh kita di hadirat Allah. Sebab itu ia mengharapkan supaya kita mampu mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Kita semua telah menerima sakramen pembaptisan sebagai saat pertama pengudusan diri kita di dalam Tuhan. Kita menjadi Kristen artinya menjadi Kristus Kecil di dunia ini. Kalau kita sungguh menyadari diri sebagai orang kristen berarti kita benar-benar mau menguduskan tubuh kita dan menjadi persembahan yang berkenan kepada Tuhan. Paulus mengatakan bahwa persembahan yang berharga juga merupakan ibadah sejati di hadirat Tuhan.

St. Paulus juga menekankan tentang pentingnya pertobatan yang radikal di hadirat Tuhan. Ia mengharapkan supaya kita semua jangan cenderung menjadi pribadi yang duniawi. Kita perlu berubah menjadi baru dalam Tuhan. Dengan demikian kita dapat membedakan manakah yang merupakan kehendak Allah, mana yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Semangat pertobatan merupakan tanda pengalaman pribadi kita akan Allah yang berbelas kasih, Allah yang maharahim kepada kita semua. Apabila kita hendak mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan, tentu bukanlah tubuh yang kotor, duniawi, tetapi tubuh yang kudus dan tak bercela di hadirat Tuhan.

Kita mempersembahkan tubuh kita yang kudus dan tak bercela kepada Tuhan. Artinya bahwa masing-masing kita itu memiliki nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan ini perlu kita hargai secara pribadi dan dengan demikian kita juga mampu menghargai nilai kehidupan sesama yang lain. Kalau kita tidak mampu menghargai nilai kehidupan kita sendiri maka tentu kita juga tidak mampu menghargai nilai kehidupan sesama. Apakah kita sudah sopan dengan diri kita sendiri? Apakah kita menjaga diri kita dengan baik? Apakah kita suka memamerkan bagian-bagian tubuh kita kepada orang lain? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang baik untuk kita renungkan. Ingat, tubuh kita adalah tempat tinggal Roh Kudus. Kuduskanlah tubuhmu sebagai persembahan kepada Tuhan.

Dalam bacaan Injil kita mendengar pesan Yesus yang sangat berharga, berkaitan dengan persembahan diri kita kepada Tuhan. Yesus menghargai tubuh-Nya sebagai persembahan yang berkenan kepada Bapa untuk kesalamatan umat manusia. Sebab itu Ia mengatakan dengan terus terang tentang kehidupan-Nya. Ia berkata kepada para murid-Nya: “Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari yang ketiga.” Tuhan Yesus mengatakan hal ini dengan terus terang. Tubuh-Nya yang kudus akan berdarah-darah, bahkan sampai mati supaya manusia memperoleh keselamatan.

Petrus tampil dengan menggunakan kategori pemikiran manusiawi. Baginya Mesias yang benar, datang dengan segala kemuliaan untuk membebaskan manusia dari berbagai belenggu kehidupan. Sebab itu ia menarik Yesus ke samping dan mengatakan bahwa Tuhan tidak akan menghendaki segala sesuatu yang memnbuat-Nya menderita. Yesus menegur Petrus dengan keras. Kata-kata tajam keluar dari mulut-Nya: “Enyahlah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku sebab engkau memikirkan bukan yang dipikirkan Allah melainkan yang dipikirkan manusia”. Manusia seperti Petrus mudah berubah. Ia hanya berpikir dengan kategori manusia bukan dengan kategori pikiran Tuhan.

Tuhan Yesus juga mengatakan kepada para murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku.” Kita perlu menyerupai Yesus yang menyangkal diri, rela kehilangan diri-Nya supaya manusia memperoleh keselamatan. Kita menyerupai Yesus yang memikul salib, siap untuk berkorban bagi keselamatan umat manusia. Yesus berkorban, manusia bahagia karena selamat. Dengan menyangkal diri, dan memikul salib maka layaklah kita untuk mengikuti Yesus dari dekat.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena ia senantiasa membaharui iman kita. Tuhan senantiasa menguduskan diri kita dengan Roh Kudus-Nya supaya layaklah kita sebagai persembahan yang sangat berarti bagi-Nya. Apapun penderitaan dan kemalamngan dalam hidup ini, kasih Tuhan selalu melebihi segalanya. Ia bahkan rela wafat bagi kita karena kasih-Nya yang tiada berkesudahan. Mari kita berusaha untuk menjadi persembahan yang kudus hanya bagi Tuhan kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply