Homili 19 September 2017

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXIV
1Tim 3:1-13
Mzm 101:1-3b.5-6.
Luk 7:11-17

Allah mengunjungi umat-Nya

Seorang Misionaris pernah menceritakan pengalaman-pengalaman uniknya di tanah misi. Salah satu pengalamannya adalah kunjungan pastoralnya untuk pertama kali ke sebuah stasi di daerah pegunungan. Ketika dia memasuki stasi misionaris itu, ada seorang bapa berteriak dengan suara nyaring dalam bahasa daerah: “Tuhan Allah datang…Tuhan Allah mengunjungi kita”. Pada saat itu juga semua umat stasi itu berhamburan ke luar dari rumahnya masing-masing untuk “menonton” sang misionaris yang mengunjungi stasi itu dengan kuda tunggangannya untuk pertama kalinya. Sang misionaris sendiri merasa kaget dengan teriakan dan kata-kata yang benar-benar mengubah seluruh hidupnya. Ia mengakui bahwa ternyata perjalanan misioner yang dilakukannya bukan atas nama dirinya sendiri tetapi atas nama Tuhan. Ia melakukan pekerjaan Tuhan dengan mengunjungi umat Tuhan di stasi itu. Setiap kali mengunjungi stasi itu, ia selalu berdoa: “Tuhan terima kasih karena Engkau menghendaki supaya aku melakukan kehendak-Mu di tempat ini”.

Pengalaman misioner ini banyak di alami oleh para misionaris. Tetapi satu hal yang menarik dalam kisah ini adalah adanya perubahan mindset dari sang misionaris. Ia mulanya merasa bahwa apa yang dilakukan semata-mata karena kemauannya sendiri namun disadarkan bahwa apa yang dilakukannya adalah rencana dan kehendak Tuhan. Motivasi manusiawi berubah menjadi ilahi. Ia juga mengalami revolusi mental dalam kehidupan misioner. Mentalitas cengeng, cari kesempatan, pola hidup gampang berubah menjadi pengurbanan diri yang luar biasa. Ia berkuda selama seharian ke gunung untuk melayani dengan sukacita. Revolusi mental membuahkan kebahagiaan bagi umat yang merindukan kehadiran Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian. Tuhan Yesus Kristus selalu berkeliling dan berbuat baik. Ia melakukan perjalanan hingga tiba di kota Nain. Kota Nain ini letaknya sekitar 14 km dari Nazaret, kampung halamannya Tuhan Yesus. Dari kota Kapernaun di Galilea ke Nain sekitar 52.5 km. Pada saat mendekati gerbang kota itu mereka melihat orang-orang mengusung jenazah seorang anak laki-laki tunggal dari seorang ibu yang sudah menjanda. Anak laki-laki adalah harapan dari janda itu sebab Dialah yang akan bekerja untuk memberi nafkah bagi ibunya. Maka kematiannya merupakan kehilangan segalanya bagi janda itu.

Tuhan Yesus memandang janda itu, hati-Nya tergerak oleh rasa belas kasih kepadanya. Yesus benar-benar mengasihi janda itu karena ia sangat membutuhkan anaknya yang tunggal. Sebab itu Yesus mengatakan kepadanya supaya jangan menangis. Ia mendekati usungan jenazah dasn menyentuhnya. Pada saat yang sama para pengusung berhenti. Yesus memanggil pemuda itu: “Hai pemuda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” Pemuda itu bangun dan berbicara kembali. Yesus menyerahkan anak itu kepada ibunya. Berbagai reaksi berdatangan dari masyarakat Nain saat itu. Mereka takjub karena mukijizat yang barusan terjadi. Orang mati saja dapat dibangkitka-Nya dengan mudah. Sebab itu mereka berkata: “Seorang nabi besar telah muncul ditengah-tengah kita.” dan “Allah telah mengunjungi umat-Nya”. Reaksi yang lain adalah nama Yesus semakin dikenal di Yudea dan sekitarnya.

Kisah pemuda Nain dibangkitkan adalah kisah kehidupan kita setiap hari. Banyak kali kita pun mengalami kematian iman. Kita hidup tetapi iman kita mati. Mungkin kita layak untuk dikuburkan. Tetapi Tuhan selalu bekerja melalui orang-orang tertentu untuk menyelamatkan kita. Tuhan bekerja melalui keluarga, teman, sahabat bahkan musuh kita sekalipun untuk menyelamatkan kita. Mari kita coba masuk dalam pengalaman keseharian kita bersama Tuhan. Kita perlu jujur untuk memohon ampun karena kita juga mati dalam iman. Kita meragukan Tuhan dan kuasa-Nya. Kita tidak setia membaca dan merenungkan Sabda Tuhan. Inilah tanda kamatian iman dan kehidupan rohani kita. Kita perlu revolusi mental dalam kehidupan iman kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply