Homili 30 Agustus 2018

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXI
1Kor 1:1-9
Mzm 145: 2-7
Mat 24: 42-51

Selalu mawas diri itu perlu dan harus!

Pengalaman yang selalu melekat dalam diri seorang pendidik adalah perilaku peserta didik atau para siswa yang aneh tapi nyata. Misalnya kadang-kadang pendidik memberikan quis dadakan kepada para peserta didik setelah membahas satu topik. Perkataan yang selalu keluar dari mulut mereka bernada ocehan adalah: “Kami belum siap. Inia tau itu belum diajarkan”. Hal yang sama terjadi ketika memberikan ujian atas materi yang sudah diajarkan selama semester berjalan. Kadang-kadang pendidik memberikan pertanyaan komprehensif kepada peserta didik, dan mereka selalu mengomentari “belum diajarkan” dan lain sebagainya. Kita melihat bahwa ternyata masih ada peserta didik tertentu yang bermental nina bobo atau dimanjakan oleh guru, sehingga kalimat “belum siap” selalu ada dalam hati mereka. Inilah realitas anak-anak sekolah tertentu di zaman ini. Sikap berjaga-jaga, mawas diri dan bersiap siaga belumlah menjadi sebuah budaya bagi sebagian generasi zaman now.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini meminta para murid-Nya untuk berjaga-jaga dalam menanti kedatangan Tuhan. Ia berkata: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” (Mat 24:42). Sikap hidup Kristiani yang tepat adalah selalu mawas diri, berjaga-jaga sambal berdoa untuk menanti kedatangan Tuhan untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Untuk itu Tuhan Yesus memakai gambaran tentang seorang tuan rumah yang selalu berjaga-jaga untuk melindungi rumah dan isinya dari para pencuri yang datang pada waktu yang tidak jelas. Maka kalau manusia dapat berjaga-jaga terhadap para pencuri, maka sepatutnya manusia juga berjaga-jaga dalam menanti kedatangan Tuhan.

Selanjutnya, Tuhan Yesus juga mengaktualisasikan sikap mawas diri atau berjaga-jaga dengan memiliki kebajikan kesetiaan. Sikap kita seharusnya menjadi sikap hamba atau abdi Tuhan yang setia dalam melakukan tugas pelayanan. Tugas yang diberikan adalah kepercayaan yang besar, di mana kita perlu dan harus mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan-pekerjaan kita. Tuhan akan mengatakan ‘berbahagialah’ kepada hamba yang setia melakukan tugas-tugasnya. Hamba yang tidak mencari muka atau mencari kesempatan dalam kesempitan. Hanya saja ada juga hamba jahat yang bertindak menyeleweng terhadap rekan-rekan hamba yang lain. Hamba jahat memukul, minum mabuk dan lupa diri di hadapan Tuhan dan sesama. Tentu saja ini merupakan tindakan yang ceroboh dan bukan mawas diri. Hidup Kristiani akan bermakna ketika kita merasa diri di hadapan Tuhan sebagai Hamba Tuhan atau Abdi Tuhan Allah yang mawas diri atau berjaga-jaga dan setia melakukan tugas dan tanggung jawab kita. Kesetiaan dalam tugas dan tanggung jawab merupakan tanda kematangan hidup sebagai pribadi di hadapan Tuhan.

Apa yang harus kita lakukan untuk tetap mawas diri di hadapan Tuhan?

Kita perlu memuji nama Tuhan dalam doa dan ucapan syukur serta puji-pujian kita. Raja Daud menunjukkan sikap mawas dirinya dengan berkata: “Setiap hari aku hendak memuji Engkau, dan hendak memuliakan nama-Mu untuk seterusnya dan selamanya. Besarlah Tuhan dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga.” (Mzm 145:2-3). Apakah setiap hari kita menunjukkan mawas diri kita dengan memuji dan memuliakan Tuhan? Orang yang tidak mawas diri tentu tidak memiliki kesempatan untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Hal yang sama diungkapkan oleh St. Paulus. Ia berkata: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus.” (1Kor 1:4).

Ada banyak alasan yang membuat Paulus mengucap syukur kepada Tuhan. Ia bersyukur kepada Tuhan karena anugerah atau kasih karunia Tuhan yang berlimpah rua. Syukur karena bersama Yesus, gereja menjadi kaya dalam segala hal yakni dalam perkataan dan pengetahuan. Tuhan Yesus memberika kasih karunia kepada kita supaya kita hidup dalam kekurangan, melainkan dalam kelimpahan rahmat. Ini adalah sikap mawas diri kita sambal menanti kedatangan Tuhan. Tuhan senantiasa meneguhkan hidup kita. Dia juga setia mempersatukan kita dengan diri-Nya. Dengan demikian, sikap wawas diri menjadi jalan bagi kita untuk bersatu dengan Tuhan.

Mari kita belajar dan hidup dengan mawas diri. Tuhan memberkati dan memampukan kita semua.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply