Homili 13 November 2018

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXXII
Tit. 2:1-8,11-14
Mzm. 37:3-4,18,23,27,29
Luk. 17:7-10

Hamba yang terbaik!

Saya pernah diajak untuk makan siang bersama sebuah keluarga. Ada satu hal yang menyenangkan hati yakni pada saat itu, di depan meja yang sama duduklah seluruh keluarga, sopir dan baby-sitter. Saya mengatakan hal yang menyenangkan sebab biasanya ada pribadi tertentu yang masih melihat perbedaan antara tuan dan hamba, majikan dan pekerja. Setiap orang dihargai berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya, kadang mengabaikan nilainya sebagai manusia. Sopir menerima uang makan makai a mencarinya sendiri. Baby-sitter memperhatikan bayi atau anak kecil sambil melihat majikannya makan makanan yang enak. Lihatlah bahwa masing-masing orang dilihat berdasarkan pekerjaan dan gajinya, dan lupa bahwa tanpa para pekerja, usaha dan pekerjaan lain dalam keluarga tidak dapat berjalan. Seorang pekerja itu patut mendapatkan upahnya (Mat 10:10).

Kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian. Tuhan Yesus melukiskan bagaimana suasana hidup para hamba pada masa itu. Seorang hamba biasanya membajak tanah dan menggembalakan ternak majikanya sepanjang hari. Dia seharian berada di bawah terik matahari, melelahkan tetapi ketika kembali ke rumah ia tetaplah hamba. Ia tidak mungkin dipersilahkan oleh majikannya untuk segera makan. Ia tetap menjadi hamba yang harus menyiapkan makanan dan minuman, serta melayani tuannya. Setelah selesai melayani tuannya baru ia boleh mengecap makanannya. Sang majikan bahkan tidak sempat berterima kasih atas pelayanan dari sang hambanya padahal ia melanjutkan tugasnya dengan baik. Semangat seorang abdi atau hamba adalah memberikan segalanya bagi tuannya.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang murid Tuhan? Yesus memberikan petunjuk terbaik bagi para murid-Nya supaya menjadi hamba yang baik dan setia. Ia mengingatkan mereka: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10). Kita semua perlu memiliki semangat dan hati sebagai hamba yang siap untuk melayani Tuhan dan sesama siang dan malam. Kita semua adalah abdi atau hamba. Para suami dan istri adalah abdi keluarga. Pemerintah adalah abdi masyarakat bukan tuan bagi masyarakat. Para imam adalah abdi bagi umat Allah. Seorang pemimpin perusahaan adalah abdi bagi para customer. Maka benarlah bahwa kita semua ini adalah hamba-hamba yang tidak berguna. Kita hanya dapat melakukan apa yang harus kita lakukan. Itukah ketaatan dari seorang hamba. Kita melakukan semangat penghambaan yang sama kepada Tuhan.

Dalam bacaan pertama kita mendengar nasihat-nasihat St. Paulus bagi Titus untuk menunjukkan dirinya sebagai abdi Tuhan bagi umat Allah. Paulus mula-mula menasihati Titus supaya memberitakan apa yang sesuai dengan ajaran sehat. Artinya sebagai abdi Tuhan maka hendaknya Titus berkata benar, jangan menambahkan apa yang tidak perlu ditambahkan. Titus perlu focus pada pewartaannya kepada seluruh lapisan Gereja terutama tentang tugas dan kewajiban yang harus diemban oleh orang tua, pemuda dan hamba.

Inilah nasihat-nasihat dari Titus kepada laki-laki yang tua: “hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.” (Tit 2:2). Ini benar-benar nilai-nilai hidup yang harus dimiliki oleh para laki-laki yang tua (matang). Kewibawaan memang sangatlah dibutuhkan oleh orang-orang muda ketika melihat orang tua. Semangat penghambaan juga dapat ditunjukkan dalam nilai-nilai hidup sebagai lelaki tua. Titus memberi nasihat kepada para perempuan yang tua (matang): “Hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang.” (Tit 2:3-5). Nasihat-nasihat Titus kepada para perempuan yang sudah matang juga sangatlah penting. Mereka perlu menunjukkan teladan hidup sebagai hamba yang baik dan benar. Pada akhrinya Titus juga memberi nasihat kepada kaum muda. Inilah nasihatnya: “Menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita” (Tit 2:6-8).

Mengapa nilai-nilai penghambaan ini mesti dimiliki oleh para orang tua dan kaum muda? Paulus mengatakan bahwa semuanya ini berguna untuk membaharui diri di hadapan Tuhan. Proses pembaharuan diri ini ditandai dengan meninggalkan segala kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini. Proses pembaharuan diri sebagai hamba ini menopang kita untuk menantikan Yesus, Penyelamat kita. Hamba yang baik dan setia adalah dia yang selalu membaharui dirinya di hadirat Tuhan. Segala kelemahan manusiawinya selalu menjadi kesempatan untuk berubah menjadi baru dan menghasilkan buah-buah penebusan yang berlimpah.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply