Homili 14 November 2018

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXXII
Tit. 3:1-7
Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6
Luk. 17:11-19

Hati penuh syukur

Pada pagi hari ini saya menerima sebuah pesan singkat dari seorang sahabat yang sangat inspiratif bagiku. Ia mengutip Khalil Gibran, penulis dan pelukis Libanon: “Kejujuran adalah sebuah kebaikan terdalam yang mengajarkan kita untuk bersyukur pada hidup kita sendiri dan membagi kebahagiaan tersebut dengan orang-orang”. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kejujuran adalah sebuah kebajikan yang luhur dan terdalam. Pada zaman kekinian, sangat sulit untuk mendapatkan orang yang benar-benar hidupnya jujur di hadapan Tuhan dan sesama. Ketidakjujuran selalu mengejar orang-orang tertentu untuk memangsanya. Kejujuran yang luhur mengajar kita untuk tahu bersyukur dalam setiap waktu kehidupan kita. Raja Daud pernah berdoa: “Bersukacitalah dalam Tuhan dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersoraksorailah, hai orang-orang jujur!” (Mzm 32:11). Dari situ ada dua pertanyaan bagi kita: Apakah kita secara pribadi adalah orang yang jujur? Apakah kita secara pribadi selalu bersyukur?

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menggambarkan keluhuran rasa syukur kita di hadirat Tuhan.Tuhan Yesus dan para murid-Nya sedang dalam perjalanan ke Yerusalem. Mereka menyusur daerah-daerah sekitar kota Samaria dan Galilea. Tuhan Yesus berjumpa dengan sepuluh orang kusta yang tinggal bersama-sama di sebuah desa. Di antara mereka ada Sembilan orang Yahudi dan satu orang Samaria. Mereka sadar diri sebagai orang berpenyakit kusta, dan tentu saja najis di hadapan sesama manusia yang lain. Itu sebabnya mereka berdiri agak jauh dan hanya boleh berteriak memanggil nama Yesus sang Guru dan memohon pengasihan. Tuhan Yesus tidak takut dengan orang-orang kusta. Ia malah memandang mereka dan menyarankan mereka untuk pergi dan menunjukkan dirinya kepada imam. Tujuannya adalah supaya mereka diterima kembali dalam komunitas sebagai orang yang sudah tahir atau bersih. Perlu dimaklumi bahwa pada saat itu orang-orang kusta dikucilkan dalam masyarakat. Mereka harus berpakaian compang-camping, tidak mengatur rambutnya dengan baik, dan kalau berjalan di jalan umum, mereka harus berteriak bahwa mereka orang kusta. Orang-orang sehat dengan sendirinya akan menjauh karena mereka najis.

Mukjizat terjadi karena kekuatan sabda Yesus. Pada saat kesepuluh orang kusta menyadari diri mereka sudah sembuh maka sembilan orang Yahudi melanjutkan perjalanannya sedangkan satu orang Samaria, orang asing di mata orang Yahudi datang kepada Yesus untuk bersyukur. Sikap tubuhnya: tersungkur di depan kaki Yesus dan bersyukur. Ini adalah tanda metanoia. Ia membaharui dirinya secara radikal dari segala kenajisannya. Mengapa ia melakukannya di hadapan Yesus? Hanya ada satu alasan utama yakni karena ia mengimani Yesus. Ia percaya bahwa Yesus adalah Tuhan yang menyembuhkan, yang menyelamatkannya dari segala dosa dan kenajisan hidup. Hidup kristiani memiliki makna ketika kita sadar diri untuk menyatakan syukur atas rahmat pertobatan yang kita terima dari Tuhan. Orang yang bertobat memiliki kebajikan kerendahan hati. Ia mengenal dirinya sebagai orang berdosa, masih memiliki rasa bersalah dan memohon pengampunan dari Tuhan. Orang yang bertobat itu jujur dengan dirinya sendiri dan jujur di hadapan Tuhan.

St. Paulus dalam bacaan pertama, melanjutkan nasihat-nasihatnya kepada Titus. Titus menyimak semua perkataan Paulus maka ia pun memberi nasihat kepada jemaat gembalaannya. Dalam konteks pertobatan, Titus mengatakan bahwa dahulu kita semua sesat, namun karena rahmat Tuhan maka kita semua diselamatkan. Hidup lama ditandai oleh kejahilan yakni: tidak taat, sesat, menjadi hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan, hidup dalam kejahatan dan kedengkian, keji, saling membenci. Hal-hal yang perlu dihindari adalah jangan memfitnah dan bertengkar. Di samping ajakan untuk sadar diri terhadap rahmat pertobatan dari Tuhan, Titus mengajak jemaat untuk rendah hati supaya patuh kepada para pemimpin yakni pemerintah dan penguasa. Kepatuhan ditandai dengan kerelaan untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Kerendahan hati justru nampak dalam sikap ramah dan lemah lembut terhadap semua orang.

Titus juga menyadarkan jemaat: “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita.” (Tit 3:4-7). Tuhan murah hati kepada kita. Ia menyelamatkan kita bukan karena kuat dan hebatnya diri kita. Ia menyelamatkan kita sebab kita sudah dibaptis dan dibenarkan oleh Tuhan Yesus Kristus.

Hati kita penuh syukur kepada Tuhan ketika menyadari rahmat pertobatan dalam hidup kita setiap saat. Hati penuh syukur juga menjadikan kita pribadi yang rendah hati di hadapan Tuhan dan semua orang di sekitar kita. Hati penuh syukur membantu kita untuk selalu patuh kepada Tuhan, dan kepada pemerintah dan penguasa. Saya bangga melihat para uskup yang menunjukkan keteladanan yang super kepada umat katolik Indonesia. Mereka bertemu dengan Presiden Jokowidodo sebagai tanda kepatuhan sebagai warga negara kepada pemimpinnya. Para uskup hendak mengatakan kepada kita semua bahwa pilihan politik boleh beda tetapi kepatuhan kepada pemimpin adalah kebajikan. Penulis surat kepada umat Ibrani menulis: “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya.” (Ibr 13:17). Kita juga melihat Pak Jokowidodo menunjukkan rasa hormatnya kepada para gembala kita. Ia menerima para uskup dengan senang hati dan tentu saja menganggap para uskup sebagai mitra kerja bagi bangsa dan negara Indonesia. Semua ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang hatinya penuh syukur.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply