Homili 11 Desember 2018

Hari Selasa, Pekan Adven II
Yes. 40:1-11
Mzm. 96:1-2,3,10ac,11-12,13
Mat. 18:12-14

Iman kepada sang Gembala Baik

Konon ada seorang peternak ayam kampung yang hidup di sebuah kampung terpencil. Ia memiliki beberapa kandang yang penuh dengan ayam kampung. Ia mengurus ternaknya ini dengan membersihkan kandang, memberi makan dan minum, dan kadang-kadang berbicara dengan mereka. Ia bahkan memberi nama kepada ayam-ayam tertentu. Pada suatu hari ia merasakan sebuah keanehan karena salah seekor ayam jantan keluar dari kandang dan berbaur dengan ayam-ayam lain dari tetangganya. Ia berusaha mencari sampai menemukannya. Ia berusaha untuk menangkapnya dan memasukkannya kembali ke dalam kandang. Banyak orang memintanya supaya melupakan saja ayam jantannya yang sudah mulai menjadi liar di luar kandang. Bagi mereka hanya ada satu ekor ayam jantan yang keluar dari dalam kandang, tetapi masih banyak ayam jantan lainnya di dalam kandang-kandang yang ada. Ada yang memintanya untuk membiarkan yang seekor menjadi milik sesama. Ia mengatakan kepada mereka bahwa meskipun hanya ada seekor ayam jantan yang keluar dari kandang namun ia berusaha menangkapnya karena ia memeliharanya dari kecil. Ayam jantan itu sudah menjadi istimewa di dalam hatinya. Ia tetap akan menangkap dan memasukkannya kembali ke dalam kandang yang sudah tersedia. Ayam jantan tetaplah miliknya yang harus ia pelihara.

Saya merasa bahwa banyak di antara kita merasa lucu dengan kehidupan peternak ayam kampung ini. Ada yang dapat menganggapnya sebagai pribadi yang tidak mau rugi, yang rasa memiliki yang terlalu tinggi, pribadi yang pelit dan aneka penilaian yang lain. Tetapi alasan yang kemukakan sangat jelas bahwa ayam jantan itu merupakan kesayangannya, ia memelihara dan memperhatikannya dari kecil. Ia tidak mau kehilangan begitu saja. Setiap orang memang memiliki prinsip-prinsip tertentu dalam hidupnya. Baginya prinsipnya itu benar adanya dan yang lainnya memiliki alasan yang berbeda.

Tuhan Allah memiliki prinsip yang amat istimewa bagi manusia. Ia menunjukkan sifatnya sebagai seorang gembala yang baik. Ia memiliki kemiripan dengan peternak ayam kampung tadi yang mencari hingga menemukan ternaknya. Dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan sederhana kepada para murid-Nya. Ia meminta pendapat mereka terhadap seorang gembala yang memiliki seratus ekor domba di padang rumput. Kalau ada seekor dombanya yang tersesat maka apa yang dapat dilakukan oleh sang gembala? Saya yakin bahwa para murid akan spontan mengatakan bahwa gembala itu akan meninggalkan yang seekor dan tetap menuntun yang sembilan puluh sembilan ekor. Ini memang sangat manusiawi. Tetapi Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka bahwa sang gembala akan meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba dan mencari satu ekor yang tersesat. Ia akan bergembira ketika menemukan seekor domba yang tersesat, membawanya pulang dan menunjukkan sukacita dan kegembiraannya dengan para tetangganya.

Para murid tentu merasa aneh dengan perumpamaan Tuhan Yesus ini. Mana mungkin ia mengorbankan sembilan puluh sembilan dan mencari satu saja yang tersesat? Bukankah ia masih memiliki sembilan puluh sembilan ekor yang mungkin lebih baik, penurut, tidak membuat kepala pusing? Ternyata Tuhan Yesus maksudkan bukan hanya soal domba yang tersesat tetapi soal manusia ciptaan-Nya. Ia mengetahui manusia yang memiliki kerapuhan dalam hidup sehingga mudah sekali jatuh dalam dosa. Manusia mudah sekali memiliki hati yang keras sehingga tidak mau mendengar Tuhan. Sebab itu Yesus menggambarkan Bapa di surga sebagai Bapa yang baik, yang tidak menghendaki seorang pun anak-anak-Nya hilang.

Allah Bapa kita mahabaik. Ia menunjukkan wajah-Nya yang penuh belas kasih di dalam diri Yesus Kristus yang kita nantikan kedatangan-Nya. Tuhan Yesus Kristus senantiasa menarik orang-orang kepada-Nya untuk diselamatkan. Ia meniadakan ketersesatan bagi manusia. Ia melakukan semuanya ini bagi kita tanpa memandang kehinaan diri kita karena dosa dan salah. Ia hanya memandang kita sebagai ciptaan-Nya yang mulia, yang serupa dengan wajah-Nya. Ia mengasihi kita sampai tuntas tanpa menghitung-hitung dosa kita. Kita belajar dari sikap Tuhan Yesus dalam perikop Injil ini untuk mengasihi dengan tulus hati sampai tuntas.

Pada hari ini semangat gembala baik menjadi semangat kita di dalam Gereja. Tugas kegembalaan kita adalah mencari domba-domba yang tersesat untuk kembali kepada jalan yang benar yakni di dalam Gereja sendiri. Kita mencari orang-orang berdosa, orang-orang sakit, orang-orang miskin, orang-orang yang tidak kita sukai, siapapun yang menjadi musuh. Kita menunjukkan kasih dan kebaikan Tuhan sang gembala baik untuk bertobat dan kembali ke jalan yang baik dan benar. Tentu saja bukan dengan kuatnya kata-kata, melainkan dengan hidup kita yang benar. Kita harus menjadi orang katolik yang terbaik supaya dapat menjadikan mereka sebagai orang katolik juga. Kita harus menjadi serupa dengan Yesus supaya mereka berubah menjadi domba yang baik. Ini adalah misi gereja dalam masa Adventus ini: supaya orang beriman semakin menjadi gembala baik bagi semua orang.

Sikap Gereja sebagai gembala baik berasal dari Tuhan sebagaimana diungkapkan dalam kitab nabi Yesaya: “Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati.” (Yes 40:11). Gereja menghimpun dan memperhatikan serta menuntun dengan hati-hati. Semuanya ini karena kasih kepada mereka yang sanga membutuhkan di dalam Gereja.

Salah satu sikap sebagai gembala yang baik di dalam gereja adalah menghibur umat Allah. Nabi Yesaya mengulangi perkataan Tuhan: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan Tuhan dua kali lipat karena segala dosanya.” (Yes 40:1-2). Wujud nyata penghiburan yang dikehendaki Tuhan adalah pertobatan yang radikal. Pertobatan perlu dimiliki oleh setiap pribadi supaya layak berada di hadirat Tuhan pada hari kedatangan-Nya.

Hidup Kristiani menjadi bermakna ketika kita mengambil spiritualitas gembala yang baik. Gembala yang baik itu mengenal domba-dombanya dan siap untuk mencari dan menyelamatkan yang tersesat. Gereja tidak harus menjadi lemah di hadapan kaum miskin tetapi menjadi kuat untuk melayani dan menyelamatkan kaum miskin. Gereja tidak boleh menjadi batu sandungan bagi kaum pendosa tetapi menjadi sarana keselamatan bagi kaum pendosa. Gereja harus melihat Yesus yang hadir dalam diri kaum miskin. Wajah-wajah yang membutuhkan keselamatan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply