Homili 23 Januari 2019

Hari Rabu, Pekan Biasa II
Ibr. 7:1-3,15-17
Mzm. 110:1,2,3,4
Mrk. 3:1-6

Engkaulah imam selama-lamanya

Setiap tanggal 3 Juni saya merayakan hari ulang tahun tahbisan imamatku. Saya selalu memikirkan hari yang penuh kebahagiaan dan sukacita ini, sebab setelah bertahun-tahun mengikuti proses pembinaan di seminari akhirnya saya ditahbiskan sebagai imam. Saya masih ingat bahwa pada saat merayakan misa syukur sebagai imam baru di kampung halamanku, Romo kepala parokiku mengubah mindsetku tentang cita-cita menjadi imam dalam sambutannya. Ia mengatakan kepadaku bahwa saya tidak harus berpikir bahwa cita-citaku untuk menjadi imam sudah tercapai. Baginya, cita-cita menjadi imam masih tetap dalam taraf perjuangan. Cita-cita menjadi imam tercapai pada saat di sebuah batu nisan tertulis namaku sebagai imam dan nama kongregasiku masih tertulis melekat pada namaku. Mindset saya berubah, rasa terharu dan semangat untuk maju dan setia selalu sampai mencapai cita-cita mulia ini. Adalah benar-benar membahagiakan ketika seorang umat mengasihi imamnya dengan mendoakannya setiap hari. Terima kasih untuk anda yang selalu mendoakan saya dan kesetiaan dalam hidup imamatku.

Saya sangat terkesan dengan sebuah perkataan dalam surat kepada umat Ibrani: “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek.” (Ibr 7:17). Perkataan inilah yang membantu dan mengingatkan saya sekali lagi tentang panggilan hidupku sebagai seorang imam. Saya mengatakan amen dalam diri saya ketika membaca kalimat ini: “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya”. Meskipun perkataan ini bukan ditujukan kepada saya tetapi berkaitan dengan panggilan imamat saya maka kata ‘Amen’ wajar untuk saya ucapkan. Saya yakin bahwa rekan-rekan lain yang sepanggilan dengan saya juga mengalamai hal yang sama. Rasa syukur yang mendalam dari dalam hati karena anugerah panggilan imamat.

Kita membaca dan mendengar dari surat kepada umat Ibrani tentang Melkisedek. Melkisedek berarti penguasa atau raja yang bijaksana. Dia adalah raja Salem dan imam Allah yang Mahatinggi. Maka Melkisedek berarti raja bijaksana atau raja kebenaran, dan raja damai. Dia adakah raja yang unik karena tidak diketahui silsilah keluarganya. Dialah yang menyonsong dan memberkati Abraham setelah mengalahkan raja-raja. Abraham sendiri memberi sepersepuluh dari semua jarahannya. Melkisedek dijadikan serupa dengan Anak Allah sehingga patutlah menjadi imam selama-lamanya. Sosok Melkisedek menjadi kuat dalam dunia perjanjian Baru, khususnya dalam diri Yesus Kristus. Yesus dipandang sebagai Imam Agung menurut tata cara Melkisedek.

Yesus adalah kebenaran. Dialah raja damai. Dia mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah Bapa di dalam Surga. Ia menjadi Imam Agung bukan berdasarkan peraturan-peraturan manusia, tetapi berdasarkan hidup yang tidak dapat binasa. Sebab itu tepat sekali perkataan ini: “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek.” Dia juga mempersembahkan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya. Disinilah letak perbedaannya dengan para imam dalam zaman perjanjian lama. Mereka mempersembahkan hewan kurban kepada Tuhan. Persembahan sejati adalah persembahan diri seutuhnya bagi Tuhan.

Tuhan Yesus menunjukkan jati diri-Nya sebagai Imam Agung dengan berbuat baik bagi manusia pada setiap saat. Pertolongan-Nya selalu datang tepat pada waktunya tanpa memandang siapakah manusia itu. Orang berdosa dan orang benar dikasihi-Nya dengan memberinya sinar matahari dan hujan dari langit. Hari ini kita mendnegar sebuah kisah indah. Tuhan Yesus masuk ke dalam sebuah rumah ibadat pada hari Sabat. Kebetulan di antara jemaat yang hadir, ada seorang yang mati sebelah tangannya. Ia melihat orang itu dan menaruh belas kasih kepada-Nya, lagi pula Yesus tahu bahwa orang itu membutuhkan kesembuhan. Tuhan Yesus sebagai Imam Agung menyembuhkannya pada hari Sabat. Perbuatan baik yang dilakukan Tuhan Yesus pada hari Sabat ini dilawan oleh kaum legalis yakni orang-orang Farisi. Mereka ini hanya bersifat legalis tetapi lupa bahwa hukum itu dibuat untuk kebaikan manusia.

Banyak kali kita juga menjadi sangat legalis. Kita lupa diri, terlalu legalis sehingga tidak dapat berbuat baik bagi sesama yang sangat membutuhkan. Tuhan Yesus tidak mengajarkan kita sikap yang demikian. Sebagai Imam Agung, Ia justru mengajar kita untuk berbuat baik kepada semua orang, bahkan mengurbakan diri kita demi kebaikan orang-orang yang sangat membutuhkan. Pada hari ini kita semua belajar untuk menjadi ‘imam’ yang selalu berbuat baik kepada semua orang. Hidup Kristiani akan bermakna ketika kita semua perbuatan baik itu menggapai semua orang. Kita dapat menjadi imam bagi diri kita sendiri, dan bagi semua orang di hadapan Tuhan yang satu dan sama.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply