Homili 26 Februari 2019

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-VII
Sir. 2:1-11
Mzm. 37:3-4,18-19,27-28,39-40
Mrk. 9:30-37

Melayani dengan rendah hati

Dalam suatu talkshow tentang panggilan hidup bakti, saya bertanya kepada anak-anak muda dan remaja yang hadir, sebuah pertanyaan seputar konsep tentang panggilan. Hanya ada satu anak muda yang mengatakan bahwa tujuan dari hidup bakti adalah menjadi abdi dan pelayan istimewa bagi Tuhan dan sesama di dalam Gereja. Saya kagum mendengarnya karena anak-anak muda yang lain memiliki konsep yang berbeda. Mungkin mereka mendengar dan mengikuti arus kaum berjubah zaman kekinian, yang cenderung menjadi blogger, celebgram dan lain sebagainya. Hanya satu yang berani mengungkapkan niatnya untuk menjadi abdi dan pelayan. Ini tentu menjadi tantangan bagi setiap keluarga yang ‘lalai’ mengarahkan anak-anak untuk memilih hidup bakti sebagai hidup istimewa untuk melayani Tuhan dan sesama. Sebenarnya hidup kita sendiri adalah dihiasi oleh semangat untuk mengabdi dan melayani Tuhan dan sesama. Kita sungguh-sungguh menjadi manusia sebab kita hidup untuk melayani.

Saya mengingat pastor dan aktivis Hak Asasi Manusia dari Amerika, Martin Luther King (1929-1968). Ia pernah berkata: “Tidak semua orang bisa menjadi terkenal namun semua orang bisa menjadi hebat, karena kehebatan ditentukan oleh pelayanan.” Saya sepakat dengan ide beliau ini. Hidup kita sebagai manusia bermakna bukan karena kuat dan hebatnya hidup pribadi kita, melainkan karena semangat untuk mengabdi tanpa pamrih dan melayani dengan sukacita. Kehebatan kita terletak pada kemampuan kita untuk mengabdi dan melayani. Dan saya selalu terinspirasi oleh perkataan St. Theresia dari Kalkuta ini: “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai.” Orang yang mampu mencintai tentu dia adalah pelayan tulen dan terbaik.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini menunjukkan diri-Nya sebagai pelayan tulen. Seorang Anak Allah, datang ke dunia untuk melayani bukan untuk dilayani. Dia adalah Allah yang berlutut di depan manusia berdosa untuk membasuh kaki mereka padahal Dia sudah tahu ada Yudas si pengkhianat, ada Thomas yang kurang percaya dan Petrus yang akan menyangkal-Nya tiga kali. Pelayanan Yesus yang terbesar adalah pemberian diri-Nya secara total sebagai kurban Paskah. Ia berkata: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk 9:31). Para murid memang mendengar perkataan yang sudah diucapkan Yesus sebelumnya tentang paskah-Nya, namun mereka tidak bereaksi apapun. Markus dalam Injil mengatakan bahwa para murid Yesus tidak mengerti perkataan Yesus namun segan untuk menanyakan kepada-Nya. Sebuah sikap yang selalu mewakili kita semua. Tidak mengerti tetapi pura-pura mengerti, diam dan tidak mau bertanya. Mengapa demikian? Semua karena kesombongan, gila jabatan dan kuasa.

Tuhan Yesus mengubah cara pandang mereka dengan perkataan cerdas: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35). Bagi Tuhan Yesus, satu hal yang terpenting adalah menjadi pelayan yang rendah hati. Hidup kita menjadi bermakna karena kita adalah pelayan dari para pelayan. Kita rendah hati untuk melayani lebih sungguh kepada Tuhan dan sesama. Bapa suci adalah pelayan tulen di dalam Gereja. Paus Gregorius pertama menggunakan gelar ‘Servus servorum Dei’ artinya hamba segala hamba. Jadi Sri Paus adalah pelayan segala pelayan.

Yesus mengungkapkan semangat pelayanan yang rendah hati ini karena Dia sendiri menunjukkan-Nya dalam hidup. Ia melayani sampai tuntas. Pada akhir bagian Injil hari ini Ia menunjukkan kepada para murid-Nya sebuah sikap yang terbaik: “Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Mrk 9:36-37).

Pada hari ini kita belajar untuk melayani dengan rendah hati, penuh sukacita. Tuhan Yesus menuntun hidup kita untuk menyerupai-Nya sebagai pelayan tulen. Seorang pelayan pasti mampu mencintai seperti Tuhan sendiri.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply