Homili 4 September 2019 (Injil untuk Daily Fresh Juice)

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXII
Kol. 1:1-8
Mzm. 52:10,11
Luk. 4:38-44

Lectio:

Setelah meninggalkan rumah ibadat di Kapernaum, Yesus pergi ke rumah Simon. Adapun ibu mertua Simon demam keras dan mereka meminta kepada Yesus supaya menolong dia. Maka Ia berdiri di sisi perempuan itu, lalu menghardik demam itu, dan penyakit itupun meninggalkan dia. Perempuan itu segera bangun dan melayani mereka. Ketika matahari terbenam, semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam penyakit. Iapun meletakkan tangan-Nya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka. Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: “Engkau adalah Anak Allah.” Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias. Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus.” Dan Ia memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat di Yudea.
Demikianlah Injil Tuhan kita.
Terpujilah Kristus.

Renungan:

Belajar dari Sang Misionaris Sejati!

Pada tanggal 30 November 2019 ini, Gereja Katolik akan merayakan 100 tahun Paus Benediktus ke-XV mengeluarkan surat Apostolik Maximum Illud. Pada saat itu, Bapa Suci Benediktus ke-XV coba memberi motivasi dan semangat baru supaya Gereja memiliki rasa tanggung jawab misioner yang besar untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Para imam diingatkannya untuk memiliki kesadaran bermisi kepada bangsa-bangsa (misio ad gentes), dengan menggunakan sarana konseptual dan komunikasi sesuai zamannya untuk kegiatan penginjilan. Sebab itu banyak imam, biarawan dan biarawati juga kaum awam yang menjadi misionaris dengan meningalkan tanah kelahirannya untuk mewartakan Injil di negeri-negeri yang baru.

Mengapa sri Paus memberi motivasi penginjilan kepada Gereja? Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dunia saat itu barusan mengalami ‘pembantaian yang tidak berguna’ sebagai akibat dari perang dunia pertama. Sebab itu sri Paus menghendaki agar Gereja memaknai kembali misi secara Injili ke dalam dunia, dan dengan demikian misi Gereja dapatlah dimurnikan dari segala pengaruh kotor kolonialisme dan dijauhkan dari tujuan-tujuan nasionalistik dan ekspansionis yang menyebabkan begitu banyak kehancuran. Adalah sebuah tugas mulia dari Tuhan Yesus sendiri: “Pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15), yang harus dilakukan Gereja sepanjang zaman. Berkaitan dengan semangat misioner ini, Paus Fransiskus dalam suratnya untuk memperingati 100 tahun Maximum Illud menegaskan bahwa dengan berdasar pada surat Apostolik Maximum illud, ada sebuah semangat kenabian dan keterbukaan injili, dimana setiap orang yang dibaptis terpanggil untuk keluar dari batas-batas negara-negara, untuk memberi kesaksian akan kehendak penyelamatan Allah melalui karya misi universal Gereja.

Saya merasa yakin bahwa kita semua sedang berada di dalam ritme hidup menggereja yang sama. Gereja kita bersifat misioner sepanjang zaman karena Tuhan Yesus yang kita imani dan ikuti adalah seorang misionaris sejati. Kita barusan mendengar sebuah kisah dalam Injil Lukas tentang Yesus sebagai misionaris sejati. Ia sudah mengutarakan visi dan misi-Nya seperti ini: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19). Kini Ia mewujudkan visi dan misi-Nya ini dengan melakukan tugas misioner-Nya sebagai seorang gembala dan tabib sejati.

Apa saja tindakan nyata Yesus untuk mewujudkan karya misioner-Nya? Pertama, Ia berkeliling dan berbuat baik dengan menyembuhkan orang-orang sakit. Dikisahkan bahwa mertua Simon Petrus sedang sakit deman keras dan mereka meminta Yesus untuk menolongnya. Yesus menghardik demam dan demam itu segera meninggalkan mertua Simon. Orang sakit yang lain disembuhkan-Nya dengan cara meletakan tangan atas mereka. Setan-setan juga takhluk bahkan mengakui-Nya sebagai Anak Allah, meskipun Yesus melarang mereka untuk membuka mulut karena mengenal-Nya sebagai Mesias. Kedua, Ia memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkan salah satu misi-Nya yakni mewartakan Injil. Ia menegaskan bahwa ‘untuk itulah perutusan atau Misi-Nya’ yakni mewartakan Injil. Aksi nyata-Nya adalah Ia masuk dan keluar kota serta memasuki rumah-rumah ibadat di Yudea untuk mewartakan Injil. Ketiga, buah dari karya misioner adalah kesiapan untuk melayani. Tuhan Yesus melayani semua orang yang datang kepada-Nya dengan melakukan tindakan-tindakan penyembuhan dan mengusir setan-setan. Ibu mertua Simon melayani Yesus setelah mengalami kesembuhan. Gereja saat ini memiliki karakter misioner yakni melayani kaum papa dan miskin. Ini adalah salah satu optio fundamental Gereja misioner di tengah dunia sebagaimana dikehendaki Tuhan sendiri.

Saya teringat pada Santu Paulus. Sang misionaris besar ini mengatakan: “Celakalah aku kalau tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16). Kita mendapat dorongan yang kuat dari Paulus, untuk terlibat aktif dalam memberitakan Injil sampai akhir zaman. Haruslah kita sadari sebagai Gereja bahwa kita tidak hanya mewartakan Injil dengan pergi keluar, atau usaha melewati lintas batas supaya mewartakan Injil sebagaimana dikatakan Yesus. Pada masa kini, kita mewartakan Injil dengan hidup kita yang nyata. Kita menunjukkan diri kita sebagai orang katolik yang terbaik, yang selalu setia mengikuti Yesus dari dekat. Kita melayani lebih sungguh seperti Yesus sendiri melayani orang-orang sakit dan kaum miskin dengan sungguh dan dalam kasih. Ini namanya mewartakan Injil dengan hati dan hidup.

Dalam bulan Kitab Suci Nasional ini, September 2019, dengan tema ‘Mewartakan Kabar Baik di tengah krisis lingkungan hidup’ marilah kita berusaha untuk menjadi akrab dan bersahabat dengan Sabda Tuhan. Satu Hironimus mengatakan tidak mengenal Kitab Suci berarti kita tidak mengenal Kristus. Kita dapat mewartakan Injil kalau kita akrab dengan Yesus dalam doa dan pujian. Kita dapat mengenal Yesus Kristus kalau kita akrab dan rajin membaca Kitab Suci. Sabda Tuhan benar menjadi pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan hidup kita di dunia ini (Mzm 119:105).

Saya mengakhiri renungan ini dengan mengingatkan kita akan tiga tugas penting Gereja yang diminta oleh Sri Paus Benediktus ke-XV dalam Maximum Illud untuk mendukung misi dan kehidupan para misionaris dan saya merasa masih aktual hingga saat ini yakni doa, menumbuhkembangkan panggilan dan bantuan ekonomi (MI: 32-39). Kita semua berusaha mendukung doa tanpa henti, dengan panggilan-panggilan baru sebagai imam, biarawan dan biarawati serta kaum awam misioner, dan bantuan ekonomi berupa derma untuk tanah-tanah misi dan pewartaan Sabda.

Doa: Tuhan semoga Engkau tetap membangkitkan semangat misioner di dalam diri kami supaya terlibat aktif dalam mewartakan Sabda-Mu sebagaimana diteladani oleh Yesus Putera-Mu, sang Misionaris sejati kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply