Homili 15 Oktober 2019

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXVIII
Peringatan Wajib St. Theresia dr Yesus
Rm. 1:16-25
Mzm. 19:2-3,4-5
Luk. 11:37-41

Merenungkan iman orang benar

Pada hari ini kita mengenang St. Theresia dari Avila. Beliau juga dikenal dengan sapaan Santa Theresia dari Yesus. Ia dilahirkan di Avila, Spanyol, pada tanggal 28 Maret tahun 1515. Sejak kecil ia berniat untuk masuk ke dalam biara. Niat sucinya ini terwujud ketika beliau meninggalkan rumahnya diam-diam untuk menghuni sebuah komunitas biara Carmel, hingga ia menjadi seorang biarawati Carmelit. Motivasi dasarnya adalah ia mencintai Tuhan Yesus yang lebih dahulu mencintainya. Orang tuanya tanpa ragu-ragu menyetujui niat sucinya ini.

Apa yang terjadi di dalam biara Carmel saat itu? Theresia merasa bahwa biaranya terlalu longgar peraturannya dan jauh dari kehidupan rohani yang dicita-citakannya. Ia berusaha melakukan sebuah gerakan yang menjadi revolusi mental bagi semua biarawati Carmelit saat itu. Revolusi mental dimulai dari dirinya sendiri dengan berusaha untuk kembali ke akar kehidupan membiara yang sebenarnya yaitu untuk menjadi pribadi yang taat, miskin dan murni. Tentu saja ini menjadi kesulitan bagi banyak biarawan dan biarawati yang sudah terbiasa hidup santai, tidak berdisiplin dan melupakan cara hidup asketis. Tuhan lalu mempertemukan Theresia dari Avila dan Yohanes dari Salib yang  memiliki semangat pembaharuan bagi Ordo Karmelit. Kedua-duanya berjuang untuk memperbaharui kembali semangat dan spiritualitas Ordo Karmel melalui kehidupan membiara yang suci, dalam doa, serta menjalankan puasa dan berpantang dengan sangat ketat. St. Theresia wafat pada tahun 1582 dan dinyatakan kudus oleh Paus Gregorius XV pada tahun 1622. Ia digelari Doktor Gereja oleh Paus Paulus VI pada tahun 1970.

Santa Theresia melakukan Revolusi Mental di dalam Biara Carmel sebab ia memiliki iman sebagai orang benar. Iman orang benar selalu memiliki kasih yang besar kepada Tuhan yang lebih dahulu mengasihinya, bukan pada besarnya karya-karya di dalam hidup pribadinya. Banayak orang selalu menghitung besarnya karya dan lupa untuk bertumbuh dalam iman. Itulah sebabnya Theresia berkata: “Tuhan tidak terlalu peduli dengan betapa pentingnya pekerjaan kita, yang dipedulikanNya adalah kasih yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan itu.” Untuk dapat mengasihi dengan tulus maka setiap orang berusaha untuk memandang Salib. Berkaitan dengan ini, Theresia berkata: “Cinta adalah ukuran kemampuan kita dalam memikul salib.”

Santa Theresia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Ini adalah kesaksian hidupnya yang nyata. Sebagai bagian dari kesaksian hidup pribadinya, beliau mengatakan: “Tuhan mengijinkan jiwa untuk jatuh sehingga ia dapat tumbuh menjadi lebih rendah hati. Ketika jiwa itu jujur, dan menyadari apa yang telah dilakukan, dan kembali, ia membuat perkembangan yang meningkat dalam pelayanan Tuhan kita.” Sebab itu menurutnya, “Kita hanya bisa belajar mengetahui diri sendiri dan melakukan apa yang kita bisa yaitu, menyerahkan kehendak kita dan memenuhi kehendak Allah didalam diri kita.”

Bagi saya, ungkapannya yang selalu inspiratif adalah pada sepenggal puisinya ini: “Nada te turbe, nada te espante, todo se pasa, Dios no se muda; la paciencia todo lo alcanza; quien a Dios tiene nada le falta: Sólo Dios basta.” (Artinya: Jangan membiarkan sesuatu apa pun mengganggumu, Jangan membiarkan sesuatu apapun menakut-nakutimu. Segala sesuatu akan berlalu: Allah tidak pernah berubah, kesabaran memperoleh segalanya. Siapa saja yang memiliki Allah tak akan merasa kekurangan. Allah saja sudah cukup).

Kehidupan pribadi Santa Theresia ini menginspirasikan kita untuk merenungkan dan memahami Sabda Tuhan pada hari ini. Santu Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengingatkan mereka untuk selalu berpegang teguh pada Injil sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Ia percaya bahwa di dalam Injil sebagai Sabda dan Khabar Sukacita, kebenaran Allah sungguh menjadi nyata. Kebenaran itu sendiri, bagi Paulus, bertolak dari iman dan menuju kepada iman. Mengapa demikian? Sebab orang-orang benar akan hidup oleh imannya. Perkataan St. Paulus ini kiranya sejalan dengan semangat St. Theresia yakni ‘Solo Dios basta’. Tuhan dan Injilnya menjadi kekuatan dan kebenaran bagi iman orang benar.

St. Paulus melihat berbagai titik kelemahan manusia yang mana titik-titik kelemahan ini dapat menghalanginya untuk hidup sebagai orang benar di hadapan Tuhan. Baginya, murkah Allah nyata dari surga bagi kefasikan dan kelaliman manusia. Orang-orang seperti ini selalu menindas kebenaran dengan kelaliman. Paulus melihat bahwa orang-orang boleh mengatakan bahwa mereka mengenal Allah namun mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Hati mereka justru menjadi sia-sia dan pikiran mereka menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar. Ini adalah hidup bukan dalam kebenaran melainkan dalam kegelapan di hadapan Tuhan. Kita harus mencari jalan hidup dalam terang.

Pengalaman iman Paulus di Roma ini juga menjadi pengalaman iman St. Theresia di dalam biaranya. Ketika itu para biarawan dan biarawati Carmel hidup sebagai orang kaya baru (okb), penuh dengan borjuisme sehingga lupa menghayati kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dan disiplin hidup religius yang lain seperti hidup dengan bermatiraga atau hidup askesis. Para biarawan dan biarawati berada di zona nyaman dan hidup dalam kelimpahan harta. Kiranya cita-cita Theresia dari Avila dan Yohanes dari Salib masih aktual hingga saat ini. Banyak imam, biarawan dan biarawati yang menjadi kaum borjuis, konsumeris dan hedonis masa kini. Tanpa di sadari bahwa sikap hidup ini menghalangi relasi yang intim dengan Tuhan. Bagaimana dapat berprinsip ‘Solo Dios basta’ kalau kaum berjubah masih dikuasai oleh harta duniawi?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini membuka pemahaman kita tentang jati diri orang benar di hadapan Tuhan Allah. Dalam pandangan manusiawi, orang benar dinilai hanya sebagai sosok yang hidup di hadirat Tuhan dengan patuh pada hukum-hukum dan kebiasaan yang berlaku. Kadang-kadang sifat mereka ini sangat legalis sehingga patut dikritik oleh Tuhan Yesus. Misalnya, mereka sangat memperhatikan kebiasaan membasuh tangan sebelum makan. Ini merupakan kebiasaan yang sama saja dengan orang yang terbiasa melihat cashing atau bagian luar orang atau tampilannya, sehingga lupa akan jati diri  orang tersebut. Tuhan justru melihat orang benar dari hatinya bukan dari hal lahirianya semata. Apakah hati orang itu bersih, suci dan murni. Orang benar yang hatinya bersih akan mampu mengasihi. Ia akan berempati dengan orang lain, berderma dan murah hati. Semua ini adalah kebajikan-kebajikan yang dimiliki orang benar.

Pada hari ini kita memohon semoga santa Theresia dari Avila menginspirasikan kita untuk  mengasihi Allah dengan hati yang bersih. St. Theresia dari Avila, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply