Homili 24 Oktober 2019

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXIX
Rm. 6:19-23
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 12:49-53

Biarkan Api tetap menyala

Saya berasal dari kampung maka kalau berbicara tentang api selalu saja ada ingatan-ingatan manis. Kalau ada keluarga yang memiliki korek api atau sejenisnya maka mudah bagi mereka untuk menyalakan api. Kalau keluarga itu tidak memiliki korek api dan sejenisnya maka mereka akan menggunakan alat-alat sederhana seperti batu keras atau belahan bambu yang digesek satu sama lain hingga mendapatkan api. Kalau keluarga itu tidak memiliki fasilitas sederhana ini maka mereka hanya menunggu saja, di tempat mana mereka akan mendapatkan api. Kadang mereka dapat berjalan satu atau dua kilometer untuk mendapatkan api. Maka api begitu penting untuk memasak makanan, memberi kehangatan kalau daerah itu dingin dan menjadi penuntun di malam hari. Api bersifat mempersatukan pribadi dengan pribadi dalam perjamuan makan bersama dan di saat cuaca dingin atau melakukan perjalanan di malam hari.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita menemukan sosok Musa yang pertama kali berjumpa dengan Allah ketika melihat semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api (Kel 3:2). Kita menemukan ‘Tiang Api’ sebagai Teofani atau yang memanifestasikan kehadiran Allah di hadapan umat-Nya. Kita membaca tentang Tiang Api di dalam Kitab Keluaran 13: 21-22; 14:24; Bil 14:14; Ul 1:33; Neh 9:12.19. Tiang Api ini menuntun Umat Israel pada malam hari dalam peziarahan mereka ke Tanah yang Tuhan janjikan kepada mereka. Di sini sekali lagi pikiran kita dibuka untuk mengerti bahwa Api adalah simbol kehadiran Allah dan tindakan-Nya di dunia dan bagi umat manusia. Tuhan Allah selalu hadir di tengah umat-Nya. Ia membimbing, dan melindungi umat-Nya dalam peziarahan selama lebih kurang empat puluh tahun (Kel 13:21-22). Nabi Elia mendatangkan api dari langit untuk mewahyukan kehadiran dan kuasa Allah serta memurnikan umat-Nya yang menyembah berhala (1Raj 18:36-39). Api juga melambangkan kemuliaan Allah (Yeh 1:4,13) dan kekudusan-Nya (Ul 4:24), kehadiran untuk melindungi (2Raj 6:17) dan pengadilan-Nya (Za 13:9) serta kekudusan untuk melawan dosa (Yes 66:15-16).

Dalam kacamata Kristiani, Tiang Api itu merupakan simbol penting Roh Kudus yang menuntun umat pilihan Allah ke tempat yang dijanjikan bagi mereka. Roh Kudus yang dijanjikan Tuhan Yesus sebagai Paraclitus akan mengajar dan mengingatkan segala sesuatu (Yoh 14:26). Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa Yesus akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api (Mat 3:11-12; Luk 3:16-17). Dalam Kisah Para Rasul, Roh Kudus nampak dalam ‘lidah-lidah seperti nyalah api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing’ (Kis 2:3). Ini menunjukkan bahwa Allah hadir di tengah umat-Nya untuk memurnikan dan menguduskan mereka. Artinya bahwa dosa-dosa manusia dihapus oleh Tuhan dan manusia menjadi kudus dan berkenan kepada Allah.

Pada hari ini kita mendengar Tuhan Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan, api itu telah menyala!” (Luk 12:49). Tuhan Yesus datang ke bumi untuk melakukan kehendak Bapa yakni memurnikan dan menguduskan manusia supaya layak di hadirat Tuhan Allah Bapa. Manusia yang berdosa dikuduskan-Nya sebab Ia sendiri tidak menghitung dosa-dosa. Ia bahkan memberikan Roh Kudus-Nya, laksana api yang selalu menyala. Untuk menguduskan manusia maka Yesus menerima baptisan yakni kemartiran-Nya. Ia menumpahkan darah di kayu salib untuk menyelamatkan dunia. Tentu saja semua ini menunjukkan kesetiaan Tuhan terhadap manusia. Bedanya adalah manusia itu susah untuk menjadi pribadi yang setia. Hal yang sungguh terjadi adalah tindakan-tindakan melawan kekudusan, misalnya tidak ada damai dan pertentangan di dalam keluarga. Ketika tidak ada damai dalam keluarga maka pertentangan menjadi jawabannya. Tetapi apa untungnya kita bertentangan dan tidak mau berdamai? Tuhan Yesus memberikan Roh Kudus-Nya untuk menguatkan dan menguduskan hidup kita.

Tuhan Yesus mengurbankan diri-Nya untuk keselamatan kita semua. Manusia diselamatkan dari dosa dan salah yang dilakukan sadar atau tidak sadar. Dosa-dosa yang selalu diulangi manusia adalah menyerahkan anggota-anggota tubuh, menjadi hamba, menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan. Tuhan melalui Santu Paulus menghendaki supaya saat ini kita menyerahkan anggota-anggota tubuh dan menjadi hamba kebenaran yang membawa kepada kekudusan. Lebih lanjut St. Paulus mengatakan bahwa sekarang kita sudah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba Allah. Kita menjadi Hamba Allah yang hidup saat ini karena anugerah Roh Kudus.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply