Homili 13 November 2019

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXXII
Keb. 6:1-11
Mzm. 82:3-4,6-7
Luk. 17:11-19

Kerahiman Allah sungguh menyelamatkan

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang umat yang dikenal di dalam keluarganya sebagai pelanggan tetap Rumah Sakit. Label ini memang sengaja diberikan kepadanya sebab ia sering sakit-sakitan dan harus diopname atau rawat inap di Rumah Sakit. Dia sendiri merasa aneh sebab penyakit apa saja dapat menyerangnya sehingga kamarnya pun kelihatan seperti gudang obat-obatan berskala kecil. Hanya saja ia selalu bersyukur karena Tuhan Allah sungguh Maharahim sehingga tetap memberi kesempatan kepadanya untuk hidup. Ia mengatakan bahwa semakin sering menginap di Rumah Sakit, rasanya usianya makin panjang sebab Tuhan mengasihinya apa adanya dan bahwa kerahiman Tuhan Allah sungguh menyelamatkannya. Sharing sederhana ini sangat menguatkan sebab biasanya orang-orang yang sering sakit-sakitan itu cenderung menjauh dari Tuhan. Ada saja perasaan bahwa Tuhan tidak mengasihi mereka sehingga memberikan penyakit-penyakit tertentu yang sedang mereka alami. Namun umat ini menerima hidup dan segala penyakit yang dideritanya dan masih percaya pada kerahiman Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Tuhan Yesus Kristus sedang melanjutkan perjalanan-Nya ke Yerusalem untuk menyelamatkan manusia. Ia melewati kota-kota Samaria dan Galilea sebelum sampai ke Yerusalem. Sebagaimana kita ketahui bahwa relasi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Samaria saat itu tidaklah baik. Sebab itu Yesus sendiri pernah mengalami penolakan di beberapa tempat di Samaria yang akan dilewati-Nya ke Yerusalem. Namun Yesus tidak putus asa dengan adanya penolakan ini. Ia tetap berani untuk berjalan sambil berbuat baik sebelum tiba di Yerusalem.

Dikisahkan bahwa ketika memasuki sebuah desa, ada sepuluh orang kusta yang datang untuk menemui-Nya. Sikap dan gerak tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka sangat membutuhkan Yesus di dalam hidupnya meskipun masih berdiri agak jauh. Mereka tidak berdialog dengan suara yang normal tetapi berteriak dengan suara nyaring: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Luk 17:13). Yesus tidak langsung mengatakan ‘sembuhlah’ atau ‘terimalah obat-obatan ini’ tetapi mengingatkan mereka untuk pergi dan menunjukkan dirinya kepada imam. Mungkin kita bertanya, ‘apa gunanya orang-orang kusta ini harus menunjukkan dirinya kepada imam?’

Pada zaman dahulu, orang-orang kusta itu dianggap oleh orang-orang Yahudi sebagai najis atau kotor. Mereka dikucilkan sehingga hidup menyendiri di kebun, gua atau gunung. Artinya mereka memang tidak diperkenankan untuk bergabung dengan umat lain di dalam Sinagoga untuk berdoa. Kalau orang kusta itu melewati jalan raya, diharuskan berpakaian compang-camping, rambut tidak terurus dan harus berteriak ‘saya orang kusta’ supaya orang-orang sehat cepat menghindar. Itu sebabnya mereka ‘berdiri agak jauh’ dan hanya berteriak kepada Yesus sambil memohon kerahiman Yesus. Mereka tidak berani mendekati Yesus dan menjabat tangan-Nya. Mereka tahu diri bahwa mereka najis dan butuh pemurnian dari Yesus. Perintah Yesus supaya mereka menunjuk diri kepada imam ini penting, supaya mereka yang selama ini dikucilkan karena dianggap najis dapat kembali bergabung dengan umat yang lain di Sinagoga untuk beribadah.

Sabda Yesus menunjukkan kerahiman Tuhan Allah yang menyembuhkan. Hal ini dirasakan kesepuluh orang kusta dalam perjalanan untuk menunjuk diri kepada imam bahwa mereka tidak najis lagi. Mereka sadar bahwa penyakit kusta yang menggerogoti tubuh mereka sudah menghilang. Mereka sembuh total karena kuasa Sabda Yesus. Sembilan orang kusta merupakan orang Yahudi meneruskan perjalanan mereka untuk menunjuk diri pada imam bahwa mereka disembuhkan Yesus, tanpa sibuk-sibuk untuk bersyukur. Hanya satu-satunya orang kusta dari Samaria yang kembali untuk bersyukur atas kesembuhannya. Orang Samaria ini menunjukkan kerendahan hatinya di hadapan Yesus. Ia merasakan kerahiman Allah dan memuliakan Allah dengan penuh rasa syukur. Ia tersungkur di depan kaki Yesus dan bersyukur karena kerahiman Allah yang menyembuhkannya melalui Yesus Kristus. Orang Samaria ini juga sembuh sebab ia beriman kepada Yesus. Ia percaya bahwa Yesus akan menunjukkan kerahiman kepadanya.

Ada beberapa hal penting yang patut kita ambil sebagai buah-buah rohani bagi kita pada hari ini. Pertama, Yesus sungguh-sungguh menunjukkan wajah kerahiman Allah yang menyelamatkan. Ia tidak peduli orang apakah yang hendak diselamatkan-Nya. Manusia boleh menghindar karena penyakit kusta, namun Yesus masih punya waktu untuk menyapa, memandang dan menyembuhkan. Kita butuh Yesus untuk menjadikan kita serupa dengan-Nya dalam melayani. Kedua, Rasa syukur itu harus diungkapkan bukan untuk dimuseumkan. Betapa susahnya orang mengucapkan kata terima kasih setelah menerima bantuan orang lain. Mari membiasakan diri untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan dan sesama. Ketiga, Butuh iman kepada Yesus. Orang-orang kusta ini percaya bahwa Tuhan Yesus pasti menyembuhkan mereka. Tuhan melakukannya dengan sempurna. Hanya saja rasa syukur datang dari orang asing.

Kisah sepuluh orang kusta mewakili anda, saya dan kita. Banyak kali kita lupa untuk memohon kerahiman Allah melalui Yesus Kristus, padahal kita ini orang berdosa melebihi kesepuluh orang kusta. Orang-orang yang terbiasa hidup dalam dosa selalu mengalami kesulitan untuk memohon kerahiman Tuhan. Sakramen tobat seolah-olah tidak berguna bagi mereka. Rasa bersalah pun menghilang. Kita memiliki kebiasaan untuk lupa bersyukur. Kita menerima semua dari Tuhan gratis namun kadang-kadang rasa syukur tidak terungkap dan terucap sama sekali. Ini tanda bahwa kita belum beriman kepada Tuhan secara radikal. Mari kita memohon seperti para rasul memohon: “Tuhan tambahlah iman kami”. Saya percaya Tuhan pasti menambah iman kita, menyembuhkan kita semua karena kasih dan kerahiman-Nya tiada batasnya bagi kita semua.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply