Homili 22 November 2019

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXIII
Peringatan Wajib St. Sesilia
1Mak. 4:36-37,52-59
MT 1Taw. 29:10,11abc,11d-a2a,12bcd
Luk. 19:45-48

Betapa Indah rumah-Mu Tuhan

Banyak di antara kita pasti mengingat sebuah lagu dalam buku nyanyian Gereja yakni Madah Bakti dan Puji Syukur. Lagu yang saya maksudkan adalah ‘Betapa Indah rumah-Mu Tuhan’ dan ‘Sungguhlah Indah rumah-Mu Tuhan’. Lagunya sama tetapi berada di dalam dua buku yang berbeda. Lagu ini memiliki syair yang sederhana: “Sungguhlah indah rumah-Mu Tuhan, Raja alam raya. Burung pipit serta layang-layang, Dikau beri sarang. Alangkah ‘ku rindu, tinggal di rumah-Mu. Sorak dan sorai bagi-Mu”.

Sambil mengingat kembali syair lagu ini, pikiran kita tertuju pertama-tama kepada keindahan rumah Tuhan. Penginjil Lukas bersaksi: “Ketika beberapa orang berbicara tentang Bait Allah dan mengagumi bangunan itu yang dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan, berkatalah Yesus: “Apa yang kamu lihat di situ akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.” (Luk 21:5-6). Perkataan Yesus ini terbukti jelas ketika pada tahun 70M, orang-orang Romawi masuk dan menghancurkan kita Yerusalem. Bait Allah pun hancur berantakan. Bait Allah menjadi tempat di mana Yesus mengajar dan banyak orang datang untuk mendengarkan-Nya. Sayang sekali sebab Bait Allah juga dijadikan tempat untuk berjualan sehingga menimbulkan kemarahan Yesus.

Penginjil Lukas bersaksi tentang bagaimana Yesus menyucikan bait Allah. Inilah kesaksiannya: “Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Luk 19:45-46). Pada zaman dahulu, orang tidak merasa bersalah untuk berbisinis di dalam Bait Allah. Hanya Yesus saja yang berani mengusir semua pedagang di sana. Lalu bagaimana saat ini? Paus Fransiskus sangat lantang ketika mengatakan bahwa mengubah Gereja menjadi bisnis itu sebuah skandal. Paus Fransiskus mengatakan: “Saya memikirkan bagaimana sikap kita bisa membuat skandal dengan kebiasaan yang tidak imami di Bait Allah: skandal melakukan bisnis, skandal keduniawian.” Beliau mengamati berapa banyak paroki memiliki daftar harga yang tersedia untuk pembaptisan, berkat dan intensi misa. Kritik Paus Fransiskus ini ada benarnya. Banyak sekali iuran-iuran yang memberatkan umat.

Memang kalau berbicara tentang uang itu hal yang sangat sensitif di dalam Gereja. Kita tidak dapat menutup mata terhadap praktik-praktik yang tidak lumrah di dalam Gereja. Ada kasus-kasus korupsi yang menimpah para pastor juga biarawan dan biarawati. Rumusannya memang sederhana saja: ketika seorang imam dan biarawan serta biarawati tidak setia dalam menghayati kaul-kaul kebiaraannya maka mudah sekali ia goyah. Kalau dia tidak taat maka dia mudah memiliki masalah dengan kemiskinan dan kemurnian. Kalau dia tidak hidup miskin berarti dia punya masalah dengan ketaatan dan kemurnian. Kalau dia tidak setia dalam hidup selibatnya, ini karena dia tidak taat dan tidak hidup miskin. Hal-hal ini selalu terjadi di dalam Gereja dan komunitas-komunitas hidup religius.

Tentu bukan hanya para gembala yang menjadi sorotan. Umat juga dapat mencuri uang kolekte di dalam gereja, dengan cara-caranya sendiri. Banyak staf di kantor paroki yang suka pungutan liar Tanpa sepengetahuan pastor parokinya. Banyak kasus korupsi kolekte umat dalam jumlah yang besar. Semua skandal ini terjadi di dalam gereja masa kini. Maka kalau saja Yesus hidup saat ini maka Ia juga akan marah besar terhadap para gembala dan umatnya.

St. Paulus membuka mata kita untuk tidak hanya mengerti Bait Allah dalam konteks bangunan yang terbuat dari Batu. Baginya, kitalah bait Allah itu sendiri. Ia mengatakan: “Tubuhmu adalah Bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu” (1Kor 6:19). Tubuh kita sebagai tempat tinggal Roh Kudus mengandaikan bahwa finalitas kita adalah kekudusan. Melalui sakramen pembaptisan kita menjadi kudus dan layak di hadirat Tuhan. Sebab itu kita perlu menjaga diri kita supaya hidup dalam kekudusan.

Apakah kita menyadari bahwa tubuh kita ini tempat tinggal Roh Kudus? Apakah kita menyadari bahwa tubuh kita ini bernilai? Banyak orang lupa bahwa tubuh ini bernilai maka mereka tidak memperhatikannya dan juga tidak memperhatikan sesamanya. Nafsu-nafsu manusiawi telah menguasai hidunya. Lihat saja dalam masyarakat kita: tidak ada penghargaan terhadap martabat manusia. Banyak anak perempuan dan laki-laki yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Anak-anak perempuan hamil di luar nikah. Poligami dan poliandri yang dianggap biasa-biasa saja. Banyak bayi yang dibuang di tempat sampah akibat aib dalam keluarga. Semua ini menandakan betapa dunia kita berubah drastis sehingga nilai-nilai luhur manusiawi kita perlahan lenyap.

Pada hari ini kita patur memohon pertolongan Tuhan melalui perantaraan santa Sesilia. Dia sudah memiliki komitmen untuk menjaga kekudusan tubuhnya di hadapan Valerianus. Kisah heroik tentang Santa Sesilia ini menerangi hidup kita supaya tetap mawas diri dan berprinsip untuk memegang janji suci kepada Tuhan. Valerianus saja akhirnya percaya kepada kekudusan St. Sesilia. Kita memohon supaya Santa Sesilia menerangi hidup semua orang untuk menghargai nilai kekudusan tubuh manusia. Tubuh kita dalah tempat tinggal Roh Kudus. Tempat bersemayam Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dialah Allah yang selalu kita sapa dalam hidup kita ketika berdoa.

St. Sesilia, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply