Memaknai Natal 25 Desember 2019

Untukmu Segalanya

Banyak di antara kita tentu masih mengingat seorang artis Indonesia bernama Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking atau lebih dikenal dengan nama panggilan Novia Kolopaking. Beliau adalah pasangan hidup dari seniman Emha Ainun Nadjib. Pada tahun 1994 yang lalu ia mempopulerkan sebuah lagu berjudul ‘Untukmu Segalanya’. Lagu itu sangat populer di berbagai lapisan masyarakat kita. Berikut ini adalah sebagian liriknya: “Untukmu segalanya hidupku ini. Untukmu aku rela jalani semua dera dan siksa. Untukmu segalanya…” Saya tertarik dengan lirik lagu yang saya kutip ini karena sangat inspiratif. Ketika seorang merasa sangat mencintai pribadi orang lainnya maka ia akan mengungkapkan cintanya ini dengan berkata, “Untukmu segalanya hidupku ini…” Ini adalah sebuah cinta yang tuntas, tanpa ada sisa-sisanya. Ada kerelaan untuk menderita karena dera dan siksa namun semuanya harus berlanjut karena cinta. Sebuah cinta yang tulus, tanpa pamrih, tanpa hitungan-hitungan apapun.

Sambil mengingat dan mengenang lagu ‘Untukmu Segalanya’ ini, pikiran saya tertuju pertama-tama kepada Tuhan Allah Bapa di dalam surga yang begitu mengasihi manusia tanpa menghitung-hitung kesalahan dan dosanya. Ia bahkan telah mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk menjadi tanda kasih. Selanjutnya pikiran saya tertuju kepada Tuhan Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat kita, tidak ada yang lain. Dialah yang kita rayakan kedatangan-Nya secara meriah pada Hari Raya Natal. Dialah damai kita sebab hanya Dia pulalah yang dapat mendamaikan kita dengan Bapa surgawi. Maka wajarlah Dia disapa sebagai ‘Raja Damai’ di masa Natal. ‘Untukmu segalanya’ juga menjadi nyata di dalam perayaan Ekaristi, di mana kita selalu berdoa kepada Tuhan Yesus: “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa-dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu…” Tuhan Yesus tidak memperhitungkan dosa dan salah kita sebab ia memberi segalanya bagi kita orang berdosa. Hidup-Nya hanya bagi manusia. Hidup pribadi Yesus inilah yang mampu menginspirasi kita untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya. Pikiran saya akhirnya tertuju kepada Roh Kudus yang menguduskan, menginspirasi dan membaharui serta menguatkan kita. Dialah yang mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu yang sudah diajarkan Yesus kepada kita.

Sambil Belajar

Untukmu segalanya hidupku ini! Saya menemukan figur-figur tertentu yang dapat menginspirasikan kita supaya memiliki semangat untuk mengabdi kepada kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan Tuhan Yesus Kristus. Dia datang ke dunia untuk mengabdi dan melayani manusia. Ini memang luar biasa karena Anak Allah telah merelakan diri untuk menjadi seorang Abdi dan Pelayan tulen bagi manusia. Maka boleh dikatakan bahwa dibalik sukacita Natal ada sosok seorang Abdi dan Pelayan sejati yaitu Yesus Kristus, sabda Allah yang menjadi manusia dan tinggal bersama kita.

Berkaitan dengan perutusan Yesus ke dunia, saya memilih dua sosok penting yakni santa Theresia dari Kalkuta, T. Raja Auto Raja. Kedua sosok ini sangat inspiratif sebab mereka dapat membantu kita untuk memaknai sebuah pengabdian dan pelayanan bagi sesama. Mereka memikirkan bagaimana memberi diri dan segalanya sebagaimana dilakukan Tuhan Yesus sendiri.

Santa Theresia dari Kalkuta

Santa Theresia dari Kalkuta muncul sebagai figur yang mengubah dunia. Ia pernah berkata: “Menurut darah, saya seorang Albania. Menurut kewarganegaraan, saya seorang India. Menurut iman, saya seorang biarawati Katolik. Menurut panggilan, saya milik dunia. Sementara hati saya, sepenuhnya saya milik Hati Yesus.” Perkataan sederhana ini meringkaskan kehidupannya yang memberi dirinya sampai tuntas bagi orang-orang miskin di Kalkuta. Ia meninggalkan negerinya menuju Kalkuta, India pada tanggal 6 Januari 1929. Dikisahkan bahwa pada tanggal 10 September 1946, ia melakukan sebuah perjalanan dengan kereta api dari Kalkuta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunannya. Pada saat itu ibu Theresia mendapat “inspirasi” yakni “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang tidak pernah dapat dijelaskannya, dahaga Yesus akan cinta dan akan jiwa-jiwa memenuhi hatinya. “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku.” Sejak itu, Ibu Teresa dipenuhi hasrat “untuk memuaskan dahaga Yesus yang tersalib akan cinta dan akan jiwa-jiwa” dengan “berkarya demi keselamatan dan kekudusan orang-orang termiskin dari yang miskin”. Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ibu Theresia tampil mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis warna biru. Ia keluar melewati gerbang Biara Loreto yang amat dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin.

Santa Theresia dari Kalkuta mengispirasikan kita untuk menjadi pribadi yang siap untuk mengabdikan diri bagi orang lain. Ia membuktikannya dengan melayani kaum miskin sampai wafat di tengah-tengah mereka pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam. Prinsip pelayanannya sangat sederhana: “Tak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Namun kita dapat melakukan hal kecil dengan cinta yang besar.” Ia benar-benar menyerupai Tuhan Yesus yang mengabdikan diri-Nya bagi kaum papa dan miskin. Semangat Santa Theresia dari Kalkuta haruslah menjadi semangat kita semua sebagai Gereja. Sebuah Gereja yang mengabdikan diri bagi kemanusiaan. Gereja yang tetap berpegang teguh pada semangat ‘pereferential option for the poor.’

T. Raja Auto Raja

Figur kedua adalah T Raja Auto Raja. Beliau adalah pendiri New Ark of Mission di India yang memiliki misi untuk membantu kaum papa dan miskin. Ia mengawali hidupnya dengan sangat dramatis. Ia dikenal sebagai pemabuk, pencuri dan pengacau akibat bentukan lingkungan hidupnya, dalam hal ini teman sebayanya yang memiliki ‘profesi’ seperti ini. Ia pernah dipenjarakan dan selama dua puluh hari ia merasakan hidup yang keras di sana. Pengalaman di dalam penjara ini mengubah hidupnya. Ia berjanji kepada Tuhan bahwa segera setelah keluar dari dalam penjara, ia akan berusaha untuk menjadi orang baik di Bangaluru, India. Ia mula-mula bekerja sebagai sopir bajaj di Bangaluru. Setiap kali melakukan perjalanan, ia melihat betapa banyak orang miskin, terutama yang berusia muda. Ia lalu memutuskan untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat persinggahan. Ia menampung orang-orang miskin dengan sukarela. Kelak ia dikenal sebagai pendiri rumah pengharapan bagi mereka yang tak berpengharapan di Bangaluru, India.

Pada suatu kesempatan ia mendapat penghargaan karena pengabdiannya kepada kaum miskin melalui karya-karya sosialnya. Dalam kesaksiannya di sebuah stasiun Televisi, beliau mengatakan bahwa melayani orang miskin adalah sebuah panggilan yang luhur. Ia telah berusaha untuk membantu kaum miskin supaya sebelum mereka meninggal dunia, sekurang-kurangnya mereka sudah pernah meminum dan merasakan pepsi, cocacola, spirite dan 7up. T. Raja mengakui bahwa sosok inspirator baginya adalah Tuhan Yesus Kristus dan Ibu Theresia dari Kalkuta. Lihatlah, sorang mantan penghuni Lapas telah mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Ia melayani kaum miskin dari hasil menjalani sebuah Bajaj dan inspiratornya adalah Tuhan Yesus dan Bunda Theresia. T. Raja adalah sosok yang mengubah dunia dengan hidupnya yang nyata, jujur dan rela berkorban bagi kemanusiaan. Dalam kacamata Kristiani, T Raja adalah seorang yang melakukan dan menghayati nilai-nilai Injili. Dari T. Raja kita belajar bahwa masing-masing orang memiliki masa lalu yang gelap, namun Tuhan yang berkehendak supaya orang menjadi terang bagi sesamanya.

Santa Theresia dari Kalkuta dan T. Raja Auto Raja merupakan dua orang yang membuktikan keindahan sebuah pelayanan dalam nama Tuhan. Kita pun dipanggil untuk mengabdi kepada kemanusiaan dengan membagi waktu, bakat dan kemampuan untuk kebaikan mereka. Kita butuh figur St. Theresia dari Kalkuta yang membaktikan dirinya bagi kaum miskin di Kalkuta dan quality time seperti T. Raja untuk selalu bersama 700 anak di rumah pengharapannya. Merekalah guru kehidupan dari banyak guru kehidupan kita di zaman ini.

Yesus adalah modelnya

Untukmu segalanya dalam hidup ini. Sosok atau model yang paling tepat bagi kita untuk memberi diri sampai tuntas adalah Tuhan Yesus sendiri. Penginjil Yohanes dengan tepat mengatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17). Misi utama Yesus ke dunia adalah mengabdi kemanusiaan. Ia tidak datang untuk menghakimi melainkan menyelamatkan. Kehadiran Yesus di dunia semata-mata untuk menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa.

Wujud kerahiman Allah Bapa di dalam diri Yesus berkaitan dengan Natal dapat kita renungkan dalam peristiwa kelahiran hingga wafat-Nya. ‘Tidak ada tempat bagi mereka untuk menginap’. Ini adalah kata-kata Injil yang selama ini kita dengar dan tahu. Maria dan Yusuf taat pada kehendak Bapa sehingga mereka tidak menuntut tetapi menerima kenyataan. Peristiwa Bethlehem lalu di pandang sebagai awal sukacita tetapi juga menjadi awal dukacita. Peristiwa Bethlehem membuka jalan menuju Kalvari di mana Yesus menderita dan wafat untuk menyelamatkan manusia. Maria dan Yusuf adalah saksi semuanya ini. Mereka menyimpan segalanya dalam bathin dan mendoakan keselamatan manusia melalui Yesus Putera mereka. Peristiwa Yesus, yakni lahir, hidup, menderita dan wafat karena keselamatan kita. Ini adalah tanda pengabdian Yesus bagi manusia. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang memberi diri-Nya dengan sukacita.

Bagaimana dengan kita?

Kita memandang Yesus dan mengagumi-Nya serta berkata: “Untuk-Mu segalanya hidupku!” Dia sendiri mengabdikan diri-Nya bagi kita maka kita juga membalasnya dengan mengabdikan diri sampai tuntas hanya bagi-Nya. Apa yang harus kita perbuat? Kita berusaha untuk menjadi serupa dengan-Nya dalam segala hal. Ia lahir di Bethlehem sebagai bayi nan mungil. Ia bertumbuh menjadi dewasa, menderita, wafat dan bangkit dengan mulia. Iman kita kepada Yesus hendaknya sejalan dengan hidup Yesus. Kita tidak mengimani Yesus hanya sebatas seorang bayi yang lemah. Kita mengimani Yesus yang pernah menjadi bayi dan bertumbuh menjadi dewasa. Iman kita harus menjadi iman yang dewasa bukan kekanak-kanakan atau iman seorang bayi yang lemah. Kita harus berani berkata: “Untuk-Mu aku rela jalani semua dera dan siksa.” Kata-kata ini benar-benar menunjukkan sebuah pengabdian hingga tuntas.

Mari kita menjadi abdi bagi kemanusiaan sebagaimana Tuhan Yesus teladani bagi kita semua. “Untukmu segalanya hidupku ini. Untukmu aku rela jalani semua dera dan siksa. Untukmu segalanya…” Selamat merayakan Natal 25 Desember 2019 dan bahagia Tahun baru 1 Januari 2020.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply