Homili 17 Maret 2020

Hari Selasa, Pekan III Prapaskah
T.Dan. 3:25,34-43
Mzm. 25:4bc-5ab,6-7bc,8-9
Mat. 18:21-35

Saya siap mengampuni!

Saya pernah diundang untuk duduk bersama dua buah keluarga yang sedang mengalami kesulitan dalam membangun relasi antar pribadi sebagai saudara. Hanya gara-gara warisan yang ditinggalkan orang tua maka kedua bersaudara ini saling berebut harta. Kita dapat membayangkan suasana keluarga itu seperti benang kusut. Mereka yang bersaudara adalah kedua bapak, tetapi ketika istri dan anak-anak ikut membuka mulut karena merasa sebagai bagian dari keluarga maka suasananya berubah total. Saudara kandung berubah menjadi musuh. Mereka masing-masing mulai lupa akan perbuatan baik yang sudah sedang mereka lakukan dan hanya menghitung kejahatan seperti umpatan dan lain sebagainya. Namun suasana ini perlahan-lahan cair ketika salah seorang saudara membuka peluang untuk duduk bersama di sebuah tempat yang netral. Kedua bersaudara berkesempatan menyampaikan unek-uneknya, tanpa perlu melibatkan istri dan anak-anak hingga semuanya perlahan-lahan menjadi jelas. Pada akhirnya saudara yang bungsu berani mengatakan: “Saya siap untuk mengampunimu!”

Saya kagum ketika mendengar perkataan: “Saya siap untuk mengampuni”. Ungkapan ini merupakan sebuah harapan sekaligus pertanda bahwa suasana benang kusut dalam relasi persaudaraan mereka akan segera berakhir. Rasa benci akan hancur dan yang ada hanyalah kasih dan damai. Memang mengampuni itu berarti melupakan segala yang sudah terjadi. Tuhan saja berani melupakan dosa dan salah yang sudah terjadi dan membiarkan manusia memiliki martabat sebagai anak-anak Allah. Saya teringat pada Corrie ten Boom (1892 – 1983) yang berkata: “Pengampunan adalah kunci yang membuka pintu kebencian dan belenggu kebencian. Pengampunan adalah kekuatan yang memecah rantai kepahitan dan belenggu keegoisan”. Pengampunan selalu berhubungan dengan kasih. Sikap mengampuni ini berasal dari Tuhan sendiri yang setia mengampuni manusia. Dalam suasana apa saja kasih dan pengampunan harus berjalan bersama. Martin Luther King, Jr. ( 1929 – April 4, 1968) pernah berkata: “Kita harus mengembangkan dan memelihara kemampuan mengampuni. Ia yang tidak memiliki kekuatan untuk mengampuni tidak mempunyai kekuatan untuk mengasihi”. Kita mengampuni seperti Tuhan mengampuni kita tanpa batas, hanya dengan demikian kita dapat hidup sebagai manusia bebas. Max Lucado pernah berkata: “Aku memilih damai, aku akan mengidupi pengampunan. Aku akan mengampuni sehingga aku boleh hidup”.

Masa prapaskah merupakan sebuah kesempatan bagi kita untuk belajar mengampuni sebab kita juga selalu diampuni oleh Tuhan. Kita memandang Yesus yang siap menderita dan dalam penderitaan-Nya itu Ia masih menunjukkan semangat untuk mengampuni. Dari atas kayu salib, Yesus masih berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Yesus menjadi panutan dalam perkataan dan tindakan-Nya.

Dari bacaan Injil hari ini kita mendengar Petrus mewakili Gereja, datang kepada Yesus dan berkata kepada-Nya: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat 18:21). Petrus berpikir bahwa hal mengampuni ini sangat matematis. Ketika mencapai angka-angka tertentu seperti anka tujuh maka cukuplah. Sikap Petrus adalah juga sikap kita saat ini yang selalu menghitung-hitung kebaikan-kebaikan kita kepada Tuhan dan sesama dan lupa menghitung kejahatan-kejahatan kita di hadapan Tuhan dan kepada sesama. Kita selalu mengingat kesalahan orang lain dan lupa bahwa kita juga orang bersalah. Yesus membuka pikiran Petrus dan kita semua ketika berkata: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat 18:22). Semangat mengampuni dari Tuhan Yesus itu tanpa batas, tanpa hitung-hitungan. Kalau mengampuni harus sepenuh hati bukan hanya sekedar merangkai kata-kata pengampunan dan berjabat tangan. Urusan hati itu menentukan kualitas pengampunan kita.

Tuhan mengampuni kita tanpa batas padahal kita memiliki kebiasaan mengulangi dosa yang sama. Nabi Mikha pernah berkata: “Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.” (Mi 7:9). Dengan ketulusan Raja Daud kitab oleh berkata kepada Tuhan: “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. (Mzm 32:5). Dan benarlah perkataan Tuhan melalui nabi Yesaya yang menunjukkan pengampunan Tuhan tanpa batas: “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yes 1:18). Kita patut bersyukur karena pengampunan Tuhan tiada batasnya bagi kita semua.

Apakah kita siap mengampuni di saat-saat sulit sekalipun? Tuhan masih memberi kesempatan kepada kita untuk mengampuni tanpa batas. Kita mengampuni tanpa menghitung besarnya kesalahan yang sudah orang lakukan kepada kita. Kalau kita tidak mampu mengampuni sesama maka perkataan Tuhan Yesus akan terlaksana dalam diri kita: “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (Mat 18:32-35).

Masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk merenung lebih dalam lagi perkataan Tuhan Yesus ini dan melakukannya di dalam hidup kita: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:14-15). Dengan lapang dada kita berdoa: “Tuhan ampunilah kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Mat 6:12).

Saya menutup homili ini dengan mengutip syair lagu lama yang tetap inspiratif bagi kita: “Mengampuni, mengampuni lebih sungguh. Mengampuni, mengampuni lebih sungguh. Tuhan lebih dulu mengampuni kepadaku. Mengampuni, mengampuni lebih sungguh.”

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply