HARI MINGGU PASKAH III/A
Kis. 2:14,22-33
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11
1Ptr. 1:17-21
Luk. 24:13-35
Merenung Misericordias Domini
Kita mengawali perayaan Ekaristi di Hari Minggu Paskah ke-III/A atau yang dikenal dengan sebutan Hari Minggu Misericordias Domini atau Hari Minggu kasih setia Tuhan, dengan sebuah Antifon Pembuka yang inspiratif: “Bersorak-sorailah bagi Allah, hai seluruh bumi, mazmurkanlah kemuliaan nama-Nya, muliakanlah Dia dengan puji-pujian!” (Mzm 65:1-2). Masa Paskah sesungguhnya menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin akrab dan bersahabat dengan Tuhan sebab kekal abadi kasih setia-Nya bagi kita. Saya mengingat Raja Daud yang pernah berdoa begini: “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Mzm 118:29). Kita bergembira, bersorak sorai dan bersyukur kepada Tuhan Allah sebab kasih setia-Nya abadi bagi kita. Kita memuliakan-Nya dengan lagu pujian karena Ia mengasihi kita tiada batasnya, dan Ia setia selamanya meskipun kita ini orang berdosa yang tidak setia. Kasih setia Tuhan mengalahkan segala yang jahat.
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu ini turut membuka wawasan kita untuk mengenal Allah yang kasih setia-Nya melingkupi kita semua. St. Petrus menunjukkan kualitas kasih setia Tuhan kepada orang-orang di Yerusalem pada hari Raya Pentekosta. Keytika itu, ia berbicara dengan suara nyaring tentang Yesus dari Nazaret. Dia telah ditentukan Allah dan dinyatakan kepada bangsa Yahudi dengan kekuatan, mukjizat, dan tanda-tanda yang dilakukan Allah dengan pengantaraan-Nya. Namun Yesus sendiri telah disalibkan dan dibunuh oleh kaum durhaka. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Petrus melanjutkan kesaksiannya dengan mengatakan bahwa Allah sendiri telah membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Tentang kebangkitan Yesus ini, Petrus mengakui bahwa dirinya bersama teman-temannya adalah saksi mata. Di sini, sebenarnya Petrus hendak menekankan bahwa kualitas kasih setia Tuhan Yesus ada dalam kerendahan hati-Nya dan kerelaan-Nya untuk menderita, bahkan menyerahkan nyawa untuk keselamatan dunia. Ini merupakan kasih setia yang benar.
Perkataan Petrus dalam Kisah Para Rasul ini diperkuat lagi dalam pengajaran di komunitasnya. Petrus mengatakan bahwa Allah adalah Bapa yang menghakimi semua orang menurut perbuatannya, tanpa memandang muka. Dia hakim yang adil bagi manusia. Selama hidup di dunia ini manusia butuh ketakwaan kepada Tuhan. Untuk itu Petrus mengingatkan komunitasnya begini: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1Ptr 1:18-19). Sekali lagi, kasih setia Tuhan ditandai dengan semangat pengorbanan diri hingga kematian Yesus sendiri di kayu salib. Hanya melalui Yesus Kristus, kita percaya kepada Allah yang telah membangkitkan-Nya dari antara orang mati, dan yang telah memuliakan-Nya sehingga iman dan pengharapan kita tertuju kepada Allah.
Sosok Petrus dalam kedua bacaan ini mendorong kita untuk bertumbuh sebagai pribadi yang tahan banting, rela berkorban dalam segala situasi demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa. Mengapa? Karena Tuhan Yesus sendiri melakukannya dengan menumpahkan darah-Nya yang mulia dan mahal. Namun karena cintanya akan manusia yang berdosa maka Dia melakukannya dengan setia sampai tuntas. Kasih setia itu sebuah pengorbanana yang berujung kematian. Tuhan Yesus adalah teladan hidup kita.
Bagaimana cara Yesus menunjukkan kasih setia Tuhan kepada manusia?
Tuhan Yesus selalu siap untuk mendampingi orang-orang yang sedang remuk redam, menderita, kehilangan harapan seperti Kleofas dan temannya yang sedang dalam perjalanan ke Emaus. Tuhan Yesus berjalan bersama, sekaligus mendampingi mereka melalui Sabda dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Torah dan Kitab Para Nabi. Dia berbicara dengan kasih sehingga membuat Klepoas dan temannya yang tadi masih dalam kebingungan kini menjadi seperti mengalami terang benderang. Hati mereka bahkan berkobar-kobar ketika mendengar perkataan Tuhan Yesus selama perjalanan bersama. Kasih setia Tuhan ditandai dengan semangat untuk mendampingi dan menerangkan isi Kitab Suci kepada mereka. Harus diingat bahwa Emaus itu di pegunungan maka mereka harus melewati bukit dan lembah sambil mendengar isi Kitab Suci tentang Mesias.
Di samping isi Kitab Suci yang dijelaskan sendiri oleh Yesus, Ia juga diundang untuk masuk ke dalam rumah tinggal mereka di Emaus sebab hari sudah malam. Ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk berekaristi bersama mereka. Pada saat itu Yesus mengambil roti, memberkatinya dan memberikannya kepada Kleofas dan temannya. Ini menjadi momen yang sangat berharga. Di katakan bahwa momennya sangat berharga sebab saat itu mata mereka terbuka dan mengenal Yesus. Ia menghilang dari mata manusiawi mereka. Mereka segera kembali ke Yerusalem dan mewartakan kebangkitan Kristus di tengah saudara-saudara mereka.
Kisah Injil ini menggambarkan hidup anda dan saya. Masing-masing kita memiliki masalah-masalah kehidupan, beban-beban, sakit dan penyakit. Covid-19 adalah salah satu beban hidup kita saat ini. Nah, disaat seperti ini kita harus jujur dan mengatakan kepada Tuhan bahwa kita butuh pendampingan-Nya. Kita butuh sabda-Nya untuk menghidupkan dan menguatkan, kita juga membutuhkan Ekaristi untuk mengubah hidup kita secara radikal. Kita butuh Ekaristi untuk lebih mengenal lagi Tuhan Yesus yang hadir, tersamar dalam Ekaristi kudus.
Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip lagu dari St. Thomas Aquinas yakni Adoro te devote: “Allah yang tersamar, Dikau kusembah, sungguh tersembunyi, roti wujudnya. S’luruh hati hamba tunduk berserah, ‘Ku memandang Dikau, hampa lainnya. Pandang, raba, rasa, tidaklah benar, ‘ku percaya hanya yang t’lah kudengar. S’luruh sabda dari Putera Allah, sungguh tak bertara kebenarannya.” Kita bersyukur kepada Tuhan atas kasih setia-Nya kepada kita. Kita mengulangi perkataan dalam Mazmur ini: “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Mzm 136:1). Tuhan itu setia selamanya bagi kita. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih setia kepada Tuhan? Apakah kita setia dalam panggilan hidup kita?
PJ-SDB