Homili 21 Oktober 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXIX
Ef. 3:2-12
MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6
Luk. 12:39-48

Akulah yang paling hina!

Oscar Wilde (1854-1900) adalah seorang penulis dari Irlandia. Ia pernah berkata begini: “Setiap orang suci memiliki masa lalu yang belum tentu terbaik dan setiap pendosa memiliki masa depan yang bisa jadi jauh lebih baik.” Perkataan ini mau menegaskan bahwa setiap orang memiliki masa lalu yang terang benderang atau gelap. Namun demikian masa lalu tetaplah merupakan guru kehidupan bagi setiap pribadi. Anda, saya kita pasti mengalaminya dan dari sana kita belajar untuk menjadi pribadi yang terbaik. Apa yang dikatakan Oscar Wilde memang benar. Banyak orang kudus, sebelum mengenal Tuhan, mereka hidup dalam dosa tetapi berubah total ketika berjumpa dengan Tuhan. Tuhan mengubah mereka menjadi kudus. Tepatlah perkataan William Shakespeare (1564-1616) bahwa masa lalu hanyalah pembuka jalan menuju kejayaan.

Saya tertarik dengan St. Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, ia tidak malu-malu untuk mengekspresikan dirinya sebagai pribadi yang memiliki masa lalu. Ia mengatakan kepada jemaat yang sudah mendapatkan Kabar Sukacita bahwa Tuhan sendiri telah menganugerahkan kasih karunia kepadanya untuk memahami rahasia Tuhan Yesus Kristus sendiri. Bagi Paulus, pada masa lalu, rahasia tentang Kristus tidak diberitakan kepada umat manusia, tetapi sekarang dinyatakan dalam Roh kepada para rasul dan para nabinya yang kudus. Konsekuensinya adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi sama-sama menjadi ahliwaris, menjadi anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan Kristus Yesus. Dalam konteks tugas untuk mewartakan Injil, Paulus mengatakan: “Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya. Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus.” (Ef 3:7-8).

St. Paulus hebat! Dia masih menyadari masa lalunya sebagai Saulus yang menganiaya banyak orang Kristen. Selanjutnya, dengan kasih karunia Tuhan, ia menjadi Paulus. Dia tetap rendah hati dan jujur mengatakan tentang dirinya bahwa dia paling hina di antara orang kudus. Di tempat lain Paulus menyatakan diri sebagai saksi kebangkitan Kristus dengan berkata: “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya.” (1Kor 15:8). Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi Paulus menulis: “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” (Flp 3:8). Orang yang berubah dalam hidupnya akan berani melepaskan dan menganggap segalanya sampah.

Dari Santu Paulus kita belajar untuk merendahkan diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Banyak kali kita berpikir bahwa kitalah yang terbaik dari orang yang lain. Itu hanya pikiran kita semata. Sebenarnya hanya Tuhan saja yang dapat menilik kita sebagai pribadi yang baik atau tidak baik. Dialah yang lebih mengenal diri kita dari pada kita mengenal diri kita sendiri. Dalam Mazmur kita membaca: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku.” (Mzm 139:23).

Mari kita berbenah diri untuk menjadi semakin sempurna di dalam hidup kita. Jauhkanlah dirimu dari kesombongan sebab buah kesombongan adalah kehancuran hidup. Mari kita serupa dengan Yesus yang lemah lembut dan rendah hati. Mari kita menjadi serupa dengan Saulus yang menjadi Paulus. Transformasi diri itu memang perlu dan harus. Dengan demikian nkita juga berani berkata: “Aku yang paling hina di antara segala orang kudus.” Terima kasih Tuhan. Terima kasih St. Paulus, doakanlah kami untuk bertobat dan membaharui hidup kami.

P. John Laba, SDB