Homili Hari Sabtu Oktaf Paskah 2021

HARI SABTU DALAM OKTAF PASKAH – 2021
Kis. 4:13-21;
Mzm. 118:1,14-15,16ab-18,19-21;
Mrk. 16:9-15

Butuh Keberanian

Pada tahun 2013, tepatnya tanggal 25 Desember, muncullah sebuah Film berjudul ‘Long Walk to Freedom’ dengan disutradarai oleh Justin Chadwick. Film ini menceritakan kisah hidup seorang Nelson Mandela, sosok pejuang dari Afrika Selatan. Sebelumnya pada tahun 1995 telah terbit buku dengan judul yang sama yakni Long Walk to Freedom (Jalan panjang menuju kebebasan). Buku ini merupakan sebuah karya autobiografi yang ditulis oleh Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, dan diterbitkan pada 1995 oleh Little Brown & Co. Buku ini mengisahkan tentang kehidupan awal, masa remaja, pendidikan, dan masa 27 tahun penahanan di dalam penjara. Ada sebuah kutipan yang menarik dan sangat inspiratif dari buku ini: “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.” (Saya belajar bahwa keberanian tidak akan pernah absen dari ketakutan, namun keberanian itu sendiri berhasil menang atas rasa takut. Orang berani bukan mereka yang tidak pernah merasa takut, tapi mereka yang bisa menaklukkan rasa takut itu sendiri). Nelson Mandela tidak sedang berteori tetapi sedang bersaksi tentang pengalaman hidupnya yang nyata.

Kita berada menjelang hari terakhir dalam oktaf Paskah. Para murid Yesus sebelum Hari Raya Pentekosta atau saat sebelum menerima Roh Kudus hidup di dalam ketakutan. Rumah di mana mereka tinggal juga terkunci rapat. Mereka tidak mau mengulangi peristiwa tragis yang dialami Yesus sang Rabuni. Tuhan Yesus menampakkan diri kepada mereka selama beberapa kali, sambil menyapa mereka ‘Damai Sejahtera bagi kamu’ tetapi rasa takut tetap menyelimuti mereka. Ada keraguan bercampur ketidakpercayaan kepada Yesus. Namun setelah mereka menerima Roh Kudus bersama Bunda Maria, muncullah kekuatan dan keberanian yang luar biasa. Mereka tidak dapat dihalangi untuk mewartakan iman mereka bahwa Yesus orang Nazaret adalah Tuhan. Dia telah wafat dan bangkit dengan mulia.

Petrus dalam nama Yesus berhasil menyembuhkan seorang yang sakit lumpuh. Peristiwa ini mengundang mereka untuk dihadapkan di depan Sanhedrin atau Mahkamah Agama Yahudi. Mereka mengalami ancaman dan dilarang untuk menyebut nama Yesus dari Nazaret. Tetapi apa reaksi dari Petrus dan Yohanes? Inilah jawaban mereka: “Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” (Kis 4:19-20). Dan Santo Lukas bercerita: “Mereka semakin keras mengancam rasul-rasul itu, tetapi akhirnya melepaskan mereka juga, sebab sidang tidak melihat jalan untuk menghukum mereka karena takut akan orang banyak yang memuliakan nama Allah berhubung dengan apa yang telah terjadi.” (Kis 4:21).

Selanjutnya para Rasul justru semakin berani untuk melakukan perintah Yesus supaya mereka bertekun dalam mewartakan Injil. Tuhan Yesus yang bangkit mulia berkata kepada para murid-Nya: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mrk 16:15). Semangat evangelisasi bermula dari sini. Tuhan Yesus tidak hanya mewartakan Injil tetapi Ia juga menegaskan kepada para murid-Nya supaya merasakan keindahan panggilan sebagai pewarta Injil kepada segala makhluk. Semangat Evangeliasi ini tetap menjadi harta Gereja hingga saat ini.

Tentu saja butuh keberanian untuk bersaksi tentang paskah Kristus. Kita harus berani untuk mewartakan Injil bukan dengan kata-kata saja tetapi dengan keteladanan dan perilaku hidup yang nyata. Anda adalah orang Kristen sejati bukan karena kata-katamu tetapi karena hidupmu mencerminkan Kristus sendiri. Orang Kristen berarti Kristus kecil di tengah dunia. Apakah kita berani untuk mewartakan Injil atau kita lebih bermental bekicot sehingga takut untuk bersaksi dan mewartakan Injil dengan sukacita.

Tuhan memberkati kita semua,

P. John Laba, SDB