Homili Hari Minggu Paskah II – Kerahiman Allah – 2021

HARI MINGGU PASKAH II – 2021
Minggu Kerahiman Ilahi
Kis. 4:32-35;
Mzm. 118:2-4,16ab-18,22-24;
1Yoh. 5:1-6;
Yoh. 20:19-31

Saksi Kerahiman Allah

Saya mengucapkan selamat merayakan hari Minggu Kerahiman Tuhan Yesus. Pada pagi hari ini saya membaca kembali buku harian Santa Faustina. Saya menemukan sebuah kesaksian yang menakjubkan sebagai berikut: “Hari ini dalam Misa Kebangkitan, aku melihat Tuhan Yesus di tengah cahaya yang gilang-gemilang. Ia mendekati aku dan berkata, “Damai sertamu, anak-anak-Ku” Lalu, Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati kami. Luka-luka pada tangan, kaki dan lambung-Nya tampak jelas dan bercahaya. Ketika Ia memandang aku dengan penuh kasih sayang, dan cinta yang sedemikian mesra, seluruh jiwaku terbenam di dalam Dia. Dan Ia berkata kepadaku, ‘Engkau telah mengambil bagian begitu besar dalam sengsara-Ku; oleh karena itu sekarang Aku memberimu bagian yang besar dakam sukacita dan kemuliaan-Ku.” (Buku Jilid I, 205). Saya merasa bahagia dengan membaca kesaksian orang kudus ini karena benar-benar menguatkan saya secara pribadi untuk mengimani kasih dan kerahiman Tuhan Yesus Kristus. Saya merasa yakin bahwa kata-kata ini juga mengingatkan kita pada pikiran Bapa Suci Paus Fransiskus bahwa Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa (dalam Bulla Misercordiae Vultus,1).

Banyak di antara kita memiliki devosi kepada Kerahiman Ilahi. Tetapi apakah arti kerahiman itu sendiri bagi kita? Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Bulla Misericordiae Vultus menjelasaknnya kepada kita semua. Ia menulis: “Kita perlu senantiasa merenungkan misteri kerahiman itu. Ini adalah sumber sukacita, ketenangan, dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung pada kerahiman Allah. Kerahiman: kata yang mewahyukan misteri Tritunggal Maha Kudus sendiri. Kerahiman: tindakan terakhir dan tertinggi dengan mana Allah datang menjumpai kita. Kerahiman: hukum asasi yang berada di dalam hati setiap orang yang memandang dengan tulus mata saudara- saudarinya dalam perjalanan hidup. Kerahiman: jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, yang membuka hati kita pada harapan selalu dikasihi meski kita berdosa.” (MV,2). Ini adalah makna kerahiman yang menunjukkan hakikat diri Allah sendiri. Allah yang kita imani adalah kerahiman. Dia yang tidak menghitung-hitung dosa dan salah kita tetapi senantiasa mengalirkan kasih dan kerahiman-Nya kepada kita semua dari hati-Nya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu Kerahiman Tuhan Yesus ini membantu kita untuk bertumbuh dalam kasih dan kerahiman. Santo Lukas di dalam bacaan pertama menceritakan keteladanan hidup Jemaat Perdana. Mereka semua yang sudah percaya kepada Yesus memiliki semangat sehati dan sejiwa. Tidak seorang pun di antara mereka yang mengklaim bahwa ada sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Mengapa? Sebab segala sesuatu yang ada adalah milik bersama. Dampaknya adalah mereka semua dapat hidup dalam kelimpahan dan tidak ada yang merasa berkekurangan suatu apapun dalam hidupnya. Dalam suasana kebersamaan itu, para rasul juga tidak kenal lelah memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Bagi saya, komunitas yang mengalami kasih dan kerahiman Tuhan selalu hidup dalam sukacita karena mereka memiliki semangat untuk berbagi dan tentu akan hidup dalam kelimpahan. Hal ini akan berbeda pada komunitas yang tidak mengalami kerahiman karena mereka dikuasai oleh sikap egoisme yang berlebihan sehingga mereka selalu merasa ada kekurangan. Tidak pernah mereka merasa cukup untuk apa yang sudah mereka miliki.

Sikap bathin yang harus kita bangun adalah selalu bersyukur kepada Tuhan karena kasih dan kebaikan-Nya. Raja Daud mensyukuri kerahiman Tuhan dengan mengatakan tentang ‘kekal abadi kasih setia Tuhan’. Kita membaca dalam Kitab Mazmur: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita. Inilah hari yang dijadikan Tuhan, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” (Mzm 118: 22-24). Yesus adalah Batu Penjuru yang menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada kita.

Kita sudah sedang mengalami kasih dan kerahiman Allah. Dengan demikian kita menjadi saksi atas kerahiman Allah sendiri. Kita berani bersaksi tentang kerahiman Allah karena kita mengalaminya sendiri bukan kita mempelajarinya. St. Yohanes mengatakannya lebih mendalam bahwa kita menjadi saksi dari kerahiman karena kita lahir dari Allah dan sungguh menjadi anak-anak Allah. Dalam bacaan kedua kita mendengar: “Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari pada-Nya.” (1Yoh 5:1). Melalui sakramen pembaptisan kita menyatakan diri kita sebagai pribadi yang percaya kepada Allah. Kita percaya maka kita mampu mengasihi Tuhan sendiri. Wujud nyata dari mengasihi Tuhan adalah melakukan perintah-perintah Tuhan dengan sepenuh hati. Kita dapat mengalahkan dunia dengan iman kita yang berakar pada penghayatan akan perintah-perintah Tuhan.

Tuhan Yesus mengetahui kelemahan para murid-Nya. Mereka mengalami ketakutan tersendiri. Inilah tanda-tanda ketakutan mereka: “Pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi.” (Yoh 20:19). Dalam suasana ketakutan itu Tuhan Yesus hadir di tengah-tengah mereka dan memberikan damai sejahtera-Nya kepada mereka. Ia berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19.21). Tuhan Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus dan mengutus mereka untuk mewartakan pengampunan dosa. Yesus berkata: “Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22-23). Kasih dan kerahiman Tuhan dapat dirasakan melalui pengampunan yang berlimpah. Di sinilah kita patut bersyukur atas sakramen tobat yang menjadi sarana bagi keselamatan kita. Sakramen tobat menjadi sarana untuk membantu kita bersaksi tentang kasih dan kerahiman Allah.

Pada hari Minggu Kerahiman Allah ini, mata kita tertuju pada rasul Thomas yang dilabel ‘kurang percaya’. Thomas adalah murid yang cerdas. Dia tidak mau ikut-ikutan orang lain ketika mereka mengatakan tentang kebangkitan Kristus. Perkataannya mengungkapkan dirinya sendiri: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yoh 20:25). Namun kasih dan kerahiman Tuhan menguasainya. Ia takhluk di hadirat Yesus dan mengakui: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Kita adalah Thomas masa kini. Kita juga tidak percaya berkali-kali bahkan selalu mencobai Tuhan di dalam hidup kita. Hanya saja kita tidak jujur dengan diri kita ketika sedang mencobai Tuhan dalam hidup kita.

Pada hari ini, marilah kita berubah supaya mampu menjadi saksi kerahiman Allah dalam hidup setiap hari. Kita menjadi saksi kerahiman Allah dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Kesaksian hidup kita menjadi bukti nyata bahwa kita mengalami kasih dan kerahiman Tuhan dan menjadi saksi kerahiman bagi sesama yang lain. Saya mengakhiri homili ini dengan kembali mengutip kesaksian St. Faustina dalam buku hariannya: “Sesudah komuni, aku mendengar suara yang berkata, “Putri-Ku, pandanglah lubuk kerahiman-Ku dan pujilah serta muliakanlah kerahiman-Ku ini. Lakukanlah begini: Himpunlah semua orang berdosa dari seluruh dunia dan benamkanlah mereka di dalam lubuk kerahiman-Ku. Aku akan memberikan diri-Ku sendiri kepada jiwa-jiwa itu; Aku mendambakan jiwa-jiwa itu, hai Putri-Ku. Pada hari pesta-Ku, pesta kerahiman, engkau harus menjelajah seluruh dunia dan membawa jiwa-jiwa yang layu ke mata air kerahiman-Ku. Aku akan menyembuhkan dan menguatkan mereka.” (Jilid 1, 206).

P. John Laba, SDB