Food For Thought: Semangat seorang hamba

Semangat seorang hamba

Oshin oh Oshin sayang. Nama sosok ini perlahan-lahan akan dipanggil kembali di dalam keluarga-keluarga tertentu. Pemerintah boleh melarang supaya tidak ada mudik tahunan tetapi saya yakin bahwa tingkat kepatuhannya orang-orang di negeri +62 masih rendah. Pemerintah boleh teriak sampai suara hilang, orang akan mencari jalan tikus hingga ke kampung halamannya. Dengan demikian keluarga-keluarga tertentu akan memanggil nama Oshin, atau para ibu mendadak menjadi Oshin. Sebenarnya tidak perlu sampai memanggil nama Oshin atau melabel diri sebagai Oshin sebab untuk itulah kita menjadi makhluk sosial dan hidup berdampingan dengan orang lain. Sikap sosial yang hendak ditunjukkan dalam kebersamaan adalah saling menolong, saling melayani, semangat menghamba. Saya mengingat Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM), seorang negarawan dan penulis Romawi Kuno pernah berkata: “Di dalam majikan ada seorang hamba, di dalam hamba ada seorang tuan.” Majikan, tuan dan hamba adalah sosok-sosok yang melekat di dalam diri kita. Semua orang memilikinya!

Pada hari ini saya terpesona dan mengagumi Tuhan Yesus dan perkataan-Nya. Ia mengatakan: “Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” (Yoh 13:16-17). Tuhan Yesus sedang berbicara tentang diri-Nya sendiri bukan tentang diri orang lain. Dia adalah Hamba Yahwe yang datang untuk melakukan kehendak Allah Bapa. Dia adalah Hamba Yahwe yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Dia meminta kita untuk memiliki semangat penghambaan: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10).

Yesus adalah Utusan Bapa. Penginjil Yohanes mencatat dalam Injilnya, perkataan Yesus ini: “Sebab Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan.” (Yoh 12:49). Yesus adalah Utusan Bapa, dan kini kita adalah Utusan Bapa di tengah dunia. Boleh dikatakan bahwa di tengah pandemi ini, kita semua menjadi Utusan untuk meringankan beban hidup sesama dengan sharing is caring. Sikap peduli dan bertanggung jawab kepada hidup sesama manusia. Dengan semangat menghamba dan Utusan yang melayani maka perkataan Yesus ini menjadi bermakna: ‘Berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya’ (Yoh 13:17). Tuhan menyapa kita berbahagialah kalau kita setia dalam hidup sebagai utusan dan hamba dalam melayani tanpa batas.

Tuhan Yesus adalah Anak Allah. Meskipun Anak Allah, Dia masih mengambil rupa sebagai Hamba. Yesus adalah pribadi yang telah mengosongkan diri-Nya (κένωσις, kénōsis), dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp 2:7). Menjadi pertanyaan bagi kita adalah, mengapa kita begitu sulit untuk mengabdi dalam hidup ini? Yesus adalah Tuhan tetapi Dia masih mengabdi manusia bahkan wafat di kayu Salib untuk menyelamatkan manusia. Manusia boleh bersumpah dengan meletakkan tangan di atas Kitab Suci untuk menjadi hamba yang siap mengabdikan diri, tetapi ketika berhadapan dengan duit, dia langsung lemah dan melakukan korupsi. Korupsinya berjamaah. Hilang pengabdiannya, jayalah korupsinya. Memalukan!

Kita perlu memiliki semangat untuk mengabdi dengan bahagia. Kehendak Tuhan bagi kita memang demikian maka mengabdilah, melayanilah dengan sukacita dan bahagia. Tuhan memberkati, Bunda Maria sang hamba Tuhan mendoakan.

P. John Laba, SDB