Homili 21 Juni 2021

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XII
Peringatan Wajib Aloysius Gonzaga
Kej. 12:1-9;
Mzm. 33:12-13,18-19,20,22;
Mat. 7:1-5

Berani bereksodus

Kita masih berada di masa pandemi. Pada hari-hari belakangan ini suasana tetap mencekam. Bunyi Sirene selalu menakutkan, ada yang merasa jantungnya hampir copot. Mungkin kita yang mendengar cerita-cerita seperti ini merasa sebagai cerita berlebihan tetapi ini sungguh nyata. Pandemi benar-benar ada, dan banyak orang menjadi korban sampai meninggal dunia. Pada hari ini seluruh Gereja Katolik mengenang St. Aloysius Gonzaga. Orang kudus ini terkenal pada masa pandemi di Italia. Dikisahkan bahwa pada awal tahun 1591, terjadi wabah dan kelaparan di Italia. Aloysius berusaha mengumpulkan dana dengan mengemis di Roma bagi daerah-daerah yang terkena wabah. Kemudian ia bekerja langsung dengan merawat orang-orang sakit. Ia mengangkut orang-orang yang hampir mati di jalan raya, membawanya ke rumah sakit, memandikan mereka dan memberi mereka makan serta mempersiapkan mereka untuk penerimaan sakramen-sakramen. Keadaan jasmaninya memberontak ketika berhadapan dengan penyakit, darah, dan segala yang kotor dan bau. Sekalipun demikian ia mengatasi rasa jijik itu untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Pada suatu malam ia kembali dari rumah sakit, ia berkata kepada pembimbing rohaninya, “Saya merasa hari-hari saya tak akan lama lagi. Saya merasakan kerinduan begitu besar untuk bekerja dan melayani Tuhan sehingga saya tidak bisa percaya Tuhan telah memberikan kerinduan itu sekiranya Ia tidak bermaksud mengambil saya dengan segera.” Aloysius meninggal dunia di Roma pada tanggal 21 Juni 1591.

Kisah singkat kehidupan St. Aloysius Gonzaga ini menunjukkan kemampuannya untuk bereksodus dari dirinya sendiri untuk bisa menjumpai saudari dan saudara yang sedang menderita akibat wabah dan kelaparan saat itu. Ia menunjukkan sikap sebagai relawan utusan Tuhan bagi saudari dan saudara yang menderita: merawat, mengangkut jenasah, memandikan jenasah, memberi mereka makan dan menyiapkan mereka untuk menerima sakramen. Dia bahkan meninggal dunia karena melayani orang-orang yang terkena wabah pandemi. Kisah hidup St. Aloysius mengingatkan kita pada perkataan Yesus: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Sikap eksodus Aloysius berhasil mengubah dunia. Dia adalah sosok martir cinta kasih dan menjadi model kekudusan kaum muda hingga saat ini. Hidupnya menandakan bahwa Tuhan menguduskan dan menjadikan orang muda sebagai model kekudusan.

Pada hari ini kita mendengar kisah Abram, Sarai istrinya dan Lot anak saudaranya. Untuk pertama kalinya Abram dipanggil Tuhan untuk bereksodus. Abram itu banyak hartanya. Namun Tuhan memanggilnya untuk bereksodus, artinya meninggalkan segalanya dan mengikuti kehendak Tuhan. Tuhan berkata: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej 12:1-3). Ini adalah panggilan dan peutusan Abram. Sebenarnya dia sudah memiliki segalanya dan tak perlu keluar dan meninggalkan segalanya. Namun panggilan Tuhan adalah sebuah perintah dan harus dijawab dan dilakukan dalam hidup.

Abram yang sudah tidak muda lagi, usianya 75 tahun, dipanggil Tuhan untuk pergi ke sebuah negeri yang baru. Ia membawa Sarai, Lot dan dan segala harta benda yang didapat mereka dan orang-orang yang diperoleh mereka di Haran. Mereka berjalan hingga tiba di tanah Kanaan. Abram mendirikan mezbah untuk menyembah Tuhan sebab Tuhan sendiri sudah berjanji untuk memberikan tanah Kanaan kepadanya. Di mana Abram berada, dia pasti membangun mezbah untuk menyembah Tuhan.

Sosok Abram sangat inspiratif. Ia memiliki kemampuan untuk berani meninggalkan segala-galanya dan mengikuti kehendak Tuhan yang masih samar-samar juga bagi dia. Apakah negeri Kanaan yang dijanjikan Tuhan akan lebih baik bagi dia di usianya yang sudah tidak muda lagi? Dalam situasi ini kata yang tepat yang harus dimiliki oleh manusia seperti Abram adalah iman. Iman sebagai anugerah Tuhan harus dimiliki dan bertumbuh, berkembang. Iman yang memampukan Abram untuk percaya kepada seluruh rencana dan kehendak Tuhan. Iman yang membuat Santo Aloysius Gonzaga menjadikan dirinya relawan untuk menolong orang-orang sakit dan yang meninggal dunia tanpa melihat keningratan atau darah biru yang dimilikinya. Iman bertumbuh dari cinta dan harapan akan kasih dan kuasa Tuhan.

Keberanian untuk bereksodus ini mengandaikan energi dan pikiran positif yang harus dimiliki oleh setiap orang. Abram dalam Kitab Perjanjian Lama dan St. Aloysius Gonzaga adalah sosok yang menunjukkannya dengan jelas kepada kita. Yang ada pada mereka adalah ketaatan kepada kehendak Allah. Sikap inilah yang harus kita miliki dalam hidup setiap hari. Tuhan Yesus dalam Kotbah di bukit mengingatkan kita supaya jangan menghakimi supaya kita juga tidak dihakimi. Ketika menghakimi orang lain, selalu saja ada bias-bias pemikiran, persepsi-persepsi yang terlalu negatif dan naif kepada sesama manusia. Kita tidak punya hak untuk menghakimi sesama kita. Orang yang suka menghakimi sesamanya, selalu lupa bahwa dia juga tidak sempurna dalam hidupnya. Yesus mengatakan: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.” (Mat 7:3-4).

Orang yang tidak mampu bereksodus masih hidup dalam dunia kemunafikan. Kalau saja orang bisa keluar dari dirinya sendiri maka ia akan mengetahui kelebihan dan kekurangannya, dia juga tidak akan bersikap munafik terhadap diri dan sesamanya, bahkan dengan Tuhan sendiri. Pada hari ini kita berusaha untuk keluar dari diri kita sendiri, semakin mengenal diri kita, memiliki energi dan pikiran positif untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Bapa Abram doakanlah kami. St. Aloysius Gonzaga, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba Tolok, SDB