Food For Thought: Sign Out

Sign Out

Saya menyelesaikan retret tahunan bersama para konfrater Salesian di area Jakarta dan Tangerang tadi siang. Pada sore harinya saya berkesempatan untuk mengantar beberapa Konfrater yang kembali ke Provinsialat di Sunter. Ketika kembali ke Tangerang, saya melewati daerah Danau Sunter sambil mengamati orang-orang bermalam Minggu di sana. Saya hanya berdecak dan merasa diri seperti orang gila, karena saya sendirian, berada di dalam mobil ber-AC dan memakai masker, ada hand santizer dan masker tambahan di dalam tas saya. Sementara itu saya memperhatikan orang-orang yang duduk dan makan bersama di tenda-tenda di pinggir jalan, mereka yang berkerumunan di pinggir jalan dekat Danau Sunter sambil berjajan, mereka yang berada di area sekitar Wisma Atlet Kemayoran, di daerah Bungur, sekitar pos dan Katedral , Juanda hingga Tomang. Saya menemukan begitu banyak orang yang tidak memakai masker, atau mereka memakai masker tetapi hanya menutup dagunya saja. Saya sempat bertanya dalam hati, bagaimana orang-orang yang bermalam Minggu ini dapat menerapkan 5M sebagaimana diharapkan oleh banyak orang, sementara kenyataan di lapangan, bahkan di dekat Wisma Atlet sendiri orang masih berjalan, berdiri dalam kerumunan kecil tanpa masker. Saya merasa kasihan bukan dengan orang-orang ini saja, tetapi dengan orang-orang baik yang merelakan diri untuk menolong hingga merekapun menyerahkan nyawanya bagi para pasien. Pemerintah dan para garda terdepan boleh berkorban, masyarakatnya belum memiliki kesadaran yang cukup.

Pengalaman dalam perjalanan malam ini membuat saya merasa kasihan dengan pemerintah yang mengucurkan dana besar untuk covid-19, tetapi banyak masyarakat yang kesadarannya sangat rendah atau belum cukup. Kalau terjadi sesuatu pada mereka, dan mereka lambat mendapat pertolongan maka kesalahannya selalu diarahkan kepada pemerintah, para dokter, perawat dan relawan kesehatan. Sungguh hati orang begitu keras, pikiran mereka begitu picik sehingga tidak menjaga dan melindungi dirinya dan senang mempersalahkan oranjg lain. Misalnya, ketika pemerintah melakukan tindakan pencegahan terhadap covid-19, maka ada saja kritik kepada pemerintah bahwa pemerintah atau rezim ini adalah rezim otoriter. Oh my God! Rakyat boleh salah dan melanggar hukum, tetapi kesalahannya selalu menuju ke orang nomor satu, dua dan seterusnya di negara ini.

Terlepas dari kesadaran yang begitu terbatas dari masyarakat tentang bahaya Covid-19 dan aneka variannya, saya melihat bahwa banyak orang terjangkit Covid-19 bukan hanya karena mereka tidak patuh pada 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas), ada banyak orang yang terjangkit Covid melalui gawai atau gadget, terutama handphone dan laptopnya. Pasti ada yang mengatakan ‘masya Allah’ mana mungkin orang terjangkit Covid melalui gawai? Bagi saya, sangatlah bisa. Pada hari-hari ini banyak orang mengalami turunnya imun tubuhnya dan mudah sekali terkena Covid-19 dan varian-variannya. Mengapa imun tubuhnya menurun? Satu alasannya adalah karena pikiran manusianya. Pikiran pribadi yang sangat dipengaruhi oleh kontrol gawai dan media sosial di dalam gawai.

Coba pikirkan, setiap saat bermunculan di layar Gawai berbagai informasi melalui flyer tentang covid-19 dan variannya, berbagai obat yang dikonsumsi, vaksin AZ yang menakutkan. Semua yang dibicarakan melalui media sosial atau media mainstream ada di layar hp dan laptop sehingga membuat kepanikan tersendiri bagi orang yang membacanya. Setiap hari selalu saja ada informasi varian ini dan itu, korban berjumlah sekian, antigen dan PCR, vaksin dan bahayanya. Semua informasi itu telah membunuh karakter banyak orang. Secara fisik orangnya sehat, tetapi sedang sakit secara mental akibat berita-berita yang diakses di Gawai. Dan anda adalah salah satu yang suka menyebarkan informasi melalu WAG. Anda adalah salah satu yang ikut menjangkitkan virus dalam pikiran orang dan melemahkan imun tubuhnya.

Apa yang bisa kita lakukan? Dari pengalaman pribadi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang pernah saya rasakan dan daya penyembuhnya luar biasa:

Pertama, percayalah bahwa Tuhan ada. Kalau kita sungguh percaya bahwa Tuhan sungguh-sungguh ada maka tidak perlu takut. Kita lebih dari pemenang! Tuhan yang sungguh ada itu tidak akan membiarkan kita semua musnah di bumi ini. Dia adalah Allah yang adalah kasih. Kasih memenangkan segalanya, kejahatan sekalipun takluk karena kasih.

Kedua, selalu berpikiran positif. Ketika saya sakit, saya selalu berpikir positif bahwa saya ini sehat. Pikiran positif ini bisa menyembuhkan kita lebih cepat. Mengapa? Musuh yang besar adalah diri kita dan pikiran kita sendiri. Semua penyakit selalu datang dari pikiran kita bukan dari luar Tubuh kita. Dengan hanya melihat gawai, berita ini dan itu lalu terbawa di dalam pikiran dan anda benar-benar ikut terjangkit.

Ketiga, silakan sign out! Matikan notifikasi berita tentang covid, tidak perlu menyebarkan berita atau, flyer tentang covid. Ada orang membuat flyer yang menakutkan akan turut menurunkan imun dan membunuh karakter orang yang membacanya. Paling ekstrim, matikanlah paket datamu, wifimu, atau matikan saja hpmu sehari saja dan pikiranmu akan tenang, tidak terpancing oleh berita-berita menakutkan tentang covid-19 dan aneka variannya.

Saya percaya Tuhan melindungi saya, Tuhan juga melindungimu selamanya.

P. John Laba, SDB