Homili Hari Minggu Biasa ke-XIX – 2021 – B

Hari Minggu Biasa XIX/B
1Raj. 19:4-8;
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9;
Ef. 4:30-5:2;
Yoh. 6:41-51

Tuhan selalu menjadi andalan kita

Masa pandemi menjadi berkat dan beban. Banyak orang lebih melihat bebannya dari pada berkat. Itu memang hal yang lumrah dalam hidup. Dalam masa pandemi ini ada lock down dan ada juga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dampaknya memang sangat terasa di dalam masyarakat. Pemerintah boleh mengeluarkan dana untuk menolong masyarakat tetapi dananya tidak sampai ke tangan mereka yang membutuhkan karena dikorupsi di tengah jalan. Setiap hari orang merintih sulit ini dan sulit itu, ini mahal dan itu juga mahal dan lain sebagainya. Hari ini orang ini meninggal, besok orang itu meninggal. Ini adalah pandemi global dan semua orang mengalaminya. Namun di balik beban ada berkat dalam masa pandemi ini. Orang mulai memiliki habitus baru untuk menjaga dan melindungi dirinya seperti dengan menerapkan protokol kesehatan. Ini berarti hidup kita, tubuh kita memiliki nilai luhur. Orang-orang memiliki satu musuh yang sama yakni corona. Pelayanan rohani secara daring lintas batas dan menjangkau semua orang. Tentu saja semua ini menjadi pengalaman hidup kita dan kita mengikuti saja apa yang Tuhan kehendaki di dalam hidup kita. Kita berusaha untuk selalu percaya dan berpasrah kepada Tuhan sebab Ia yang memberi hidup kepada kita.

Pada hari Minggu Biasa ke-XIX ini Tuhan menyapa kita supaya selalu mengandalkan-Nya sebab Dialah sumber hidup kita. Kisah nabi Elia dalam bacaan pertama adalah kisah hidup kita pada saat ini. Masa pandemi telah membawa kita untuk bergumul di hadirat Tuhan seperti nabi Elia. Ada perasaan putus asa, kecewa, patah semangat dan kehilangan harapan. Banyak orang sedang mengalami apa yang dialami sendiri oleh nabi Elia saat ini. Ketika dia melarikan diri ke gunung Horeb, ia mesti melewati padang gurun. Di padang gurun ini dia bergumul kepada Tuhan dan bergumul bersama dirinya sendiri. Ia berkata: “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1Raj 19:4). Elia ingin mati saja. Dalam pergumulan seperti ini, dia mungkin berpikir bahwa Tuhan akan melupakan dia. Ternyata pikiran manusia berbeda dengan pikiran Tuhan. Tuhan tetap menjaga dan memelihara Elia.

Apa yang Tuhan lakukan bagi Elia di padang gurun? Tuhan menyediakan makanan berupa roti bakar dan sebuah kendi berisi air. Tuhan menyediakan semuanya ini dan menguatkan Elia untuk melakukan perjalanan selama empat puluh hari dan empat puluh malam ke gunung Tuhan yakni gunung Horeb. Dari Elia kita belajar bahwa selama masa pandemi ini, kita mirip dengan Elia. Kita belajar dari Elia yang putus asa, nyaris kehilangan harapan namun hatinya penuh kepasrahan kepada Tuhan. Dia tetap mengimani Tuhan maka Tuhan menunjukkan belas kasih kepada-Nya dengan makanan dan minuman yang disiapkan baginya. Elia mengalami kesulitan tetapi tetap mengandalkan Tuhan sebab Tuhanlah yang memberi makan kepadanya.

Pengalaman Elia adalah pengalaman Gereja sepanjang zaman. Gereja juga mengalami situasi yang sulit yang tidak jauh berbeda dengan padang gurun. Namun dari berbagai kesulitan, penganiayaan dan kemartiran, Gereja tetap berdiri kokoh sampai saat ini. Mengapa demikian? Karena Gereja didirikan oleh Tuhan sendiri. Tuhan mendirikannya dan Tuhan juga yang tetap memuaskannya dengan Sabda dan Ekaristi juga sakramen-sakramen yang lain. Gereja menjadikan Tuhan sebagai andalan karena Dialah yang memberikan makanan rohani dalam Ekaristi. Kita mendapat kekuatan dalam bacaan Injil hari ini di mana Yesus dengan tegas menyatakan diri-Nya sebagai Roti hidup. Ia berkata: “Akulah roti yang telah turun dari sorga.” (Yoh 6:41). Dia menegaskan lagi: “Akulah roti hidup” (Yoh 6:48). Pada akhirnya Yesus mengatakan lagi: “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6:51).

Nabi Elia diberi makan oleh Tuhan dan dia bertahan hidup sampai ke gunung Tuhan. Gereja bukan diberi makan Tuhan dalam bentuk roti bakar tetapi Tuhan Yesus memberi diri-Nya sendiri sebagai roti hidup. Roti hidup adalah tubuh, daging-Nya. Daging-Nya menghidupkan dunia. Maka betapa beruntungnya anda dan saya sebagai Gereja. Kita begitu istimewa sampai Tuhan sendiri memberi Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan dan minuman. Tuhan Yesus begitu baik, tetapi kenapa kita begitu lemah? Kenapa kita begitu buta dengan kasih Tuhan? Kita benar-benar belum sadar akan kasih Tuhan, dan berhati keras! Mengapa? Karena ternyata kita masih bersungut-sungut juga kepada Tuhan. Padahal kalau kita sungguh merenungkannya maka apa yang masih kurang dari Tuhan? Bukankah Dia memberikan segalanya bagi keselamatan kita? Lalu mengapa masih bersungut-sungut melawan Tuhan? Ini tanda bahwa kita sepenuhnya belum bisa mengandalkan Tuhan. Kita mengandalkan diri sendiri bukan Tuhan, padahal Yesus berkata: “Sine me nihil potestis facere” (Yoh 15:5).

Lalu apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mendorong kita untuk tetap mengandalkan Tuhan. Caranya adalah supaya kita jangan menduakan Roh Kudus Allah. Kalau kita menduakan Roh Kudus Allah maka yang menjadi bagian dalam hidup kita adalah dosa. Sebab itu sedapat mungkin kita menghindari segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah, demikian pula segala kejahatan. Sebaliknya hal yang perlu kita lakukan adalah: “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Kita juga diingatkan untuk mentaati kehendak Allah, dan selalu hidup dalam kasih. Kasih sejati itu penuh dengan pengorbanan diri sebagaimana dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Dia menyelamatkan kita melalui paskah-Nya. Semoga hari Minggu ini menjadi awal yang baik bagi kita untuk teta mengandalkan Tuhan.

P. John Laba, SDB