Homili 13 Agustus 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIX
Yos. 24:1-13;
Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24;
Mat. 19:3-12

Berkeluarga itu sebuah panggilan suci

Saya sedang membaca buku ‘Hidup Keluarga Bahagia’ buah karya Pater Wolfgang Bock Kastowo, SJ. Buku ini berisikan pengalaman-pengalaman berpastoral dalam keluarga yang kiranya bisa menyapa setiap keluarga atau mereka yang mau menikah supaya lebih siap lagi untuk menjawabi dan menyempurnakan panggilan Tuhan ini. Ada satu bagian yang menarik perhatian saya yakni bagian ke-V, tentang pola hidup dan tugas perkawinan. Salah satu tugas perkawinan adalah ‘menciptakan peluang guna menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.’ (Hal. 124-125). Pater Kastowo menjelaskan bahwa salah satu tugas perkawinan adalah membangun suatu relasi yang juga bertahan dalam perselisihan dan kemarahan. Solusi terhadap konflik-konflik di dalam keluarga adalah menguasai diri dan menyadari pasangan maupun diri sendiri.

Setiap keluarga pasti pernah mengalami konflik tertentu. Pasangan suami dan istri tidak bisa membohongi diri dengan mengatakan bahwa semuanya aman dan terkendali. Konflik di dalam keluarga pasti ada setiap hari. Memang perlu disadari bahwa Tuhan mempersatukan dua orang yang berbeda di usia yang tertentu, dengan latar belakang yang berbeda pula. Maka jatuh cinta yang benar bagi para suami dan istri adalah ketika mereka sudah menikah, tinggal bersama dan dari situ baru kelihatan aslinya. Ada hal-hal kecil yang kadang bisa menimbulkan konflik, yang tidak disadari sebelum menikah. Misalnya, salah satu dari pasangan ini suka ngorok pada saat tidur, yang satunya suka kentut di depan pasangannya, yang satunya selalu lupa menekan tombol flash di kloset setelah membuang air besar dan kecil, yang satunya suka mengunci handphonenya dan kalau mengirim, membaca pesan dan menelpon selalu mencari tempat untuk menyendiri. Ini hanya beberapa dari banyak hal yang mudah menimbulkan konflik dalam suatu relasi antara suami dan istri. Hal-hal ini sederhana, tetapi dapat merenggangkan relasi sebagai suami dan istri. Maka tepatlan Pater Kastowo dalam bukunya di mana ia menghendaki supaya para pasutri itu mampu menguasai diri dan menyadari atau memahami pasangan dan diri sendiri. Kalau dalam konflik itu, ego yang dipertahankan maka keluarga itu ada diambang kehancuran dan anak-anak menjadi korban ego orang tuanya.

Dalam bacaan Injil hari ini, kita mendengar sebuah pertanyaan dari kaum Farisi untuk mencobai Yesus: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3). Tuhan Yesus menjawabnya: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:4-6). Dialog antara orang-orang Farisi dan Yesus sangatlah bermakna. Kita semua diarahkan pada sebuah bahaya dalam perkawinan yaitu perceraian.

Pikiran kita tertuju pada pasangan suami dan istri yang bercerai. Mereka mengorbankan anak-anaknya,  menimbulkan masa depan anak-anak menjadi tidak menentu. Mereka bercerai karena alasan-alasan yang lebih banyak sifatnya membenarkan diri dan mempersalahkan yang lainnya. Misalnya, karena pasangannya berselingkuh dengan orang lain. Sebagai suami dan istri, apakah sudah saling mengenal satu sama lain? Apakah benar-benar saling mencintai? Kedua pertanyaan sederhana ini kalau direnungkan pasti bisa menjauhkan dari kata perselingkuhan hingga mengakibatkan perceraian. Kalau mendengar pasangan berselingkuh, apakah sudah berbicara dengannya? Berapa kali frekuensi anda berbicara dengannya? Apakah anda menemukan alasan mendasar dia berselingkuh? Apakah anda juga memeriksa batin dan menemukan kelemahanmu yang membuatnya tidak setia kepadamu dengan berselingkuh? Ada yang mengatakan tentang masalah ekonomi membuat perceraian. Apakah hidup berkeluarga semata-mata berpusat pada harta benda saja? Dan masih banyak hal lain yang menimbulkan konflik hingga menimbulkan perceraian.

Tuhan Yesus memiliki posisi yang tepat. Dia mengingatkan kodrat hidup manusia sebagai pria dan wanita ciptaan Tuhan. Kita mengingat perkataan Adam ketika Hawa baru diperkenalkan Tuhan kepadanya: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej 2:23). Relasi intim antara pria dan wanita ada dalam rencana Tuhan ketika Tuhan menciptakan pria dan wanita. Relasi antara suami dan istri dalam rencana Tuhan itu tidak dapat dipisahkan. Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Sekali lagi, hanya pasangan yang egois yang tidak bisa mempertahankan kesucian dan kemurnian keluarga. Persoalan bahwa Musa memberi surat cerai adalah karena ketegaran hati manusia tetapi Tuhan sendiri tidak menghendakinya dari semula. Perkataan Yesus ini sangat menguatkan: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat 19: 8-9).

Reaksi para murid sangat menarik. Mereka berkata: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Mat 19: 10). Menikah itu panggilan dan pilihan bebas, maka butuh komitmen untuk mempertahankan panggilan itu sendiri. Yesus mengingatkan mereka: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:11-12). Perkawinan itu pilihan bebas dan sadar. Saya sendiri memilih untuk mengikuti panggilan imamat, dan panggilan imamat merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada saya. Saya berani melepaskan diri dari berbagai ikatan untuk lebih fokus pada Tuhan dan Kerajaan-Nya. Jadi saya memilih tidak menikah demi mengabdi Kerajaan Allah.

Berkeluarga adalah sebuah panggilan suci. Pasangan suami dan istri saling menerima dalam suka dan duka, untung dan malang, di waktu sehat dan sakit sampai saudara maut datang untuk menjemput. Kalau saja para suami dan istri saling setia dalam hidup dan panggilan maka akan sangat menguatkan kami yang tidak menikah untuk setia dalam panggilan kami, dalam persekutuan kami dengan Tuhan. Pernikahan itu suci karena Tuhan hadir dalam keluarga. Tuhan berada di tengah-tengah keluarga dan Dialah yang menjadi kepala atas rumah dan keluarga. Dari Tuhanlah cinta itu mengalir memenuhi hati dan menjauhkan dari kata ‘perceraian’. Perkataan yang menguatkan: “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”

P. John Laba, SDB