Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIVB – 2021

Hari Minggu Biasa XXIV/B
Yes. 50:5-9a;
Mzm. 116:1-2,3-4,5-6,8-9;
Yak. 2:14-18
Mrk. 8:27-35

Seorang Mesias yang unik

Santo Agustinus adalah salah seorang Bapa Gereja Katolik. Ia pernah menalar tentang cinta dan mengungkapkannya seperti ini: “Seperti apakah cinta itu? Cinta itu mempunyai tangan untuk menolong orang lain. Cinta itu mempunyai kaki untuk menolong mereka yang miskin dan sangat membutuhkan. Cinta itu mempunyai mata untuk melihat penderitaan dan keinginan sesama. Cinta itu mempunyai telinga untuk mendengar rintihan dan kesengsaraan sesama. Seperti itulah cinta.” Sekilas, kalimat-kalimat ini seolah tanpa makna atau terbatas maknanya namun kalau kita memahami setiap deretan kalimat maka wawasan kita benar-benar dibuka untuk memahami cinta sejati. Cinta sejati itu memiliki kaki, mata dan telinga untuk berkorban demi kebaikan sesama yang lain. Cinta sejati itu menjadi nyata dalam perbuatan-perbuatan baik yang dialami oleh sesama di sekitar kita. Orang boleh tertawa ketika kita mencintai dengan tulus, orang boleh mencibir ketika kita setia mencintai namun seperti itulah cinta. Tuhan yang adalah kasih juga diperlakukan demikian.

Kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XXIV tahun B. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini mengarahkan kita pada sosok Tuhan Yesus Kristus. Dialah sang Mesias kita yang menderita. Gambaran tentang sang Mesias yang menderita sudah diungkapkan oleh nabi Yesaya di dalam Kitab Perjanjian Lama. Yesus, Kristus sang Penyelamat kita adalah sosok hamba Tuhan yang menderita. Dialah hamba Tuhan yang patuh dan setia, merelakan diri-Nya untuk menderita demi keselamatan umat-Nya. Apa yang dilakukan sang Hamba Tuhan? Dialah hamba Tuhan yang merasakan bagaimana Tuhan Allah membuka telinganya, Dia tidak memberontak dan berpaling ke belakang. Sebaliknya Dia taat dan setia dan inilah pengakuannya: “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes 50: 6). Dengan perkataan ini saja kita langsung membayangkan betapa menderitanya sang Hamba Tuhan, namun ketaatan dan kesetiaan mewarnai cinta-Nya yang murni kepada Tuhan.

Apakah sikap sang Hamba Tuhan hanya sebatas menerima penderitaan fisik dan psikologisnya? Sang Hamba Tuhan masih bersandar pada Tuhan yang hadir untuk menolongnya. Inilah ungkapan hati sang Hamba Tuhan: “Tetapi Tuhan Allah menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yes 50:7). Hamba Tuhan ini hebat. Dia menyadarkan kita semua bahwa dibalik semua penderitaan yang kita alami, Dia tetap hadir untuk menolong. Pertolongan-Nya selalu tepat pada waktunya, hanya kitalah yang selalu lupa dan tidak menyadari pertolongan Tuhan. Kita sudah mengalaminya tetapi belum puas dan meminta lebih lagi. Ini memang sangat manusiawi tetapi gambaran diri kita yang belum mampu mengasihi seperti Tuhan mengasihi kita.

Gambaran diri sang Hamba Tuhan yang menderita ini benar-benar menjadi sempurna di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Ia sudah mengutus para murid-Nya untuk pergi berdua-dua demi mewartakan Injil dan menyembuhkan orang-orang sakit, serta mengusir setan-setan. Mereka semua kembali dengan penuh sukacita. Tuhan Yesus menyadari kebutuhan mereka untuk beristirahat sejenak di Kaisarea Filipi. Dalam suasana quality time seperti ini Tuhan Yesus bertanya kepada mereka. Pertanyaan pertama sangat mudah: “Kata orang, siapakah Aku ini?” (Mrk 8:27). Karena pertanyaan menyangkut kata orang maka sangatlah mudah bagi mereka untuk menjawabnya: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi.” (Mrk 8:28). Selanjutnya Yesus menaikan level dan kualitas pertanyaan yang lebih bersifat pribadi: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mrk 8:29). Saya merasa yakin bahwa setelah tinggal bersama Yesus, berkeliling dan berbuat baik melalui Sabda dan Karya tetapi mereka juga belum mengenal sosok Yesus yang sebenarnya. Mereka saling memandang dan terdiam sejenak. Simon Petrus memecahkan kesunyian sejenak itu dengan perkataan: “Engkau adalah Mesias!” (Mrk 8:29).

Perkataan Petrus ini adalah gerakan roh yang Tuhan anugerahkan kepadanya untuk mengenal jati diri Yesus. Ia pun mendapat pujian dari Yesus sebagai ‘yang berbahagia’. Namun sebenarnya pikiran Petrus sangat manusiawi yakni Yesus adalah Mesias yang jaya, tidak mengenal penderitaan apapun. Sebab itu Tuhan Yesus melarang mereka untuk tidak menceritakan kepada siapapun bahwa Dia adalah Mesias. Yesus juga mewahyukan diri-Nya sebagai Mesias yang menderita. Ia berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” (Mrk 8:31). Terhadap perkataan Yesus ini, Petrus langsung mencegah-Nya. Ia menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya supaya jangan menerima penderitaan itu. Yesus yang tadinya memuji Petrus, kini menegur Petrus karena pikiran manusiawinya tentang Yesus sang Mesias. Petrus disamakan dengan iblis sebab pikirannya sangat manusiawi bukan pikiran surgawi.

Sampai di sini, Tuhan Yesus mengajar para murid-Nya untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya. Mengakui Yesus sebagai Mesias saja belum cukup. Para murid Kristus haruslah menjadi mesias-mesias di tengah dunia ini. Tentu saja menjadi semakin serupa dengan diri-Nya sendiri: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” (Mrk 8:34-35). Orang Kristen haruslah menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus, sang Mesias dalam segala hal.

Apa yang harus kita lakukan?

Hidup Kristiani bukan sebuah teori tetapi sebuah kehidupan yang nyata. Kita semua yang dibaptis bukan untuk mengikuti sesuatu tetapi untuk mengikuti seorang yang bernama Yesus, yang tidak pernah berhenti untuk mengasihi kita. Dia yang mengasihi kita sampai tuntas dengan menderita, wafat dan bangkit. Inilah pengurbanan diri, sebuah perbuatan baik yang harus kita lakukan sepanjang hidup kita. Berkaitan dengan ini, St. Yakobus mengatakan dalam bacaan kedua, “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yak 2:17). Perbuatan baik kepada sesama dalam segala hal, lintas batas. Dalam masa pandemi ini, perkataan Yakobus menjadi kenyataan. Orang beriman benar-benar kelihatan dalam semangatnya untuk selalu berbuat baik. Anda adalah salah satunya yang selalu peka untuk menolong sesama yang sangat membutuhkan. Iman menjadi subur karena perbuatan baik menjadi cerminan iman yang tulus, dan kita pun akan memperoleh keselamatan. Benarlah kata-kata Santo Yakobus ini: “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?” (Yak 2:15-16).

Pada hari ini marilah kita berusaha untuk menjadi sahabat seperjalanan dengan Yesus untuk memperhatikan saudara-saudara kita yang sedang putus asa, sedang kehilangan, sedang menderita dan yang sedang berjalan dalam jalan pertobatan. Semangat Bulan Kitab Suci nasional ini menjadi kompas bagi hidup kita dalam masa pandemi ini. Berkat Tuhan bagi kita semua.

P. John Laba, SDB